Olivia Soenardi, Jadi Seniman Merch hingga Keliling Dunia!

- Menggambar dan mendesain sudah menjadi 'part of life' bagi Soumeki
- Bergabung dengan HoYoVerse dan menemukan wadah yang mengapresiasi karya-karyanya
- Menjadi merchandise artist bukan hanya berbicara terkait desain, namun juga produk
Jakarta, IDN Times - Tak banyak yang menyangka, menggambar karakter favorit bisa menjadi pintu gerbang ke panggung internasional. Namun, hal itu justru menjadi kenyataan bagi Olivia Soenardi, ilustrator asal Indonesia yang dikenal dengan nama Soumeki. Selama bertahun-tahun, Soumeki menciptakan karya fanart dan desain merchandise yang berhasil menarik perhatian komunitas global, terutama di kalangan penggemar budaya pop dan game.
Konsistensinya dalam berkarya membawanya tampil sebagai exhibitor di berbagai konvensi kreatif luar negeri, mulai dari Jepang, Korea Selatan hingga Amerika Serikat. Ia tak hanya menjual karya, tetapi juga membangun koneksi dengan sesama seniman, penerbit, dan komunitas fans yang mengapresiasi karyanya secara langsung. Perjalanan Soumeki pun menjadi bukti nyata bahwa seniman lokal punya peluang besar untuk bersinar di skena kreatif internasional.
Salah satu pencapaian yang paling membanggakan bagi Soumeki adalah ketika karyanya diakui oleh HoYoverse, perusahaan game di balik judul-judul populer, seperti Genshin Impact dan Honkai: Star Rail. Ia menjadi bagian dari program kreator resmi dan turut menjual merch bertema HoYoverse di berbagai event luar negeri. Pengalaman ini tidak hanya memperkuat kredibilitasnya sebagai merch artist, tetapi juga memperluas jejaring serta eksposurnya di ranah global.
Pada Kamis (17/7/2025), IDN Times berkesempatan untuk berbincang secara daring bersama Soumeki. Di momen ini, Soumeki juga menyoroti bagaimana ekosistem kreator di Indonesia yang semakin berkembang pesat. Soumeki juga bercerita tentang perjalanannya sebagai merchandise artist, ia menunjukkan bahwa berkarya dari hati, konsisten, dan terbuka terhadap komunitas bisa membuka jalan yang tak terduga.
1. Menggambar dan mendesain sudah menjadi 'part of life' bagi Soumeki
Sejak dulu, Soumeki memang akrab dengan dunia desain dan kreatif. Ia menceritakan, menggambar dan mendesain seolah sudah menjadi part of life bagi dirinya. Sejak kecil, Soumeki memiliki kegemaran untuk menggambar dan 'tidak bisa lepas' dari pensil serta kertas. Karena sudah menemukan passion-nya di bidang ini, Soumeki pun akhirnya terus melanjutkan hingga ke dunia yang lebih profesional. Selain itu, diketahui juga bahwa Soumeki merupakan lulusan dari jurusan Game Design. Uniknya, awalnya ia memilih jurusan ini sebagai ajang untuk 'balas dendam'.
"Agak lucu sebetulnya. Masalah saya tuh dulu, dari kelas 1 SD sampai kelas 2 SMP, saya di-bully sama cowok. Terus kan waktu di zaman itu, saya tuh ingat cowok-cowok itu kan suka main game. Terus saya mikir, 'Wah, awas deh ya.' Kayak ingin balas dendam, gitu loh. Terus saya mikir gini, 'Saya mau bikin game. Saya mau cowok-cowok tuh mereka semua main game saya,” gitu," katanya.
Meski begitu, Soumeki mengaku pada akhirnya ia merasa enjoy dengan jurusannya ini. Ia pun melanjutkannya hingga lulus dan mendapatkan gelar dari jurusan Game Design. Di balik itu, sebenarnya Soumeki juga memiliki kegemaran pada dunia game. Karena menurutnya, bermain game itu menjadi sarana untuk melepaskan rasa stresnya.
2. Bergabung dengan HoYoVerse dan menemukan wadah yang mengapresiasi karya-karyanya
Kecintaan Soumeki terhadap dunia game ternyata membuka jalan baru dalam kariernya sebagai seniman. Game bukan hanya menjadi tempat ia mencari hiburan, tapi juga menjadi sumber inspirasi kreatif yang akhirnya membawanya mengenal HoYoverse, perusahaan game besar di balik Genshin Impact dan Honkai: Star Rail. Awalnya, Soumeki hanya tertarik sebagai pemain, namun semakin ia terlibat, semakin dalam pula kekagumannya terhadap kualitas game dan cerita yang disuguhkan.
"Saya biasa daftar pre-register semua game baru, tinggal pilih yang mau saya mainkan. Tapi waktu itu, saya kaget, kok game sebagus ini bisa dimainkan secara online dan di mobile pula? Dulu kan MMORPG itu identik dengan game yang harus dimainkan di PC atau konsol. Tapi ini? Di mobile, dan ceritanya bagus banget. Saya sampai mikir, ‘Loh, kok bisa begini?"
Sebagai lulusan Game Design, Soumeki punya kebiasaan melihat game dari sisi teknis. Ia tak hanya menikmati cerita dan grafis, tapi juga memperhatikan bagaimana game tersebut dibangun dan dirancang. Ketika HoYoverse merilis lebih banyak game dengan pendekatan berbeda, terutama yang menyasar audiens perempuan, Soumeki merasa semakin terhubung, baik sebagai pemain maupun sebagai profesional di industri ini.
"Jadi di satu sisi saya main sebagai pemain yang benar-benar menikmati, tapi di sisi lain, saya juga melihat dari sudut pandang game designer. Dan dari situ saya makin merasa, ‘Wah, ini keren banget.’ Akhirnya saya terus main, sampai sekarang," lanjutnya.
Puncaknya adalah ketika HoYoverse membuka program creator spotlight yang memberikan ruang dan pengakuan bagi para seniman independen. Soumeki ikut bergabung dan karyanya berhasil tampil di acara resmi, seperti HoyoFest. Di sana, ia melihat sendiri bagaimana komunitas game bisa menghargai dan mendukung karya para artis. Ia pun merasa benar-benar 'terlihat' sebagai seniman, bukan hanya pencipta gambar di balik layar.
“Biasanya, seniman itu invisible, kita orang yang tanpa suara. Tapi dengan spotlight dari HoYoverse, itu seperti kami benar-benar dilihat. Komunitasnya suportif banget. Jadi selain dikasih wadah, kami juga diberi kebebasan untuk eksplorasi, dan yang paling penting: diberi spotlight.”
3. Menjadi merchandise artist bukan hanya berbicara terkait desain, namun juga produk
Menjadi merchandise artist bukan hanya soal menggambar, tetapi juga tentang memahami pasar dan menciptakan produk yang relevan. Soumeki menyadari bahwa peran ini jauh lebih kompleks dibanding ilustrator. Ia harus memastikan bahwa produk yang dibuat bisa diterima dan diapresiasi oleh publik luas, bukan hanya oleh sesama seniman atau penggemar karya visual.
"Bagi saya, tantangan personal terbesar itu lebih ke mendesain merchandise-nya untuk target audiens yang seperti apa. Soalnya, merchandise artist itu berbeda dengan ilustrator yang hanya menggambar ilustrasi saja. Kita ini mendesain barang untuk publik," ucapnya.
Di balik setiap produk yang dirancang, ada proses berpikir mendalam tentang siapa audiensnya, berapa kisaran harga yang masuk akal, hingga apakah produk tersebut memiliki nilai guna. Semua itu dilakukan agar karya tidak hanya dilihat sebagai hiasan, tetapi benar-benar punya fungsi dan bisa diterima masyarakat secara luas.
"Akhirnya, tantangan terbesar saya, bahkan sampai sekarang, tetap ada di tahap perancangan konsep. Saya harus memikirkan, ‘Oke, ini targetnya segini, berarti kita harus bikin produk yang harganya bisa masuk di range sekian. Gak boleh melebihi budget tertentu.’ Dan itu menantang, karena sebagai merchandise artist, karya kita itu ya si merchandise-nya itu sendiri," tambah Soumeki.
Harapan Soumeki sederhana, agar karyanya bisa dinikmati dan diapresiasi lebih banyak orang, termasuk mereka yang sebelumnya menganggap merchandise bukan hal penting. Dengan kombinasi antara fungsi dan estetika, ia ingin menunjukkan bahwa karya seni juga bisa menjadi bagian dari keseharian siapa saja.
“Misalnya, awalnya ada yang bilang, ‘Buat apa sih beli barang kayak gituan?’ Tapi lama-lama mereka jadi bilang, ‘Eh, lucu juga ya. Lo beli aja deh!’ Nah, itu yang saya harapkan. Awareness publik bisa tumbuh, dan mereka bisa melihat sisi fungsional sekaligus estetik dari karya kita."
4. Industri ini terus berkembang, namun masih harus ada yang diperhatikan
Perkembangan industri kreatif di Indonesia, khususnya dalam art market, sebenarnya menunjukkan tren yang positif sejak pandemi. Namun, Soumeki melihat masih ada tantangan mendasar, terutama dalam hal penyelenggaraan acara yang belum sepenuhnya memahami ekosistem seni. Menurutnya, art market seharusnya menjadi ruang yang mendukung seniman otentik, bukan sekadar ajang komersial tanpa kurasi.
"Menurut saya gini, kalau dari segi itu kan, di Indonesia ini akhir-akhir ini, sejak pandemik ya, mulai banyak art market-nya. Tapi art market-nya itu kurang bisa tepat sasaran... biasanya event-event yang baru coba-coba dan gak mengerti konsep art market sepenuhnya, itu bakal masukin orang-orang yang cuma ngambil gambar dari internet terus dicetak. Terus, itu mereka disaingin sama seniman beneran, gitu," ujar Soumeki.
Ketimpangan ini terlihat jelas ketika produk handmade yang dibuat dengan proses panjang harus bersaing dengan barang yang dijual lebih murah. Tidak hanya merugikan secara ekonomi, tapi juga secara apresiasi. Soumeki menekankan pentingnya edukasi dan penyaringan yang lebih ketat agar art market bisa benar-benar menjadi tempat berkembang bagi komunitas seni.
“Saya juga pernah lihat orang yang rajut dari nol, dari benang panjang terus jadi boneka. Lucu banget, gitu kan. Terus, di sampingnya dia jual barang yang made in—ya yang itu, yang pabrikan, gitu... orang pasti lihatnya, ‘Oh, yang murah,’ gitu kan. Nah, itu yang mungkin perlu ditingkatkan ekosistemnya," tambahnya.
5. Meskipun sudah berkembang, knowledge tentang ekosistem kreator masih kurang menyeluruh

Ekosistem kreatif di Indonesia memang sudah berkembang dari segi fasilitas dan pendidikan. Kini, hampir setiap universitas memiliki jurusan DKV, bahkan ada juga program studi komik yang diajarkan langsung oleh komikus senior. Namun menurut Soumeki, kemajuan ini belum sepenuhnya menyentuh aspek yang paling krusial, yakni pemahaman mendalam dari masyarakat, terutama keluarga, tentang prospek dunia seni.
"Sekarang tuh udah banyak. Bahkan di universitas mana pun, pasti ada jurusan DKV. Ada juga kursus komik, saya pernah lihat, bahkan ada S1-nya! Saya kaget dan pengajarnya itu benar-benar dari komikus terkenal di Indonesia, panutan saya sendiri," katanya.
Perubahan terbesar menurutnya justru bukan pada institusi, tapi pada cara pandang keluarga terhadap karier kreatif. Banyak keluarga masih ragu mendukung anak-anak yang ingin menjadi seniman, karena khawatir tidak ada jaminan masa depan. Padahal, dengan perkembangan digital saat ini, peluang untuk sukses di bidang seni terbuka lebar, selama mendapat dukungan yang tepat.
"Banyak banget keluarga yang belum kebayang bahwa profesi seniman itu bisa seperti saya sekarang. Bukan kerja yang ‘gak jelas’, tapi benar-benar bisa hidup dari situ, bahkan bisa meringankan beban finansial keluarga."
6. Pesan Soumeki untuk yang ingin memulai karier di industri kreator (merchandise)
Bagi Soumeki, menjadi merchandise artist bukan sekadar menggambar, tapi juga soal memahami keseluruhan proses produksi hingga pemasaran. Seorang seniman merchandise dituntut untuk punya wawasan lintas bidang, dari desain hingga komunikasi agar karyanya tidak hanya menarik secara visual, tapi juga layak diproduksi dan dipasarkan.
"Merchandise artist berbeda dengan ilustrator biasa. Yang membedakan itu kan kita harus me-manage sampai barangnya jadi, kita desain produknya bukan gambarnya aja. Tipsnya adalah jangan belajar gambar aja, belajar juga aspek lain seperti marketing, komunikasi, harus tau produknya itu mau kayak apa. Segi material, teknik cetak juga harus paham," ucapnya.
Dengan bekal yang lengkap, seorang kreator bisa lebih percaya diri saat terjun ke industri. Ia tidak hanya bergantung pada keterampilan menggambar, tapi juga bisa mengatur kualitas produksi, menjalin kerja sama dengan vendor, hingga membangun merek personal yang kuat di pasaran.
Itu dia cerita Olivia Soenardi (Soumeki) yang memiliki ketertarikan pada dunia seni hingga menjadi merchandise artist dan bisa keliling dunia. Semoga bisa menjadi inspirasi untukmu, ya!