Pernikahan Bikin Perempuan Single Tak Berambisi Mengejar Kariernya

Secara tradisional, perempuan diajarkan untuk pandai mengurus rumah. Mengapa? "Sebab nanti akan berumah tangga," begitu kata temanku yang sudah menikah. Kalau aku punya asisten rumah tangga atau baby sitter? "Tetap saja kamu wajib bisa turun tangan--entah untuk memasak, menyiapkan pakaian suami, atau mengganti popok bayi" jawabnya.
Kalau aku sibuk bekerja? "Untuk apa sibuk bekerja? Kan kepala rumah tangga adalah suami," tegasnya. Rupanya, peran tradisional perempuan sangat berkaitan dengan sifat keibuan. Di antaranya pandai mengurus keluarga.
Karakter yang tak seperti itu, misalnya berambisi untuk menjadi pemimpin, dilihat sebagai sesuatu yang maskulin. Sehingga tak wajar dari sudut pandang konvensional.
1. Pernikahan membuat perempuan single berpikir ulang tentang ambisi dalam karier

Pernikahan, bagi sebagian perempuan, adalah sebuah gol kehidupan yang wajib diwujudkan. Bahkan, tak sedikit perempuan yang rela untuk mengikhlaskan karier mereka berjalan apa adanya atau berhenti sama sekali agar bisa menikah atau menjaga pernikahan.
Ini bukan isapan jempol belaka. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Harvard Business Review, mayoritas perempuan single menjadikan pernikahan sebagai faktor yang membuat mereka berpikir ulang untuk mengejar karier.
Penelitian yang dipublikasikan pada 2017 lalu itu melibatkan 355 siswa pascasarjana dari sejumlah sekolah bisnis terkemuka di AS.
2. Peningkatan karier yang pesat dikhawatirkan menurunkan potensi pernikahan

Ada 241 siswa laki-laki dan 114 siswa perempuan yang mengikuti survei ini. Sekolah pascasarjana sendiri merupakan tempat alami untuk para siswa menuntut ilmu, menyiapkan karier sekaligus mencari pasangan hidup. Teman-teman mereka berpotensi menjadi suami atau istri di masa depan.
Para peneliti yaitu Leonardo Bursztyn, Thomas Fujiwara dan Amanda Pallais menggunakan metode khusus untuk mengetahui apa yang menghalangi perempuan mencapai posisi tinggi secara profesional. Ketiganya meneliti perilaku apa yang berdampak positif untuk karier, tapi berakibat negatif untuk peluang pernikahan.
Koresponden diinstruksikan untuk mengisi kuesioner tentang preferensi kerja, gaji serta jam kerja dalam seminggu. Mereka juga diminta menilai jiwa kepemimpinan dan ambisi profesional diri sendiri. Kuesioner itu sangat berpengaruh terhadap kesempatan magang musim panas.
Dengan kata lain, jika seseorang enggan bekerja lembur, maka kemungkinan takkan mendapat posisi di dunia perbankan. Ketika diinformasikan bahwa hanya konsultan karier yang akan membaca kuesioner, jawaban perempuan single dan yang sudah menikah tak banyak berbeda.
Namun, waktu diberitahu bahwa teman-teman mereka--baik laki-laki maupun perempuan--akan membaca hasil kuesioner, perempuan single menurunkan ekspektasi profesional mereka. Sementara laki-laki (Tak peduli status hubungan mereka apa) dan perempuan yang sudah menikah tidak mengubah jawaban mereka.
Ketiga peneliti menemukan bahwa perbedaan ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran tentang pernikahan. "Bahkan pada abad 21, laki-laki memilih pasangan perempuan yang secara profesional kurang ambisius dibandingkan mereka," menurut para penulis buku Gender Differences in Mate Selection: Evidence from a Speed Dating Experiment.
3. Apa yang menguntungkan dari segi profesional bisa merugikan dari sisi hubungan asmara

Survei tersebut mengerecutkan perilaku apa saja yang positif untuk karir dan berpotensi buruk bagi jalinan asmara. Misalnya, perempuan single yang kerap menyuarakan pendapat saat rapat, memimpin proyek atau bekerja lembur dianggap mengirimkan sinyal buruk untuk lawan jenis.
Bahkan penampilan tertentu seperti memakai sepatu hak tinggi, menggunakan riasan bibir berwarna mencolok atau menata rambut dengan gaya spesifik yang mungkin penting untuk kehidupan profesional memiliki dampak sebaliknya bagi pasangan potensial.
Oleh karena itu, mayoritas perempuan single yang mengikuti survei memilih untuk menyembunyikan perilaku-perilaku yang bisa meningkatkan karier. Harapannya adalah lawan jenis dapat melihat mereka sebagai sosok idaman, bukan makhluk yang mengancam.
4. Laki-laki tak perlu rendah diri saat perempuan terlihat ambisius

Para peneliti menduga bahwa ini adalah penyebab mengapa ada disparitas gender di dunia kerja, di mana jumlah laki-laki di posisi puncak lebih banyak dari perempuan. "Secara spesifik, mungkin beberapa perempuan malu memperlihatkan karakteristik mereka ke depan publik seperti ambisi yang biasanya tidak disukai oleh laki-laki di dunia kencan," tulis Bursztyn, Fujiwara dan Pallais.
"Jika laki-laki tidak lagi menilai ambisi perempuan sebagai sifat tak menarik, mungkin mereka akan lebih bersedia mengungkapkan secara publik ambisi profesional mereka," tambah ketiganya. Dengan kata lain, laki-laki tidak perlu merasa rendah diri saat perempuan bekerja keras untuk meraih posisi yang diinginkan.
Bagaimana menurutmu?