3 Upaya Mendobrak Tabu Menstruasi menurut Rekomendasi Hasil Penelitian

Perempuan mengalami proses biologis pada sistem reproduksi yang disebut dengan menstruasi. Prosesnya terjadi saat lapisan rahim meluruh, lalu jaringan dan darah mengalir melalui serviks dan keluar dari tubuh lewat vagina. Menstruasi biasanya terjadi sekali dalam sebulan dengan durasi normal sekitar 2 hingga 7 hari.
Ketika dijelaskan secara medis, menstruasi kedengaran normal, bukan? Akan tetapi, pembahasan mengenai topik ini kerap dianggap memalukan. Menstruasi terasa tabu saat dibicarakan di ruang terbuka, bahkan kadang di ruang pribadi sekalipun.
Tabu menstruasi bukan sekadar kesunyian diskusi, tetapi ini tentang dampak yang merugikan para perempuan, di mana mereka harus dua kali lipat menanggung beban fisik dan mental. Perasaan malu, minimnya bantuan, penolakan, hingga ejekan bukan hal baru saat perempuan sedang menstruasi. Oleh sebab itu, stigma seputar menstruasi perlu dipatahkan.
Sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Sport, Education and Society pernah mengulas isu ini pada 2023. Meski lebih menyoroti perspektif laki-laki terhadap menstruasi dalam aktivitas petualangan, solusi yang direkomendasikan cukup relevan dan cakupan penerapannya juga luas.
Penelitian yang ditulis oleh Heather E. Prince dan Erin Annison tersebut merekomendasikan tiga upaya yang mesti dilakukan untuk mendekonstruksi stigma dan tabu seputar menstruasi. Coba kita uraikan melalui ulasan berikut ini.
1. Melakukan aksi nyata demi kenyamanan bersama

Menstruasi memang hanya dialami oleh perempuan, tetapi efeknya dapat meluas, terutama pada dinamika sosial dan lingkungan. Itu sebabnya, isu ini harus menjadi perhatian semua orang di semua kalangan. Kita, baik perempuan maupun laki-laki, perlu melakukan aksi nyata demi kenyamanan bersama.
Aksi nyata disebut paling utama dalam penelitian karena dampaknya akan langsung terasa. Salah satunya dengan menyediakan produk menstruasi gratis di ruang publik, sehingga perempuan tidak bingung ketika mengalami situasi tak terduga. Fasilitas toilet, ruang khusus untuk pengelolaan menstruasi, dan pembuangan limbah yang lebih layak juga perlu disediakan.
Sebagai tambahan, aksi nyata bisa dimulai dari hal-hal kecil terlebih dahulu. Lakukan dukungkan kepada para perempuan yang sedang menstruasi di sekitar kita. Misalnya, membantu meringankan pekerjaan, membelikan obat, atau sekadar menemani mereka saat mengalami gejala menstruasi seperti kelelahan atau perubahan suasana hati.
2. Edukasi dan pelatihan seputar menstruasi harus diperluas

Solusi kedua yang direkomendasikan dari hasil penelitian Heather dan Erin adalah perlunya memperluas edukasi dan pelatihan seputar menstruasi. Hal ini bahkan didukung oleh studi terbaru berjudul Men's Perspective Toward Menstruation: A Cross-Sectional Study (2025). Kendati memiliki fokus pembahasan yang berbeda, keduanya senada dalam menyoroti pentingnya pendidikan seputar menstruasi.
Pendidikan ternyata menjadi salah satu faktor yang memengaruhi persepsi laki-laki terhadap menstruasi. Banyak kesalahpahaman yang timbul akibat keterbatasan informasi yang diperkuat oleh stigma sosial dan budaya. Minimnya kesadaran dan empati masyarakat pun pada akhirnya jadi isu utama.
Dengan alasan itu, edukasi dan pelatihan berkelanjutan seputar menstruasi harus diperluas untuk mendobrak ketabuan. Ruang-ruang diskusi tentang kesehatan menstruasi, kebersihan menstruasi, praktik yang tepat, serta dukungan pada perempuan mesti dibuka dan terus dipromosikan.
2. Libatkan lebih banyak pihak dalam dialog terbuka seputar menstruasi

Masih dari penelitian yang sama, banyak pihak seperti instruktur alam, pendidik, dan pemimpin disebutkan untuk mendorong dialog terbuka seputar menstruasi. Walapun konteksnya dalam aktivitas petualangan, tetapi hal ini dapat diterapkan lebih luas. Sebab, dialog memang akan lebih baik jika lebih banyak pihak yang dilibatkan.
Dalam studi lain yang diterbitkan Journal of Environmental and Public Health pada 2018 menyebutkan beberapa pihak yang penting untuk dilibatkan dalam isu kesehatan menstruasi. Di antaranya adalah pendidik atau guru, produsen produk menstruasi, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat. Semua harus terlibat secara aktif dalam mengedukasi masyarakat.
Begitu pula pihak-pihak di lingkungan sekitar kita, khususnya orang tua. Pihak keluarga harus menjadi tumpuan utama agar generasi baru mendapatkan informasi yang jelas dan valid. Pasalnya, ketidaktahuan ibu dikatakan menjadi salah satu akar penyebab banyak masalah.
Tabu menstruasi telah lama menjadi isu global. Berbagai upaya telah dilakukan demi mendobraknya, termasuk tiga hal yang telah dibahas tadi. Dengan melakukan aksi nyata, memperluas edukasi dan pelatihan, serta melibatkan banyak pihak diharapkan sedikit demi sedikit dapat mengikis ketabuan. Ayo mulai dari diri sendiri!


















