Terjual Hingga Puluhan Juta Rupiah, Ini 4 Batik Termahal di Dunia

Batik tak serta merta hanya sekadar kain atau produk seni. Bagi sebagian orang, terutama di Jawa, batik sudah merupakan bagian dari siklus kehidupan. Mulai dari lahir, upacara, siraman hinga wafat, biasanya orang jawa akan mengenakan motif batik tertentu yang memiliki makna dan simbolisme khusus.
Batik sendiri telah di tetapkan oleh UNESCO sebagai Intangible Cultural Heritage (ICH) atau Warisan Budaya Takbenda, pada tanggal 2 Oktober 2009. Maka dari itu, setiap tanggal 2 Oktober, diperingati sebagai hari batik.
Harga jual batik yang tinggi pun mencerminkan rumitnya proses pengerjaan dan tingginya keterampilan yang dibutuhkan . Tidak mengherankan, hanya perajin berpengalaman yang mampu menghasilkan batik berkualitas tinggi. Hingga tak jarang terdapat batik yang dibandrol hingga ratusan juta.
Di bawah ini sudah IDN Times rangkum empat batik termahal di dunia, ada yang mencapai Rp30 juta per lembar lho. Simak, yuk!
1. Batik Mega Mendung asal Cirebon

Batik Cirebon merupakan salah satu batik termahal di dunia. Batik Cirebon yang terkenal dengan mega mendung memiliki motif yang familiar bagi masyarakat Indonesia karena identik dengan bentuk awan.
Batik asal Cirebon ini bisa dihargai sekitar Rp30 juta per lembar. Batik dengan motif awan ini bisa dijual dengan harga tinggi karena prosesnya melalui teknik wit. Dilansir situs resmi Indonesia Kaya, teknik ini menggunakan lilin yang diblok berlapis untuk membentuk garis lengkung yang halus.
Indra Tjahjani sebagai founder Griya Peni sekaligus penggiat dan motivator batik dalam Konferensi Pers dan Fashion Workshop: Hari Batik Nasional 2024 oleh Tokopedia pada Rabu (2/10/2024) di Jakarta, mangatakan, batik ini memiliki lambang tersendiri.
"(Batik Mega Mendung) Ini sebetulnya lambang kebijaksanaan. Jadi, kita harus bijak dalam sumber daya manusia atau alam. Walaupun ada yang mengatakan kalai mendung nanti hujan, lalu bisa menanam padi, itu juga bisa," ujar Indra.
Namun, sayangnya penrajin batik ini mulai jarang dikarenakan pengerjaannya yang harus detail dan butuh ketelitian dengan motif yang rumit.
2. Batik corak Belanda

Batik corak Belanda merupakan kain batik yang dibuat oleh perajin Belanda dan Indo-Eropa yang menetap di daerah pesisir utara dan kota besar Pulau Jawa antara tahun 1840-1940-an. Motif ini menampilkan ragam bunga-bunga dengan warna cerah nan memikat.
Pada pertengahan abad ke-19, banyak pengusaha batik Indo-Eropa mulai muncul di Indonesia. Sebagian besar dari mereka tidak memiliki kemampuan membatik, melainkan hanya menciptakan motif sehingga mempekerjakan perajin batik wanita untuk memproduksi kain sesuai kreasi mereka.
Di samping itu, pada masa awal perkembangan batik ini, perajin batik Belanda menggunakan pewarna alami dari berbagai tumbuhan, seperti akar pohon mengkudu untuk menghasilkan warna merah, daun nila untuk biru, tanaman sogo jambal untuk cokelat, dan tegeran untuk warna kuning.
Salah satu motif batik yang paling dikenal adalah hasil karya Carolina Josephina Von Franquemont. Batik hasil perempuan asal belanda ini biasa disebut sebagai batik Prankemonan.
Inovasi terkenal dari motif Prankemon adalah batik dongeng yang menggambarkan berbagai cerita, baik dari Eropa maupun non-Eropa, termasuk motif putri duyung, Dewi His Hwang, serta elemen budaya India dan China. Menurut penelitian di Intitut Seni Indonesia Yogyakarta, gaya motif ini biasa disebut dengan motif batik dongeng, dikarenakan gambar pada batik ini menceritakan dongeng yang terkenal di negara Eropa, seperti Little Red Ridding Hood, Hansel and Gretel, Swan Lake, Sleeping Beauty, Snow White, dan lainnya.
Kain batik karyanya Carolina Josephina Von Franquemont saat ini bisa dihargai ratusan juta rupiah.
3. Batik Tiga Negeri

Batik Tiga Negeri merupakan representasi dari tiga budaya yang berpengaruh di Lasem yakni Tionghoa, Jawa, dan Belanda. Akulturasi tiga budaya tersebut terlihat dalam warna kain batik ini yang didominasi warna merah (terinspirasi budaya Tionghoa), warna biru indigo (khas Belanda), serta warna coklat soga (khas Jawa). Salah satu daerah penghasil kain Batik Tiga Negeri terdapat di daerah Lasem, Rembang, Jawa Tengah.
Hasil tiga budaya ini berkaitan dengan sejarah Kecamatan Lasem yang pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20 dijadikan sebagai tempat persinggahan etnis Tionghoa yang datang dari pesisir pantai selatan Tiongkok. Dilansir Indonesia Travel, awalnya, pola-pola yang ada di Batik Tiga Negeri Lasem ini, diperkenalkan pada abad ke-15 oleh Si Putri Campa, istri Bi Nang Un, seorang anggota ekspedisi Cheng Ho yang singgah dan menetap di sana.
Saat itu bisnis batik menjadi industri yang paling maju di Lasem. Puncak kejayaannya sekitar tahun 1860-an. Tak sedikit etnis Tionghoa yang mendirikan bisnis Batik Tiga Negeri.
Pembuatan batik ini memiliki proses yang cukup panjang oleh penrajin batik. Bahkan proses pembuatan batik ini bisa memakan waktu lebih dari satu bulan. Dengan kondisi yang seperti itu, banyak produsen batik ini yang sudah tidak beroperasi. Mereka yang masih memiliki kain batik tiga negeri memilih untuk menyimpannya sebagai koleksi. Hingga jika dijual harganya bisa mencapai puluhan juta karena semakin antik.
4. Batik Hokokai

Batik Hokokai ini muncul pada tahun 1942-1945 saat orang Jepang menjajah Indonesia. Nama "Hokokai" ini bermula dari sebuah organisasi yang didirikan oleh Jepang untuk memfasilitasi tenaga rakyat dengan semangat kebaktian yang dikenal sebagai hokosishin.
Salah satu keunikan dari batik ini adalah coraknya yang lebih dominan menggunakan motif bunga, seperti bunga sakura dan serunai. Batik ini memiliki warna yang cerah yang disukai oleh orang Jepang. Hampir keseluruhan batik Jawa Hokokai memiliki latar belakang sangat detail dan rumit.
Batik yang banyak diproduksi dalam langgam ini adalah batik jenis pagi-sore. Artinya, dalam selembar kain terdapat dua corak yang berbeda sehingga bisa digunakan untuk acara di pagi dan sore hari.
Pada masa itu batik Hakokai hanya digunakan oleh masyarakat kurang mampu. Namun, saat ini batik Hokokai dapat dijual dengan harga mencapai jutaan rupiah, tergantung pada motif dan bahan yang digunakan.
Penulis: Syifa Putri Naomi