Canda Saldi Isra di Sidang UU TNI: Jangan Mimpi Pembentukan UU, Capek Kita

Intinya sih...
Bivitri Susanti sampaikan pandangan terkait UU TNI dan kegundahan dalam keterangan ahli
Saldi Isra keluarkan kelakar agar tidak memimpikan pembentukan UU karena membuat lelah
Sidang sebelumnya dihadiri Menteri Hukum, Menteri Pertahanan, hingga Ketua Komisi I DPR
Jakarta, IDN Times - Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra melontarkan candaan saat memimpin sidang lanjutan terkait gugatan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) di ruang sidang Mahkamah Konsitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa (1/7/2025).
Sidang untuk sejumlah perkara ini digelar dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dan saksi. Salah satu ahli yang dihadirkan dalam persidangan adalah Dosen Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Bivitri Susanti.
1. Bivitri Susanti jadi Ahli dan sampaikan pandangan terkait UU TNI
Momen candaan Saldi Isra bermula saat Bivitri menyampaikan pandangan terkait proses legislasi UU TNI, sebagaimana yang dimasalahkan para pemohon. Bivitri mengaku dihantui kegundahan saat menulis keterangan terhadap gugatan tersebut.
Salah satunya, terkait tolok ukur partisipasi bermakna (meaningful participation) dalam pengesahan UU TNI. Ia pun menyebut, kecemasan ini biasanya terbawa hingga ke dalam mimpi.
"Saya menutup nya dengan catatan kegundahan saya ketika menulis keterangan ahli ini yang mulia, karena kita itu kerap dihantui, pertanyaan dihantui mungkin agak literally, karena saya sampai kebawa mimpi biasanya, pertanyaan tentang parameter menilai partisipasi bermakna. Berkali-kali orang mencoba membuat ukuran bisanya berapa yang diundang dan seterusnya. Tapi setelah saya coba-coba diletakkan dalam berbagai RUU atau undang-undang, ya ternyata tidak bisa semekanismik itu, sangat kasuistis," ujar Bivitri.
"Misalnya dalam hal pembahasan RUU PKS yang singkat tapi karena prosesnya sudah lama sekali dan semua stakeholder langsung terlibat, bahkan berkolaborasi dengan pemerintah waktu itu, maka tidak menjadi masalah. Dengan kata lain proses legislasi bukan matematika, tentang jumlah hari, atau orang yang ikut RDPU, sehingga saya memohon Mahkamah bisa menilainya secara kualitatif dengan nilai konstitusional, jadi dengan itu saya menutup paparan saya. Terima kasih," sambung dia.
2. Kelakar Saldi Isra sebut jangan mimpi pembentukan UU karena bikin capek
Menanggapi penutup dari pernyataan Bivitri tersebut, Saldi Isra pun melontarkan kelakar agar lebih baik memimpikan Hakim MK, Arief Hidayat. Sebab, memimpikan pembentukan UU hanya membuat lelah.
"Terima kasih Bu Bivitri, nanti kalau mimpi, mimpi Prof Arief saja, jangan mimpi pembentukan undang-undang, capek kita," tutur dia sembari tertawa.
3. Sidang sebelumnya dihadiri Menteri Hukum, Menteri Pertahanan, hingga Ketua Komisi I DPR
Sebelumnya, Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas; Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin; Ketua Komisi I DPR, Utut Adianto menghadiri langsung sidang lanjutan dari uji formil dan materiil UU TNI pada Senin (23/6/2025). Sidang ketiga yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo ini digelar untuk beberapa perkara sekaligus, di antaranya Perkara Nomor 56/PUU-XXIII/2025 dan Perkara Nomor 75/PUU-XXIII/2025 dengan agenda mendengarkan keterangan DPR RI dan pemerintah/presiden.
Dalam kesempatan itu, Supratman mengeklaim, Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI diajukan berdasarkan urgensi nasional terkait upaya melindungi dan menyelamatkan WNI karena meningkatnya dinamika keamanan regional, penguatan stabilitas pertahanan nasional dan internasional, ancaman militer, nonmiliter, dan hibrida (terorisme dan perang siber).
Selain itu, RUU ini sebagai wujud dari tindak lanjut atas Putusan MK Nomor 62/PUU-XIX/2021 serta keinginan bersama pembentuk Undang-Undang untuk melanjutkan pembentukan UU TNI (UU 3/2025) yang ditandai dengan telah ditugaskannya Komisi I DPR untuk membahas RUU TNI Perubahan.
Para Pemohon Perkara Nomor 56/PUU-XXIII/2025 terdiri atas Muhammad Bagir Shadr (Pemohon I), Muhammad Fawwaz Farhan Farabi (Pemohon II), Thariq Qudsi Al Fahd (Pemohon III). Adapun para Pemohon Perkara Nomor 75/PUU-XXIII/2025 yaitu Muhammad Imam Maulana (Pemohon I), Mariana Sri Rahayu Yohana Silaban (Pemohon II), Nathan Radot Zudika Parasian Sidabutar (Pemohon III), dan Ursula Lara Pagitta Tarigan (Pemohon IV).
Pemerintah menerangkan mengenai proses pembentukan UU 3/2025 yang didalilkan bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Bahwa pada Tahap Perencanaan, RUU TNI Perubahan telah dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 16 sampai dengan Pasal 23 UU P3. Sebelum RUU TNI Perubahan diusulkan oleh DPR RI, Pemerintah telah melakukan kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat terkait substansi yang kemudian menjadi materi muatan UU TNI sejak 2023 dengan beberapa kegiatan berupa FGD yang diselenggarakan oleh Babinkum Mabes TNI.
Kemudian memasuki Tahap Penyusunan, RUU TNI Perubahan telah dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 49 UU P3. Pada tahap ini, Pemerintah melakukan penyusunan DIM RUU TNI Perubahan setelah adanya surat dari DPR RI tertanggal 28 Mei 2024. Penyusunan DIM ini dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam). Berikutnya pada Tahap Pembahasan, RUU ini telah mempedomani Pasal 66 UU P3 dengan melakukan prosesnya pada dua tingkat pembicaraan yakni Pembicaraan Tingkat I dan Pembicaraan Tingkat II.
“Terakhir memasuki Tahap Pengesahan dan Tahap Pengundangan telah dilakukan pada 26 Maret 2025 sebagai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.Dengan demikian partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU 3/2025 telah dilakukan oleh pembentuk Undang-Undang pada tahapan yang diamanatkan oleh Mahkamah Konstitusi,” jelas Supratman.
Kemudian, pemerintah menjawab terkait dalil para Pemohon yang menyatakan pembentukan UU 3/2025 tidak memenuhi prinsip meaningful participation. Pemerintah mengutip, menurut MK, partisipasi masyarakat dilakukan dalam wujud pemberian masukan secara proaktif tanpa perlu menunggu diminta atau diundang. Berdasarkan hal tersebut, digunakan atau tidaknya hak memberikan masukan oleh masyarakat, dikendalikan oleh masyarakat itu sendiri. Pemerintah disebut tetap berupaya menjaring masukan sebanyak-banyaknya dengan membuka akses seluas-luasnya.
Salah satunya penyediaan akses bagi masyarakat dan memberikan kesempatan pada masyarakat untuk menyampaikan masukan secara proaktif. Singkatnya, penyerapan aspirasi masyarakat tersebut telah dituangkan sebagai materi muatan RUU TNI Perubahan sejak 2023. Dengan demikian, hal ini menunjukkan proses pembentukan UU TNI sesungguhnya tidak dilakukan secara tergesa-gesa serta telah memenuhi asas keterbukaan dan prinsip meaningful participation.