MK Tolak Satu Gugatan UU TNI, Satu Lainnya Dicabut Pemohon

- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak satu gugatan terhadap UU TNI.
- Perkara nomor 83 diajukan oleh mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Jakarta, IDN Times - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak satu gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). MK juga memutuskan, satu gugatan UU TNI dicabut oleh pemohon.
Pengucapan putusan terhadap perkara nomor 83/PUU-XXIII/2025 dan 85/PUU-XXIII/2025 itu diselenggarakan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (26/6/2025).
Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menjelaskan mengapa menolak perkara nomor 83 tersebut. Salah satu pertimbangannya, MK menilai para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dan tidak dapat menguraikan dengan jelas keterkaitan kerugian konstitusi yang dialami.
"Pemohon tidak dapat menguraikan dengan jelas persoalan pertautan kerugian para pemohon dengan adanya dugaan persoalan konstitusionalitas dalam proses pembentukan undang-undang 3/2025. Pada uraian kedudukan hukum para pemohon menguraikan adanya pembahasan rancangan undang-undang a quo yang dilakukan secara tertutup dan tidak sesuai dengan prinsip keterbukaan dan transparansi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namun, tidak dikuatkan dengan uraian dan bukti mengenai kegiatan atau aktivitasnya meskipun para pemain menyatakan diri sebagai aktivis, terutama aktivitas yang berkenaan dengan masalah ketatanegaraan selama proses pembentukan UU 3/2025," ujar Saldi dalam persidangan.
Sementara, Ketua MK, Suhartoyo, membacakan langsung putusan terhadap perkara tersebut.
"Mengadili menyatakan permohonan para Pemohon nomor 83/PUU-XXIII/2025 tidak dapat diterima," ujar dia sembari mengetuk palu.
1. Perkara nomor 83 diajukan oleh mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pemohon uji formil UU TNI dalam perkara nomor 83 diajukan oleh lima mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta. Dalam sidang perbaikan permohonan, mereka sempat menambahkan pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 yang menjadi batu uji atau dasar pengujian permohonan, yaitu Pasal 1 Ayat 2, Pasal 27 Ayat 1, Pasal 28C, Pasal 28D Ayat 1 dan Ayat 3, Pasal 28F, serta Pasal 28J.
Selain itu, para pemohon juga menguraikan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan secara tegas, “Pembentuk Undang-Undang harus melakukan proses pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 dan UU 12/2011 (Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan/UU P3).”
Dengan demikian, para pemohon menjelaskan, apabila Presiden selaku inisiator dalam pembentukan UU TNI tidak melaksanakan kewajibannya sesuai prosedur yang ditetapkan UU 12/2011, maka pembentukan undang-undang tersebut secara formil melanggar hukum dan bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Hal itulah yang membuat mereka menilai hal tersebut dapat dikualifikasikan sebagai cacat formil.
Kemudian, para pemohon juga menambahkan argumentasi, pembentukan UU TNI ini tidak memenuhi tiga pertimbangan agar seseorang dapat mengajukan pengujian formil karena unsur keterbukaan sebagaimana dijelaskan dalam Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009.
Adapun pertimbangan yang tidak dipenuhi dalam perumusan UU TNI adalah human dignity, accuracy, dan to protect legitimate expectation. Dengan dipenuhinya ketiga pertimbangan itu, maka hak konstitusional para pemohon telah dilanggar dalam proses pembentukan dan perancangan UU TNI.
2. Pemohon perkara 83 minta MK menyatakan pembentukan UU TNI tidak sesuai UUD NRI Tahun 1945

Dalam petitumnya, para pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan UU TNI tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD NRI Tahun 1945. Para pemohon juga memohon kepada Mahkamah agar menyatakan UU TNI bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sementara dalam sidang pendahuluan, para pemohon menilai proses legislasi UU TNI dilakukan secara eksklusif tanpa melibatkan publik sehingga apabila UU TNI ini berlaku dan prajurit militer diperbolehkan bekerja di ranah sipil, maka peluang lapangan kerja bagi para pemohon makin berkurang dan makin sulit didapatkan.
“Para pemohon yang saat ini masih menjadi mahasiswa takut akan ke depannya apabila Undang-Undang ini sudah berlaku, maka peluang lapangan kerja bagi para pemohon semakin berkurang. Padahal, pada faktanya sebelum adanya undang-undang ini lapangan pekerjaan bagi sipil pun sudah sangat sedikit, apabila militer diperbolehkan bekerja di ranah sipil, maka lapangan pekerjaan bagi para pemohon akan menjadi sangat sulit untuk didapatkan,” ujar salah satu pemohon, Nova Auliyanti Faiza dalam sidang pendahuluan Perkara Nomor 83/PUU-XXIII/2025 pada Selasa (27/5/2025).
Selain Nova, para pemohon lainnya adalah Mohammad Arijal Aqil, Shanteda Dhiandra, Bisma Halyla Syifa Pramuji, dan Berliana Anggita Putri. Berliana yang sudah menjadi sarjana hukum mengaku mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan dikarenakan minimnya lapangan pekerjaan serta tinggi angka pencari kerja yang tidak diserap. Hal ini menghasilkan tingginya angka pengangguran dan persaingan yang sulit. Terlebih, apabila posisi jabatan yang sepantasnya diisi oleh sipil yang memiliki keahlian di bidang tersebut diisi militer yang kompetensinya bukan di bidang itu.
Di samping itu, para pemohon menyebut UU TNI tidak memenuhi kategori sebagai Rancangan Undang-Undang (RUU) dalam keadaan darurat atau mendesak sebagaimana ketentuan norma Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Menurut mereka, tidak ada keadaan luar biasa, konflik, bencana alam, ataupun urgensi nasional yang nyata dan tidak dapat ditunda sebagai dalih yang ingin dijadikan justifikasi untuk menuntut segera dibentuknya revisi terhadap UU TNI di luar mekanisme program legislasi nasional (prolegnas) yang lazim.
UU TNI juga tidak dapat dikualifikasikan sebagai RUU carry over sebagaimana ketentuan UU P3. Berdasarkan dokumen dan fakta legislasi yang ada, RUU TNI pada periode DPR 2019-2024 tidak pernah sampai pada tahap pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) karena Presiden tidak pernah mengirimkan surat presiden maupun DIM sebagai prasyarat konstitusional untuk memulai pembahasan bersama DPR.
Menurut mereka, rangkaian proses perencanaan pembentukan UU TNI mencerminkan pola perencanaan yang tergesa-gesa dan mengabaikan prinsip kehati-hatian yang seharusnya menjadi fondasi dalam setiap proses legislasi.
3. Perkara 85/PUU-XXIII/2025 dicabut

MK juga membacakan putusan perkara nomor 85/PUU-XXIII/2025 yang dicabut oleh pemohon. Permohonan diajukan oleh warga negara bernama Ahmad Soffan Aly. Ia melayangkan uji materiil UU TNI.
Pemohon sempat mengonfirmasi pencabutan gugatan itu saat MK menggelar sidang pengujian materiil UU TNI pada Senin (23/6/2025). Sidang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan agenda konfirmasi perihal pencabutan permohonan.
“Kami menerima pemberitahuan dari kuasa hukum atau prinsipal perihal pencabutan Perkara Nomor 85. Bagaimana? Silakan,” ujar Saldi.
Menanggapi hal tersebut, Muhammad Qabul Nusantara selaku kuasa hukum pemohon membenarkan perihal penarikan permohonan.
“Ya, Yang Mulia, benar kami mengajukan pencabutan permohonan tertanggal 19 Juni, Yang Mulia. Alasannya karena masih ada yang harus disempurnakan dalam drafnya,” kata Qabul.
Sebelumnya, pemohon membahas konstitusionalitas norma yang mengatur supremasi sipil dalam UU TNI, khususnya dalam konteks kekosongan jabatan Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan. Dalam pemaparannya, kuasa hukum pemohon, Ferdian Zakiy Saputra, mengatakan, penjelasan pasal tersebut tidak mengantisipasi kondisi darurat sebagaimana dimandatkan dalam Pasal 8 Ayat 3 UUD 1945.
“Penjelasan UU TNI hanya menyebut Presiden sebagai pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat. Padahal, dalam keadaan kekosongan serentak, kekuasaan eksekutif dijalankan oleh pelaksana tugas kolektif, yaitu Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan,” ujar dia dalam persidangan perdana di MK, Selasa (27/5/2025).
Ia menilai, ketidakjelasan norma ini dapat membuka ruang bagi ketidakpatuhan Panglima TNI terhadap pelaksana tugas kepresidenan, terutama dalam situasi krisis nasional. Menurut pemohon, hal ini berpotensi melemahkan prinsip supremasi sipil dan menimbulkan ketidakstabilan negara.
“Dalam kondisi seperti itu, militer tetap membutuhkan komando yang cepat dan tunggal. Ketidakjelasan posisi komando sipil bisa menimbulkan ketidakefektifan bahkan pembangkangan militer,” lanjut Ferdian.
Total ada 15 permohonan uji materi UU TNI di MK. Dengan adanya putusan terbaru ini, tercatat ada enam permohonan yang ditolak dan dua permohonan dicabut sehingga tersisa delapan permohonan yang masih berlanjut di MK.
Berikut adalah daftar permohonan pengujian UU TNI yang masih berlanjut!
1. 45/PUU-XXIII/2025 — Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia
2. 56/PUU-XXIII/2025 — Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia
3. 68/PUU-XXIII/2025 — Advokat
4. 69/PUU-XXIII/2025 — Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
5. 75/PUU-XXIII/2025 — Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
6. 81/PUU-XXIII/2025 — Koalisi Masyarakat Sipil
7. 92/PUU-XXIII/2025 — Mahasiswa Universitas Singaperbangsa Karawang
Berikut pengujian UU TNI yang ditolak dan dicabut!
Ditolak:
1. 55/PUU-XXIII/2025 — Swasta
2. 58/PUU-XXIII/2025 — Mahasiswa FH Universitas Internasional Batam
3. 66/PUU-XXIII/2025 — Mahasiswa Universitas Pamulang
4. 74/PUU-XXIII/2025 — Mahasiswa FH Universitas Islam Indonesia
5. 79/PUU-XXIII/2025 — Mahasiswa FH Universitas Brawijaya
6. 83/PUU-XXIII/2025 — Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta
Dicabut:
1. 57/PUU-XXIII/2025 — Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya
2. 85/PUU-XXIII/2025 — Perseorangan