KemenPPPA Dorong Pendidikan Reproduksi Tekan Perkawinan Anak dan P2GP

- Angka perkawinan anak di Indonesia mengalami penurunan signifikan
- 46,3 persen perempuan pernah alami praktik berbahaya, pentingnya pencegahan dari lingkup keluarga
- P2GP harus jadi tanggung jawab bersama, kurangnya pemahaman kesehatan reproduksi menjadi akar masalah
Jakarta, IDN Times - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi menyebut angka perkawinan anak di Indonesia mengalami penurunan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Tren itu bahkan telah melampaui target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024.
“Dalam beberapa tahun terakhir, angka perkawinan anak di Indonesia menunjukkan tren penurunan yang signifikan. Pada tahun 2021, angkanya menurun dari 10,35 persen menjadi 9,23 persen, kemudian 8,06 persen pada tahun 2022, dan 6,92 persen pada tahun 2023. Capaian ini bahkan telah melampaui target RPJMN 2020–2024, yaitu 8,74 persen di tahun 2024,” kata Arifah dalam talkshow dan Diseminasi dengan Tema Perempuan dan Perkawinan Anak Membangun Generasi Sehat dan Setara, Rabu (12/11/2025).
1. Ada 46,3 persen perempuan pernah alami praktik berbahaya

Namun, Arifah mengingatkan tren positif ini tidak boleh membuat pemerintah dan masyarakat berpuas diri.
“Perkawinan anak masih menjadi tantangan serius bagi perlindungan anak di Indonesia. Berdasarkan data tahun 2024, proporsi anak perempuan yang menikah di bawah umur masih 5,9 persen, dan setiap angka di balik statistik itu mewakili seorang anak yang kehilangan hak atas masa kecil, pendidikan, dan masa depan yang lebih baik,” ujarnya.
Dia menambahkan, hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional 2024 juga menunjukkan penurunan praktik P2GP atau praktik berbahaya terhadap perempuan.
“Sebanyak 46,3 persen perempuan usia 15-49 tahun di Indonesia dilaporkan pernah mengalami praktik tersebut,” kata dia.
2. Pencegahan dari lingkup keluarga

Arifah menekankan pentingnya upaya pencegahan dari lingkup terkecil, yakni keluarga.
“Upaya pencegahan kekerasan, termasuk praktik berbahaya terhadap anak, harus dimulai dari unit terkecil, yaitu keluarga. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah mengembangkan Pusat Pembelajaran Keluarga atau PUSPAGA sebagai wadah strategis untuk memperkuat ketahanan keluarga,” katanya.
Dia menjelaskan melalui PUSPAGA, masyarakat dapat memperoleh edukasi, layanan konseling, dan pendampingan psikologis bagi orang tua dan anak. PUSPAGA berfungsi tidak hanya sebagai tempat konsultasi, tetapi juga sebagai pusat pembelajaran untuk membangun keluarga yang berdaya, adaptif, dan peduli terhadap perlindungan anak.
3. P2GP harus jadi tanggung jawab bersama

Lebih jauh, Arifah menekankan bahwa pencegahan perkawinan anak dan praktik P2GP harus menjadi tanggung jawab bersama.
“Mencegah perkawinan anak dan P2GP tidak bisa hanya dilakukan oleh satu pihak. Ini adalah tanggung jawab kolektif yang memerlukan partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat- mulai dari keluarga, tokoh agama, pendidik, hingga anak-anak dan remaja itu sendiri,” katanya.
Menurutnya, salah satu akar masalah praktik tersebut adalah kurangnya pemahaman mengenai kesehatan reproduksi.
“Pendidikan kesehatan reproduksi yang benar dan sesuai usia adalah langkah penting untuk mencegah perkawinan anak dan praktik P2GP, serta membantu anak memahami tubuh dan hak-haknya,” kata Arifah.
Dia meminta agar semua pihak berkolaborasi baik dari pemerintah pusat, daerah hingga berbagai lembaga.
“Kita juga memerlukan kolaborasi lintas sektor yang kuat pemerintah pusat dan daerah, lembaga swadaya masyarakat, dunia akademik, media, dan sektor swasta, semuanya harus bersinergi untuk membangun gerakan bersama,” ujarnya.


















