Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Suara Pecah di MK, Dosen Gugat Batas Pensiun Profesor 70 Tahun

berita_1764062988_65bfa51ad71580ec3072.jpg
(dok. Mahkamah Konstitusi)
Intinya sih...
  • Profesor M Havidz Aima memohon perpanjangan usia pensiun profesor menjadi 80 tahun di MK.
  • Havidz menilai batas usia pensiun profesor 70 tahun tidak relevan dengan angka harapan hidup 75 tahun.
  • Ia juga menyoroti dualisme aturan antara UU Guru dan Dosen serta peraturan Kemenristekdikti yang merugikan bangsa dan mahasiswa.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK) mendadak hening pada Selasa (25/11/2025) siang. Seorang dosen, M Havidz Aima, berdiri di hadapan para hakim dengan suara yang sempat bergetar. Bukan karena gugup, melainkan karena harapan besar yang ia bawa, yakni memperpanjang usia pensiun profesor menjadi 80 tahun.

Ia hadir sebagai pemohon uji materiil Pasal 67 ayat 4 dan 5 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Sejak kalimat pertama, suasana persidangan berubah menjadi lebih personal—lirih, menyentuh, dan sarat pesan kemanusiaan.

1. Suara bergetar untuk jutaan mahasiswa dan ribuan profesor

IMG_20251125_165035.jpg
M Havidz Aima saat ditemui di Gedung MK (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Havidz membuka permohonannya dengan ucapan syukur. Namun pada bagian tertentu, suaranya pecah menahan haru. Ia menyebut perjuangannya bukan untuk dirinya, melainkan untuk ribuan profesor dan jutaan mahasiswa di seluruh Indonesia.

"Marilah kita mengucapkan puji syukur kehadiran Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan kesempatan bagi kita semua pada siang hari ini berada di ruang yang sangat mulia ini, membahas kepentingan ribuan profesor dan jutaan mahasiswa," kata dia dengan suara bergetar menahan tangis.

Menurut Havidz, batas usia pensiun profesor 70 tahun sudah tidak relevan. Dengan angka harapan hidup 75 tahun, ia menilai para profesor berusia 70–80 tahun justru berada pada puncak kualitas keilmuan.

Ia menyebut pensiun dini profesor sebagai pemborosan sumber daya strategis, atau “mubazir”, karena kualitas intelektual mereka masih sangat produktif.

2. Mengaku bukan ahli hukum, tapi membawa amanat besar

Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Dengan rendah hati, Havidz mengakui dirinya bukan ahli hukum dan belum pernah bersidang di MK. Ia meminta maaf apabila penyampaiannya kurang sesuai standar persidangan.

"Izinkan saya menginformasikan bahwa saya tidak berlatar belakang pendidikan hukum dan belum pernah bersidang di ruang yang sangat istimewa dan mulia ini. Oleh karena itu, izinkan saya untuk mengangkat jari yang sepuluh, sebelas dengan kepala, meminta maaf kepada menjelis hakim yang mulia, sekiranya cara saya duduk, cara saya berbicara, pendek tata cara saya menyampaikan permohonan, baik yang sudah disampaikan saya tertulis maupun yang sedang saya sampaikan ini, sekiranya tidak sesuai dengan standar beracara, maka dengan segala kerendahan hati, kiranya para menjelis hakim yang mulia, amat berkenan memaafkan saya," tutur Havidz.

Ia menegaskan, permohonan ini didasari keyakinan profesor Indonesia masih mampu berkontribusi penuh di usia 70–80 tahun. Secara mental, fisik, dan intelektual, menurutnya, mereka masih berada pada fase produktif.

Havidz juga menyoroti dualisme aturan antara UU Guru dan Dosen serta peraturan Kemenristekdikti. Dalam aturan kementerian, profesor purnatugas bisa mengabdi hingga usia 79 tahun, berbeda dengan batas pensiun 70 tahun dalam UU.

Ia menilai perbedaan itu tidak hanya merugikan dirinya, tetapi juga bangsa dan mahasiswa yang membutuhkan bimbingan dari profesor berpengalaman.

3. Petitum: Buka ruang pengabdian profesor hingga 80 tahun

Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Dalam petitumnya, Havidz memohon MK mengubah ketentuan usia pensiun profesor dari 70 tahun menjadi 80 tahun, dengan syarat sehat fisik dan mental. Hal ini, katanya, dapat mendukung kualitas akreditasi dan pembukaan program studi baru. Soal anggaran, ia menegaskan bahwa pengaturannya bisa diturunkan melalui peraturan menteri.

Havidz menyebut, pendidikan tinggi di Indonesia seharusnya memberikan dukungan kepada para dosen dan guru besar yang memberikan pengajaran dan ilmu pengetahuannya kepada para mahasiswa. Namun adanya aturan yang tumpang tindih sebagaimana terlihat pada Peraturan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 26 Tahun 2015 tentang Registrasi Pendidik pada Perguruan Tinggi.

Pada Pasal 6 ayat 4 disebutkan bahwa Nomor Induk Dosen Khusus (NIDK) diberikan kepada selain dosen purnatugas berlaku sampai dengan dosen tersebut mencapai usia 70 tahun untuk profesor dan 65 tahun untuk dosen selain profesor. Kemudian bagi dosen yang purnatugas, berlaku sampai batas usia 79 tahun dengan jabatan akademik terakhir adalah profesor dan 70 tahun bagi dosen dengan jabatan akademik terakhir selain profesor.

Pemohon telah dikontrak dengan Surat Perjanjian Kerja akan berakhir pada 31 Juli 2032. Dalam hal ini, Surat Perjanjian Kerja tersebut mengacu pada Permenristekdikti Nomor 2 Tahun 2016, bahwa seorang profesor dapat mengabdi sampai dengan umur 79 tahun. Sementara pada UU Guru dan Dosen, pemberdayaan dosen dengan pangkat akademik tertinggi profesor hanya sampai dengan batas waktu 70 tahun. Fakta demikian, dinilai tak hanya merugikan Pemohon sebagai dosen, tetapi juga merugikan bangsa, negara, dan rakyat yang membutuhkan seorang profesor yang berkualitas.

Adanya dualisme ketentuan yang sangat berbeda dalam praktik di tingkat Perguruan Tinggi, khususnya dosen dalam melihat dari pada ayat 8 bagi dosen yang purnatugas, sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diberikan dalam rentang usia 70 tahun – 78 tahun yang purnatugas dengan jabatan akademik terakhir adalah profesor. Sementara bagi dosen purnatugas dengan jabatan akademik selain profesor ialah 65 tahun – 69 tahun.

“Berdasarkan dalil-dalil tersebut, Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 67 Ayat 5 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen serta Peraturan Pemerintah c.q Peraturan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Riset, Tehnologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 26 Tahun 2015, dan menetapkan bahwa batas usia Profesor sebagaimana diatur dalam ayat 9 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan kepentingan Dosen/Profesor yang memberikan pendidikan dan Pengajaran di Indonesia,” ucap Havidz.

Havidz menutup pernyataannya dengan pantun Melayu. Ia pun kembali menangis saat membacakan isi pantun yang membahas soal jasa guru.

"Guru memang bukan orang hebat, tetapi semua orang hebat adalah berkat jasa dari seorang guru. Mohon juga izin saya menyampaikan semangat kita yang sama di hari guru, yang bertepatan pada hari ini 24 November," tuturnya.

"Mentari pagi mulai berseri, burung berkicau penuh hormoni. Guruku guru kehidupan sejati, memberi arah hingga aku berdiri di sini," imbuhnya sembari menangis.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ilyas Listianto Mujib
EditorIlyas Listianto Mujib
Follow Us

Latest in News

See More

Gus Yahya Disebut Tak Lagi Jadi Ketum PBNU

26 Nov 2025, 15:53 WIBNews