Silaturahmi, Guyon, dan Pesta Adat, Merawat Bangsa Mencegah Perpecahan

Warga mengemas pembicaraan soal pemilu dengan humor

Jakarta, IDN Times - Dari ujung telepon Zainal terdengar menarik napas. Beberapa detik ia terdiam dan kemudian melanjutkan ceritanya. Kampung halamannya, sebuah desa di bawah kaki Gunung Rinjani, Lombok Timur, NTB, yang bernama Desa Montong Betok, baru saja selesai menggelar pemilihan kepala desa pada Mei 2023 lalu.

"Kalau di sini pemilihan kepala desa itu panas, lebih panas daripada pemilihan presiden atau pemilihan legislatif," kata bapak dua anak itu kepada IDN Times, Senin (27/11/2023).

Meski demikian, kata Zaenal yang kini berusia 55 tahun, warga di kampungnya saat ini sudah kembali beraktivitas normal. Tak ada lagi selisih paham, gontok-gontokan, apalagi sampai konflik dan terbelah gegara beda pilihan. Persilihan hanya tersisa di kalangan para kandidat kades saja, yang tidak terima dengan kekalahan mereka.

"Ada (kandidat kades) yang sampai 3-4 bulan gak saling tegur, sampai main polisi, saling lapor. Tapi kita warga, tim sukses (timses), pendukung sudah biasa-biasa saja," lanjut Zaenal yang sehari-hari berdagang alat pancing.

Kondisi tak jauh berbeda juga terjadi saat Pemilihan Presiden 2019 lalu. Di Kampung Zaenal, capres yang menang saat itu, Prabowo Subianto. Bahkan Prabowo menang telak dari Joko Widodo atau Jokowi. Zaenal sendiri mengaku memilih Prabowo saat itu. Pilihan ini berseberangan dengan pamannya yang merupakan tim sukses Jokowi.

Pada Pilpres 2019, ujar Zainal, meski tensinya tidak setinggi saat pemilihan kepala desa (pilkades), tetap saja masing-masing pendukung capres berusaha saling mempengaruhi, saling sindir, dan adu argumentasi untuk merebut suara terbanyak. Termasuk juga membawa-bawa nama tokoh agama dan mengatasnamakan agama saat berkampanye.

"Sampai ada timses yang datang bawain kita baju, tapi ya kita gak mau, bukan pilihan kita," ungkap Zaenal.

Tapi, gontok-gontokan selama pemilu dan pilkades tidak dibiarkan terjadi berlarut-larut oleh warga Montong Betok. Menurut Zaenal yang mengaku sebagai timses salah satu caleg di Pemilu 2024 ini, di kampungnya ada kebiasaan saling berkunjung antarwarga yang berbeda pilihan untuk meredakan tensi dan mencairkan kembali suasana.

"Kita silaturahmi, saling kunjungi. Ya, kadang bikin acara makan-makan pas malam minggu," ujarnya.

Saat kunjungan atau silaturahmi itu, warga biasanya mencairkan suasana dan menguatkan kembali hubungan kekeluargaan dan pertemanan yang sempat retak. Meskipun terkadang masih ada saling sindir soal pilihan.

"Biasa saling sentil, tapi silaturahminya masih kuat di sini. Itu yang kita jaga. Jadi perbedaan itu ya sudah selesai, biasa lagi," ungkapnya.

Memperkuat silaturahmi dengan saling mengunjungi, membuat warga Montong Betok tetap bersatu dalam nilai-nilai kebangsaan dan demokrasi, dan terhindar dari perpecahan atau polarisasi yang dipicu perbedaan atau pun politik identitas saat pemilu.

Bahkan, ujar Zaenal, dialah yang berkunjung atau bersilaturahmi duluan ke rumah pamannya, meski jagoannya menang telak lawan Jokowi di desa mereka, demi mencegah perselisihan dan perbedaan terjadi berlarut-larut.

Di Sumatra Utara, khususnya Kabupaten Deli Serdang dan Padang Lawas Utara, masyarakatnya juga memiliki cara tersendiri untuk merawat kebangsaan dan demokrasi, dan mencegah terjadinya perpecahan gegara beda pilihan saat pemilu.

Ahmad Harahap, yang berasal dari Padang Lawas namun kini tinggal di Deli Serdang mengungkapkan, memilih menghindari bicara soal politik dan pemilu saat bertemu orang yang beda pilihan dengannya. Apalagi orang yang membawa-bawa nama agama dan tokoh berpengaruh untuk mempengaruhi orang lain agar memilih tokoh yang sama.  

"Kalau ketemu ya senyum-senyum aja. Lebih baik diam saja, artinya kita sudah ada pilihan, ngapain kita berdebat-debat, toh nanti malah jadi pertengkaran," ujar Ahmad saat dihubungi IDN Times, Senin (27/11/2023).

Cara lainnya yang sering digunakan masyarakat di kampungnya agar tak terjadi perselisihan dan perpecahan, lanjut Ahmad, yakni membungkus omongan soal pemilu atau politik dengan lelucon atau menjadikannya sebagai guyonan.

"Misalnya kita sindir ke mereka yang bukan pendukung Jokowi tapi menikmati hasil Jokowi, 'enak kali ada jalan tol Jokowi'," ujar Ahmad sambil tertawa.

Meski berisi sindiran, namun karena dikemas dengan humor, membuat masyarakat lebih santai menghadapi perbedaan pilihan dalam pemilu.

Tak hanya itu, kebiasaan lainnya yang juga manjur menyatukan masyarakat, kata Ahmad,  pesta adat. Pada Pemilu 2019, ujar pria 45 tahun ini, memang sempat terjadi kelompok pengajian di kampungnya Padang Lawas Utara pecah gegara beda pilihan. Namun perpecahan itu tak berlangsung lama, karena warga disatukan lagi dengan pesta adat.

"Biasanya di pesta-pesta adat seperti pesta perkawinan kita bertemu, yang Islam, yang Kristen kumpul di pesta. Kadang saling sindir tapi sambil lucu-lucuan, selepas pesta tidak ada masalah lagi," ungkap Ahmad.

“Kalau adat kan sama aja, kita satu keturunan nenek moyang, yang beda hanya yang satu makan babi, yang satu makan kerbau, yang satu nyanyi-nyanyi, yang satu ngaji,” lanjut Ahmad menjelaskan bahwa perbedaan-perbedaan yang terjadi di kampungnya akan disatukan kembali oleh persamaan adat istiadat.  

Ahmad yang bekerja sebagai karyawan swasta di Medan mengungkapkan, masyarakat sudah sadar tidak mau berantem gara-gara kepentingan para elite.

Eva yang tinggal di Blitar, Jawa Timur juga mengungkapkan bahwa pemilu itu hanya sesaat. Sementara pertemanan dan persaudaraan itu selamanya. Eva seorang penulis lepas yang berasal dari Sukabumi tapi kini tinggal di Blitar mengungkapkan, saat Pemilu 2019 dia mendukung Jokowi. Sementara banyak kakak dan keluarga besarnya di Sukabumi merupakan pendukung garis keras Prabowo.

Agar tak menimbulkan perpecahan karena beda pilihan, saat bertemu atau kumpul dengan keluarga, dia dan keluarganya tidak membicarakan politik, apalagi menyanjung-nyanjung tokoh yang didukung di depan orang yang berbeda pilihan.

"Kalau menang kita juga gini-gini aja, buat apa ngotot-ngototan, saling memahami aja," ujar perempuan 44 tahun itu.

Saling memahami, menghargai, dan tidak mengejek juga menjadi kunci yang digunakan Cakno untuk menghindari perselisihan berkepanjangan akibat beda pilihan dalam pemilu. Cakno mengungkapkan, pada Pemilu 2019 dia sangat merasakan politik identitas baik di kehidupan nyata maupun di dunia maya.

Laki-laki 48 tahun yang tinggal di Bekasi, Jawa Barat ini mengaku, di media sosialnya saat itu banyak berseliweran doktrin-doktrin yang membawa-bawa agama untuk memilih capres tertentu.    

Tapi dia tak mau meladeni. “Percuma buat apa diladenin, karena kalau sudah bawa agama itu doktrinnya kuat, kalau diterusin bisa baku hantam,” ujarnya kepada IDN Times, Selasa (28/11/2023).   

Begitu juga di kehidupan nyata. Dia mengaku berbeda pilihan dengan teman dekatnya di kantor tempanya bekerja. Agar tak terjebak dalam perselisihan gegara beda pilihan, dia memilih menghindari topik pembicaraan soal pemilu dan politik, atau menjadikannya sebagai guyonan.

Baca Juga: Survei: Lemahnya Identitas Partai Jadi Sumber Polarisasi Pemilu 2024

Ancaman polarisasi bikin khawatir

Silaturahmi, Guyon, dan Pesta Adat, Merawat Bangsa Mencegah PerpecahanIlustrasi polarisasi di media sosial. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras, dan golongan membuat setiap pemilu selalu dibayang-bayangi ancaman politik identitas, yang bisa menyebabkan  terjadinya polarisasi atau perpecahan. 

Direktur Eksekutif The Strategic Research and Consulting (TSRC), Yayan Hidayat, memprediksi polarisasi pada Pemilu 2024 masih akan tinggi.

Analisis tersebut didapat berdasarkan hasil survei TSRC mengenai perilaku pemilih atau pendukung calon presiden (capres) di media sosial. Hasilnya, pemilih capres tertentu masih sensitif membahas isu agama. Menurut Yayan, masalah itu muncul seiring meningkatnya penetrasi publik terhadap penggunaan internet.

"Survei ini memprediksi, potensi polarisasi dukungan dan konflik identitas di media sosial sepanjang penyelenggaraan Pemilu 2024 masih akan tinggi, seiring dengan peningkatan penetrasi internet dan media sosial," kata dia kepada IDN Times, 4 April 2023 lalu.

Di samping itu, lanjut Yayan, sensitivitas dan sentimen publik dalam melihat isu agama di media sosial cukup beragam. Namun penggunaan internet yang tinggi dan cara berpikir yang intoleran bisa memicu konflik.

"Survei ini menunjukkan bahwa sentimen pemilih masing-masing pendukung calon presiden di media sosial berbeda-beda dalam merespons isu agama," kata dia.

"Artinya, penetrasi internet yang tinggi, kontestasi yang kompleks ditambah dengan sentimen pemilih yang besar dalam merespons isu agama, akan rentan sekali memicu konflik di berbagai ruang politik," dia menambahkan.

Survei TSRC itu sendiri dilakukan pada 17 Februari sampai 27 Maret 2023, menggunakan rancangan non-probability sampling yang disebarkan secara berantai (snowball). Jumlah keseluruhan sampel yang diwawancarai mencapai 1.200 responden dengan margin error 2,9 persen.

Ancaman polarisasi dan politik identitas di Pemilu 2024 juga disampaikan Direktur Eksekutif Yayasan Tifa Shita Laksmi. Dia menyebut, Pemilu 2024 akan diisi berbagai praktik buruk politik, sehingga hal ini mampu memperkuat polarisasi saat pemilu mendatang.

Menurutnya, polarisasi akan muncul apabila terjadi politik identitas, yang akan digaungkan dan dimanfaatkan sejumlah politikus untuk meraih dukungan politik.

"Strategi politik identitas baik agama, suku, ras atau antar golongan membuat pola intoleransi dan konflik horizontal semakin mengemuka," ucap Shita dalam acara Ulang Tahun ke-22 Yayasan Tifa yang berlangsung 16 Desember 2022 lalu.

Karena itu, ia berharap Pemilu 2024 dijadikan sebagai ajang merawat keberagaman di masyarakat.

"Tifa percaya kedewasaan demokrasi bisa kita raih dengan merawat keberagaman di tengah-tengah masyarakat. Bahkan memandang keragaman sebagai aset perubahan. Pemilu perlu dipandang sebagai suatu momen berdemokrasi yang adil dan setara, juga menyenangkan," kata Shita.

Sementara itu, Ketua Dewan Pengurus Yayasan Tifa Endy Bayuni mengatakan, perkembangan politik dan sosial saat ini sangat sensitif. Terlebih lagi dengan mencuatnya komentar mengenai stagnasi demokrasi.

"Melihat perkembangan politik dan sosial Indonesia saat ini, sangat mudah kita untuk merasakan frustrasi dan kesal, apalagi di tengah banyaknya komentar mengenai terjadinya democratic stagnation, regression, dan backsliding," ujar Endy.

Masyarakat sendiri juga khawatir dengan potensi terjadinya politik identitas dan polarisasi pada Pemilu 2024. Berdasarkan hasil survei yang digelar Litbang Kompas pada 19-21 Juni 2023, sebanyak 49 persen responden menyatakan khawatir, dan 7 persen sangat khawatir polarisasi kembali terjadi pada Pemilu 2024.

"Sebagian besar responden menyatakan khawatir dengan potensi keterbelahan. Setidaknya lebih dari separuh responden (56 persen) merasa khawatir dengan adanya perpecahan di masa Pemilu 2024," demikian dikutip dari Litbang Kompas, Selasa (28/11/2023).  

Sedangkan responden yang menyatakan tidak khawatir mengenai potensi polarisasi pada Pemilu 2024, sebanyak 37,6 persen dan 6,3 persen.

Hasil survei ini juga memperlihatkan, sebagian besar responden yaitu 49,3 persen dan 18,8 persen merasa khawatir dan sangat khawatir kandidat Pemilu 2024 akan menggunakan cara kampanye yang memecah belah masyarakat.

Dalam survei yang melibatkan 507 responden dari 34 provinsi, di mana sampel ditentukan secara acak dengan margin of error penelitian -/+ 4,35 persen, Litbang Kompas juga menyebutkan bahwa Pemilu 2019 menjadi catatan traumatis bagi sebagian besar masyarakat, karena kontestasi pemilihan presiden saat itu sarat dengan tarik-menarik antarkubu pendukung capres.

Arti polarisasi dan politik identitas

Silaturahmi, Guyon, dan Pesta Adat, Merawat Bangsa Mencegah PerpecahanIDN Times/Candra Irawan

Sebelum membahas lebih jauh soal polarisasi dan politik identitas, perlu dipahami lebih dulu apa itu polarisasi dan politik identitas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), polarisasi adalah pembagian atas dua bagian (kelompok orang yang berkepentingan dan sebagainya) yang berlawanan.

Dikutip dari jurnal penelitian Opini Publik dalam Polarisasi Politik di Media sosial, Wilson (2015) menjelaskan, polarisasi terjadi karena komitmen yang kuat terhadap suatu budaya, ideologi atau kandidat, sehingga memecah suatu kelompok dengan kelompok lainnya. 

Polarisasi dinilai membuat suatu kelompok menganggap bahwa pandangan dan prinsip kelompoknya sendirilah yang paling benar. Sedangkan, yang berseberangan adalah kelompok yang salah pandangan politik dan moralitasnya. Hal yang saling berseberangan itulah yang memicu polarisasi, sehingga terjadi keributan dalam publik.

Adapun salah satu pemicu terjadinya polarisasi adalah politik identitas yang dijalankan kelompok tertentu. Di Indonesia, secara umum frasa politik identitas cenderung dianggap sebagai konotasi negatif.

Dikutip dari buku Dinamika Politik Identitas di Indonesia karya Josep, Lukmantoro (2014) menyebutkan, politik identitas adalah tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari para anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik itu ras, etnisitas, gender, maupun keagamaan.

Kehadiran politik identitas kerap dikaitkan karena adanya partai politik (parpol) yang mengalami marginalisasi hak-hak politik, serta kebebasan untuk berkeyakinan yang selama ini mendapatkan hambatan sangat signifikan. 

Sementara itu, Ahmad Syafii Maarif dalam Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita (2012) menjelaskan, politik identitas merupakan narasi yang hadir dari kelompok marginal atau terpinggirkan akibat kegagalan narasi arus utama mengakomodir kepentingan minoritas.

Syafii Maarif menilai, politik identitas sebenarnya bisa menjadi konotasi positif karena bisa menghadirkan wadah mediasi penyuaraan aspirasi bagi yang tertindas.

Namun di masyarakat Indonesia, muncul 'kegagapan' untuk memahami struktur masyarakat plural dengan banyak etnis dan agama, hingga berujung pada tindakan intoleransi.

Adapun Abdillah dalam Politik Identitas Etnis (2002) menjelaskan, politik identitas secara garis besar merupakan kegiatan politik untuk merangkul kesamaan atas dasar persamaan-persamaan tertentu, mulai dari etnis, agama, hingga jenis kelamin.

Secara umum, politik identitas bisa dimanfaatkan oleh kelompok minoritas maupun kelompok marginal dalam upaya mendapat keadilan atau melawan ketimpangan.

Sejatinya politik identitas merupakan gerakan atau kondisi di mana sekelompok orang menggunakan identitas yang sama baik etnis, agama, maupun gender guna kepentingan kelompok.

Baca Juga: Survei: Generasi Z Bisa Redam Polarisasi Pemilu 2024

Polarisasi nyata di Pemilu 2019, ada cebong dan kampret

Silaturahmi, Guyon, dan Pesta Adat, Merawat Bangsa Mencegah PerpecahanPanggilan-panggilan yang memperlihatkan polarisasi dalam Pemilu 2019 (Data Drone Emprit/https://pers.droneemprit.id)

Terjadinya polarisasi atau perpecahan akibat pemilu bukan isapan jempol semata. Fenomena polarisasi terlihat jelas pada Pilpres 2019, di mana saat itu pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin berhadapan dengan pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.

Dikutip dari jurnal penelitian Mengelola Polarisasi Politik dalam Sirkulasi Kekuasaan di Indonesia, masyarakat melihat kedua pasangan calon pemimpin negara tersebut sebagai tokoh yang berseberangan dalam segala hal. 

Bahkan, muncul istilah cebong sebagai julukan bagi pendukung Jokowi dan kampret untuk pendukung Prabowo.

Drone Emprit menyebutkan, puncak panggilan cebong dan kampret paling tinggi terjadi pada April 2019, yaitu saat Pilpres 2019.

Usai Pilpres 2019, tren kedua panggilan itu menurun. Namun kemudian muncul panggilan baru, yaitu kadrun yang ditujukan untuk pendukung Prabowo, kemudian diikuti dengan munculnya panggilan "buzzeRp" dan variasinya "buzzerRp" untuk memanggil buzzer yang dianggap dibayar oleh oligarki.

Dikutip dari pers.droneemprit.id, sejak panggilan cebong muncul pada 1 Juli 2015 yang kemudian diikuti oleh panggilan kampret lalu kadrun, hingga 17 April 2022, total ada 4,67 juta percakapan yang menggunakan panggilan cebong. Sementara percakapan dengan panggilan kadrun 4,33 juta, dan kampret 3,94 juta. 

"Dalam periode 1 tahun terakhir setelah pilpres lewat (sejak Januari 2021 hingga April 2021), tradisi saling menyebut kelompok netizen dengan panggilan di atas masih terus berlangsung. Polarisasi yang dilabeli dengan nama-nama ini terus berjalan dan seolah dipelihara," demikian keterangan Drone Emprit. 

Dalam kesimpulannya, Drone Emprit juga menjelaskan, semakin sering panggilan-panggilan itu disebutkan, polarisasi menjadi semakin besar dan terus terjaga.

Polarisasi sebagai fenomena nyata yang terjadi pada Pemilu 2019 juga ditunjukkan dari hasil survei nasional yang digelar Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI). Berdasarkan hasil survei, diketahui polarisasi politik di Indonesia terjadi baik di dunia yang sebenarnya (offline) maupun di dunia maya (online).

Ketua Laboratorium Psikologi Politik UI Profesor Hamdi Muluk saat rilis survei berjudul Polarisasi Politik di Indonesia: Mitos atau Fakta? mengungkapkan, polarisasi masih kuat terjadi berbasis agama, kepuasan kinerja pemerintah, dan sentimen anti luar negeri (asing dan aseng).

Dari tiga hal di atas, “agama varian penyumbang terbesar polarisasi,” ujar Hamdi, Minggu 19 Maret 2023.

Ancaman pemanfaatan agama untuk memecah belah masyarakat pada Pemilu 2024 sudah diperingatkan oleh Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Ma'ruf mengungkapkan, penggunaan politik identitas dalam hal ini agama, sudah terlihat.

“Saya kira sudah ada, sudah pernah dilihat, misalnya memakai masjid sebagai tempat kampanye. Itu salah satu indikasi. Kalau itu tidak segera dicegah, tempat-tempat ibadah, tempat-tempat pendidikan, dijadikan tempat kampanye,” ujar Ma’ruf usai menghadiri acara Dialog Kebangsaan bersama Partai Politik dalam rangka Persiapan Pemilu Tahun 2024 di The St. Regis Hotel, Jakarta, 13 Maret 2023 lalu.

Termasuk penggunaan pesantren, yang dikhawatirkan akan menjadi tempat polarisasi sosial.

 “Nanti pembelahan (polarisasi) bukan hanya di masyarakat tapi di dalam pesantren, di dalam masjid, di tempat-tempat ibadah itu bisa terjadi,” kata Wapres dalam keterangan yang dirilis Setwapres.  

Untuk itu, Wapres menegaskan, berbagai indikasi penggunaan politik identitas harus dicegah sehingga tidak berlanjut dan menimbulkan polarisasi atau perpecahan masyarakat.

Selain Wapres, Presiden Jokowi dan tokoh-tokoh bangsa juga sudah wanti-wanti terhadap ancaman polarisasi pada Pemilu 2024, dan meminta masyarakat tidak mengorbankan persatuan hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi.

Presiden Jokowi menegaskan, Pemilu 2024 bukan lagi eranya politik identitas yang mengakibatkan perpecahan dan polarisasi. Karena itu, dia berharap seluruh elemen masyarakat bisa menjaga kondisi politik.

"Kita harapkan dalam kontestasi politik pilpres maupun pileg, saya selalu titip jangan menggunakan politik identitas, sekarang ini bukan lagi eranya gontok-gontokan, sekarang ini eranya adu gagasan, kontestasi program, mengadu ide," kata Jokowi dalam sambutan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) dan Musyawarah Dewan Partai (MDP) di eL Hotel Royal, Kelapa Gading, Jakarta Utara, 11 Januari 2023.

"Semuanya harus menjaga Persatuan jangan mengorbankan kepentingan bangsa untuk kepentingan pribadi, untuk kepentingan partai, dan yang lain-lainnya," Jokowi menambahkan.

Sementara itu, Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf menegaskan, PBNU dan Muhammadiyah sepakat menolak politik identitas pada Pemilu 2024. Kesepakatan tersebut dicapai setelah Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah bertemu dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

"Mengutamakan identitas primordial tanpa ada kompetisi yang lebih rasional menyangkut hal-hal yang lebih visioner, tawaran-tawaran agenda yang bisa dipersandingkan antara satu kompetitor dengan lainnya," kata Yahya Cholil Staquf seperti dikutip dari laman NU Online, 25 Mei 2023 lalu.

Yahya mengatakan, politik yang mengedepankan identitas kelompok primordial dapat memicu perpecahan.

"Kita tidak mau ada politik berdasarkan identitas Islam, bahkan tidak mau ada politik berdasarkan identitas NU. Jadi kami nggak mau nanti ada kompetitor (mengatakan) 'Pilih orang NU'. Kita gak mau itu. Kalau mau bertarung harus dengan tawaran-tawaran yang rasional," kata Yahya.

Sedangkan Ketua Umum PP Muhammadiyah Profesor Haedar Nashir mengatakan, identitas primordial yang disampaikan Yahya berkaitan dengan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), yang apabila dipakai dalam berpolitik hanya akan membawa pada polarisasi sosial.

"Karena menyandarkan primordial SARA, lalu sering terjadi politisasi sentimen-sentimen atas nama agama, suku, ras, golongan, yang kemudian membawa pada polarisasi. Bahkan di tubuh setiap komunitas dan golongan, itu bisa terjadi," ucap Haedar. 

Haedar mengajak masyarakat berpolitik dengan cara demokrasi modern. Sehingga tidak saling menjatuhkan lawan politik dengan cara negatif.

"Mari kita berkontestasi mengedepankan politik yang objektif, rasional, dan yang ada di dalam koridor demokrasi yang modern," ujarnya.

Merawat bangsa dengan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal

Silaturahmi, Guyon, dan Pesta Adat, Merawat Bangsa Mencegah PerpecahanDaftar Pemilih Sementara Pemilu 2024 (IDN Times/Aditya Pratama)

Meski ancaman polarisasi membayang-bayangi Pemilu 2024, namun masyarakat sudah memiliki cara untuk mencegah perpecahan yang bisa timbul kapan saja. 

Belajar dari Pemilu 2019, di mana kandidat yang didukung mati-matian ternyata akhirnya berkoalisi dalam pemerintahan, masyarakat menjadi sadar dan mendapat pelajaran bahwa kepentingan politis hanya sifatnya sementara. 

"Ngapain kita berantem, awak hampir berantem di sini, tapi ternyata orang-orang (yang dibela) malah enak-enak," ujar Ahmad. 

"Pemilu itu hanya sesaat. Pertemanan dan persaudaraan itu selamanya," kata Eva. 

Selain karena menyadari bahwa kepentingan politik sifatnya sementara, masyarakat juga merawat bangsa dan mencegah perpecahan dengan nilai-nilai yang sudah lama tertanam dalam masyarakat Indonesia. 

Seperti diutarakan Zaenal yang tinggal di pelosok desa di Lombok Timur, dia dan warga desanya sangat mengutamakan silaturahmi untuk merajut kembali benang-benang kebersamaan yang putus akibat perbedaan selama pemilu, hingga nilai-nilai kebangsaan dan demokrasi tetap terawat dan terjaga.

Selain mengedepankan silaturahmi, masyarakat juga menangkal efek dari polarisasi dengan berpegang pada adat istiadat yang diwariskan nenek moyang, seperti yang berlangsung di kampung halaman Ahmad di Sumatra Utara. Sehingga meski berbeda agama, berbeda pilihan dalam pemilu, namun mereka dipersatukan dalam pesta adat yang telah berlangsung turun temurun.

Seperti dikatakan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dalam Dialog Kebangsaan bersama Partai Politik dalam rangka Persiapan Pemilu Tahun 2024 di The St. Regis Hotel, Jakarta, Senin 13 Maret 2023, politik identitas yang bisa menyebabkan terjadinya perpecahan atau polarisasi, bisa dilawan dengan menggaungkan nilai-nilai kebangsaan asli Indonesia, pluralisme, kebinekaan, dan persatuan bangsa.

Hal ini juga disampaikan guru besar STF Driyarkara, Profesor Franz Magnis Suseno, bahwa Pancasila sebagai nilai, cita-cita, dan etika menjadi pedoman dalam berbagai aktivitas termasuk dalam menghadapi tantangan radikalisme dan polarisasi yang masif di berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.

"Pancasila mengajarkan kita untuk hormat terhadap kebebasan beragama dengan harapan kita harus menolak ideologi-ideologi yang menyangkal nilai bangsa, harus kebal terhadap hasutan-hasutan populistik," kata Franz Magnis Suseno dalam acara Pendidikan Kader Kebangsaan Angkatan 1 di Universitas Katolik Indonesia Atmajaya Jakarta, Minggu 30 Juli 2023.

Adapun Pemilu 2024 akan digelar pada 14 Februari. Pada tanggal ini, rakyat Indonesia yang sudah memiliki hak pilih akan menentukan nasib bangsanya dengan memilih capres-cawapres dan calon anggota legislatif.

Berdasarkan data pemilih sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU), total pemilih pada Pemilu 2024 sebanyak 205.853.518. Pemilih didominasi anak muda, di mana generasi milenial (lahir 1981-1996) sebanyak 69.061.943 orang atau 31,55 persen. Sedangkan pemilih generasi Z atau Gen Z (lahir 1997-2012) berjumlah 47.020.295 orang atau 22,84 persen.

Adapun pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang akan bertarung di Pemilu 2024 berjumlah 3 pasang, yakni pasangan nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, pasangan nomor urut 2  Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan pasangan nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD. 

Sedangkan calon anggota legislatif DPR yang sudah masuk daftar calon tetap (DPT) sebanyak 9.917 orang. Ketua KPU Hasyim Asy'ari mengatakan, jumlah caleg tersebut berasal dari 18 partai politik. 

Baca Juga: Jelang 2024, Generasi Muda Diajak Terapkan Pancasila Lawan Polarisasi

https://www.youtube.com/embed/xWLxjWip9Ws

Topik:

  • Sunariyah
  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya