Ethiopia Resmikan Bendungan Hidroelektrik Terbesar di Afrika

- GERD memiliki tinggi 170 meter dan panjang hampir 2 kilometer
- Daya tampung hingga 74 miliar meter kubik air.
- Pembangunan menggunakan 11 juta meter kubik beton yang menciptakan waduk raksasa bernama Danau Nigat.
Jakarta, IDN Times – Ethiopia meresmikan Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD) pada Selasa (9/9/2025), bendungan hidroelektrik terbesar di Afrika yang mampu menghasilkan 5.150 megawatt listrik. Acara ini digelar di distrik Guba di Sungai Nil Biru dan dihadiri Perdana Menteri Ethiopia, Abiy Ahmed, bersama Presiden Kenya William Ruto, Presiden Somalia Hassan Sheikh Mohamud, serta Ketua Uni Afrika Mahmoud Ali Youssouf.
Peresmian ini menjadi tonggak penting bagi sektor energi Ethiopia yang kapasitasnya akan berlipat ganda. Perdana Menteri Abiy Ahmed menyampaikan tujuan pembangunan bendungan tersebut.
“Kepada saudara-saudara kami, Ethiopia membangun bendungan ini untuk makmur, untuk menyalakan listrik di seluruh wilayah dan untuk mengubah sejarah orang kulit hitam. Ini sama sekali bukan untuk menyakiti saudara-saudara kami,” katanya, dikutip dari The Guardian.
Ucapan itu memperlihatkan bagaimana proyek ini dimaknai sebagai kebanggaan nasional sekaligus simbol ambisi kawasan.
1. Seperti apa bendungan ini?
GERD memiliki tinggi 170 meter dan panjang hampir 2 kilometer dengan daya tampung 74 miliar meter kubik air. Pembangunan menggunakan 11 juta meter kubik beton yang menciptakan waduk raksasa bernama Danau Nigat, berarti “fajar” dalam bahasa Amharik. Dengan skala ini, GERD masuk jajaran 20 bendungan hidroelektrik terbesar di dunia.
Pembangunan proyek raksasa ini menelan biaya 5 miliar dolar AS (setara Rp82,3 triliun), dengan 91 persen dananya berasal dari bank sentral Ethiopia. Sisanya ditutupi lewat penjualan obligasi serta sumbangan masyarakat, melibatkan partisipasi jutaan warga dari berbagai lapisan.
Seorang pegawai publik, Abdifatah Hussein Abdi, menyumbangkan sebagian gajinya, sedangkan aktivis Musa Sheko Mengi membeli beberapa obligasi dan menyebut GERD sebagai gerbang menuju harapan bagi Ethiopia, negara dengan 60 juta penduduk yang belum menikmati listrik.
2. Sejarah panjang pembangunan dan perjuangan para pekerja

Pembangunan GERD dimulai pada April 2011 di bawah pemerintahan eks Perdana Menteri Meles Zenawi. Ide tentang bendungan ini sebenarnya telah muncul sejak awal abad ke-20, lalu ditindaklanjuti pada 1950-an ketika Kaisar Haile Selassie memesan studi pembangunan bendungan di Nil Biru. Ethiopia yang dijuluki menara air Afrika akhirnya mengoptimalkan potensi sungainya untuk menjawab kebutuhan energi.
Proyek ini sempat menghadapi berbagai tantangan, mulai dari wafatnya Zenawi pada 2012, konflik politik, hingga keterbatasan dana. Meski begitu, bendungan rampung pada Juli 2025 setelah mulai menghasilkan listrik sejak 2022 dan memenuhi 16 persen kebutuhan energi Ethiopia pada 2024. Seorang insinyur mekanik, Moges Yeshiwas, yang bergabung sejak 2012, mengenang proses itu.
“Menyaksikan kemajuan bendungan hari demi hari sangat memuaskan,” ujarnya kepada BBC.
Cerita Moges menggambarkan dedikasi para pekerja yang bertahan menghadapi jam kerja panjang dan panas ekstrem.
3. Bendungan GERD memicu ketegangan diplomatik regional

Keberadaan GERD menimbulkan ketegangan dengan Mesir dan Sudan yang sangat bergantung pada Sungai Nil. Mesir, yang memperoleh 97 persen kebutuhan airnya dari sungai tersebut, menyebut proyek ini sebagai ancaman eksistensial karena khawatir aliran airnya berkurang saat musim kemarau. Sudan pun memiliki kekhawatiran serupa, meski di sisi lain berpeluang merasakan manfaat berupa energi murah dan pengelolaan banjir lebih baik. Pada Senin (8/9/2025), juru bicara Kementerian Luar Negeri Mesir, Tamim Khallaf, melontarkan peringatan keras.
“Siapa pun yang berpikir Mesir akan menutup mata terhadap hak airnya adalah keliru. Mesir akan melaksanakan haknya untuk mengambil semua tindakan yang sesuai untuk membela dan melindungi kepentingan rakyat Mesir,” katanya kepada Reuters.
Di saat yang sama, Mesir memperkuat hubungan dengan Eritrea dan Somalia yang bermusuhan dengan Ethiopia, sementara upaya negosiasi sejak 2011 belum menghasilkan kesepakatan penuh.
Ethiopia menegaskan bahwa GERD adalah hak kedaulatan sekaligus peluang bersama bagi kawasan. Pemerintah Ethiopia merujuk penelitian independen yang menyebut aliran air hilir tidak akan terganggu secara signifikan berkat pengisian waduk secara bertahap. Mesir dan Sudan tetap mendesak perjanjian hukum yang mengikat untuk memastikan penggunaan air yang adil, menjadikan isu ini simbol tarik ulur antara pembangunan nasional dan keamanan air regional.
4. Dampak sosial GERD dan harapan rakyat Ethiopia
GERD diharapkan bisa mengatasi krisis energi Ethiopia, di mana hampir separuh dari 135 juta penduduknya belum mendapat akses listrik. Menteri Air dan Energi Habtamu Ifeta menargetkan 90 persen warga akan menikmati listrik pada 2030, meski perluasan jaringan nasional masih menjadi pekerjaan besar. Harapan akan perubahan paling terasa di desa-desa seperti Alamura yang masih hidup tanpa penerangan.
Kontribusi rakyat juga menjadi bagian penting dari pembangunan ini. Abdulhakim Shamsuddin, kini dokter di Dire Dawa, ikut menyumbang sejak masih berusia 14 tahun.
“Kalian bisa menebak bagaimana rasanya ketika kalian berpartisipasi dalam sesuatu sejak kecil dan melihat kerja serta kesuksesan kalian tumbuh,” katanya, dikutip dari Al Jazeera.
Pengalaman Abdulhakim menunjukkan betapa kuatnya ikatan emosional masyarakat dengan proyek ini. Kisah serupa datang dari perawat Kiros Asfaw di Tigray yang membeli obligasi lebih dari 100 kali, mengikuti seruan Zenawi, meski perang saudara sempat menghambat kontribusinya. Sementara itu, penduduk desa seperti Getenesh Gabiso berharap bisa segera memiliki listrik di rumahnya.
Harapan sederhana ini menggambarkan potensi GERD untuk menerangi jutaan kehidupan, sekaligus mendukung pembangunan nasional lewat potensi ekspor energi senilai 1 miliar dolar AS (setara Rp16,4 triliun).