Mayoritas Investigasi Kejahatan Perang Israel di Gaza Tak Dilanjutkan

- Hanya satu dari puluhan kasus yang berujung pada vonis
- Israel disebut sengaja ciptakan budaya kebal hukum
- Penyelidikan diduga hanya formalitas untuk menjaga citra
Jakarta, IDN Times – Sebuah laporan dari lembaga pemantau konflik Action on Armed Violence (AOAV) mengungkap temuan mengkhawatirkan. Sebanyak 88 persen investigasi militer Israel atas kejahatan perang di Gaza dilaporkan mandek atau ditutup tanpa kejelasan.
Laporan ini mengkaji 52 kasus yang menjadi sorotan media internasional antara Oktober 2023 hingga Juni 2025. Temuan ini memicu dugaan adanya pola di mana para pelaku pelanggaran berat Israel seolah tidak tersentuh proses hukum yang semestinya, dilansir Arab News pada Minggu (3/8/2025).
Beberapa di antara kasus yang belum jelas nasibnya termasuk insiden yang menewaskan sedikitnya 112 warga Palestina saat mengantre bantuan tepung pada Februari 2024. Penyelidikan serangan di kamp pengungsian Rafah yang merenggut 45 nyawa pada Mei 2024 juga bernasib sama.
1. Hanya satu dari puluhan kasus yang berujung pada vonis
Dari puluhan kasus yang diperiksa, hanya ada satu insiden yang pelakunya dijatuhi hukuman penjara. Di sisi lain, militer Israel hanya mengakui adanya kesalahan atau pelanggaran prosedur dalam enam kasus lainnya.
Sebanyak tujuh kasus telah ditutup karena penyelidik Israel tidak menemukan adanya pelanggaran. Sementara itu, 39 kasus sisanya, atau tiga perempat dari total kasus, dibiarkan menggantung tanpa ada hasil akhir yang diumumkan ke publik.
Kasus lain yang disorot adalah serangan yang menewaskan tujuh pekerja bantuan dari World Central Kitchen (WCK) pada April 2024. Meskipun dua perwira telah dipecat, pihak WCK menganggap investigasi yang dilakukan Israel tidak kredibel.
"Data-data ini seolah menunjukkan adanya upaya dari Israel untuk menciptakan sebuah pola agar mereka tidak tersentuh hukum. Caranya adalah dengan tidak menuntaskan atau tidak menemukan kesalahan apa pun dalam sebagian besar kasus, terutama pada tuduhan pelanggaran yang paling serius," ujar para peneliti AOAV, dikutip dari The Guardian.
2. Israel disebut sengaja ciptakan budaya kebal hukum
Militer Israel (IDF) sebenarnya memiliki mekanisme internal untuk menangani tuduhan pelanggaran oleh pasukannya. Proses ini melibatkan tim Pencari Fakta (FFA) dan penyelidikan kriminal oleh Jaksa Agung Militer (MAG).
Namun, kelompok hak asasi manusia Israel, Yesh Din, menilai sistem tersebut tidak efektif jika melihat data di masa lampau. Laporan mereka menunjukkan dari 664 keluhan terkait konflik di Gaza pada periode 2014-2021, hanya satu yang berhasil sampai ke tahap dakwaan.
IDF sendiri mengklaim telah membuka 74 investigasi kriminal sejak konflik terbaru dimulai. Namun, sebagian besar kasus itu berfokus pada pelanggaran seperti penganiayaan tahanan dan penjarahan, bukan pada dugaan kejahatan perang saat pertempuran berlangsung.
Salah satu contoh janggal adalah penutupan kasus penembakan tiga sandera Israel oleh tentara IDF pada Desember 2023. Investigasi ditutup tanpa temuan kesalahan, padahal para sandera dilaporkan sudah mengibarkan bendera putih dan berbicara bahasa Ibrani.
"Budaya kebal hukum di Israel bukanlah sebuah kecacatan dalam sistem, melainkan sistem itu sendiri. Ini bukanlah tentang beberapa prajurit nakal atau insiden yang terisolasi, tetapi sudah menjadi bagian dari kebijakan resmi negara," kata Shawan Jabarin, direktur organisasi HAM Palestina Al-Haq.
3. Penyelidikan diduga hanya formalitas untuk menjaga citra

Laporan AOAV berpendapat bahwa seluruh proses investigasi internal IDF tersebut diduga hanya formalitas belaka. Proses ini justru terlihat semakin lamban dan tidak transparan ketika jumlah korban sipil yang berjatuhan terus meningkat.
Tujuan utama dari formalitas ini adalah untuk membangun citra seolah Israel memiliki sistem hukum yang berjalan. Dengan begitu, mereka dapat berargumen bahwa pengadilan internasional seperti Mahkamah Pidana Internasional (ICC) tidak perlu turun tangan.
Sikap tertutup ini juga tecermin saat Jaksa Agung Militer menolak untuk mempublikasikan daftar lengkap kasus yang sedang mereka selidiki. Pihak militer juga dinilai hanya akan berkomentar mengenai kasus tertentu jika terus-menerus didesak oleh media.
Pada akhirnya, AOAV menyimpulkan bahwa sistem ini lebih bertujuan melindungi citra institusi daripada mencari keadilan. Pengumuman bahwa sebuah investigasi akan dilakukan lebih menjadi alat propaganda daripada sebuah proses hukum yang nyata.
"Sesuai kewajiban kami di bawah hukum Israel dan internasional, IDF selalu melakukan proses pemeriksaan dan investigasi atas insiden-insiden luar biasa yang terjadi selama kegiatan operasional. Dalam beberapa kasus, jika informasi awal menimbulkan kecurigaan adanya tindak pidana, investigasi kriminal akan segera kami buka," kata IDF menanggapi laporan AOAV.