Singapura Tunda Eksekusi Mati Penyelundup Narkoba

Jakarta, IDN Times - Pengadilan tinggi di Singapura pada hari Senin (8/11/2021) memutuskan untuk menunda eksekusi mati Nagaenthran K Dharmalingam, seorang pria Malaysia berusia 33 tahun, yang berusaha menyelundupkan 43 gram heroin ke Singapura pada 2009. Eksekusi dijadwalkan akan dilaksanakan pada 10 November 2021, dengan cara digantung.
Penundaan hukuman mati ini setelah ada tekanan terhadap Singapura untuk menghentikan eksekusi karena Dharmalingam diidentifikasi memiliki IQ sebesar 69, tingkat yang diakui sebagai indikasi ketidakmampuan secara intelektual. Kelompok hak asasi dan berbagai pihak telah menyerukan agar Singapura membatalkan keputusan hukuman mati.
1. Pengadilan berpendapat pelaku memahami tindakannya

Melansir dari CNN, pengadilan di Singapura menjatuhi hukuman mati terhadap Dharmalingam pada 2010, setahun kemudian banding coba diajukan, tapi ditolak dan banding lain yang diajukan pada 2018 juga ditolak. Kementerian Dalam Negeri Singapura dalam sebuah pernyataan mengatakan alasan banding ditolak karena pengadilan berpendapat tersangka memahami tindakannya.
Pengadilan mengatakan Dharmalingam menyelundupkan narkoba untuk melunasi hutangnya dan memahami konsekuensi hukum, ditunjukkan dengan menyembunyikan bungkusan berisi narkoba dengan diikat di pahanya. Pengadilan juga mengatakan selama investigasi tersangka terus-menerus mengubah keterangan pendidikannya, dianggap untuk menetapkan tingkat pendidikan yang lebih rendah.
Pengadilan bependapat Dharmalingam dapat membandingkan risiko pelanggarannya dengan imbalan yang diterima dari penyelundupan, karena memahami adanya imbalan memutuskan untuk melakukan penyeludupan.
Singapura memiliki beberapa undang-undang narkoba paling keras di dunia. Penyelundup yang membawa 15 gram heroin dapat dihukum mati. Namun, setelah kasus Dharmalingam muncul ke publik ada perubahan pada 2014, yang membuat pelanggar dapat dihukum seumur hidup daripada hukuman mati, dengan catatan terdakwa hanya kurir dan terbukti tidak mampu secara mental untuk bertanggung jawab.
Kasus ini dilaporkan akan kembali disidangkan pengadilan banding pada hari Selasa dengan alasan bahwa tersangka memiliki ketidakmampuan secara intelektual, dikutip dari BBC.
2. Tekanan terhadap Singapura

Melansir dari The Guardian, keputusan untuk menghukum mati Dharmalingam membuat pemerintah Singapura mendapat tekanan dari berbagai kelompok kemanusian internasional, termasuk Human Rights Watch dan Amnesty International. Sebuah petisi daring untuk menentang eksekusi telah diluncurkan dan berhasil menarik lebih dari 62 ribu tanda tangan.
Lebih dari 200 anggota keluarga dan teman-teman narapidana yang mendapatkan hukuman mati di Singapura menyerukan agar Dharmalingam dibebaskan dan menghapus hukuman mati, dengan menulis surat terbuka yang dirilis oleh Transformative Justice Collective.
Kasus ini membuat perjabat tinggi di Malaysia melakukan tindakan. Perdana Menteri Malaysia, Ismail Sabri Yaakob, telah mengirimkan surat kepada Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, untuk meminta eksekusi dibatalkan dengan memberikan keringanan hukuman.
Delapan anggota parlemen Inggris Raya telah menulis surat kepada Menteri Luar Negeri Liz Truss, untuk memintanya mendesak pemerintah Singapura menghentikan eksekusi. Miliarder Inggris
Delegasi Uni Eropa untuk Singapura juga menyerukan agar hukuman diringankan. Blok tersebut dalam pernyataanya mengatakan tidak ada bukti yang menunjukkan hukuman mati dapat menjadi tindakan yang lebih ampuh untuk mencegah kejahatan daripada hukuman penjara.
Aktivis penentang hukuman mati Kirsten Han yang mengumpulkan dana untuk keluarga Dharmalingam di Malaysia agar dapat datang menjenguk, mengatakan penundaan membua keluargat lega. Han mengkritik pemerintah Singapura yang bersikeras menerapkan hukuman mati, dia mengatakan para ahli kebijakan narkoba mengatakan tidak ada bukti hukuman mati akan mencegah transaksi narkoba.
3. Eksekusi dianggap dapat melanggar hukum
Melansir dari CNN, pengacara Dharmalingam, M.Ravi mengatakan hukuman mati seharusnya tidak dapat dilakukan dalam hukum Singapura untuk Dharmalingam karena tidak memahami tindakannya dan dapat melanggar konstitusi Singapura. Ravi dalam sidang berargumen bahwa kliennya menderita gangguan pemusatan perhatian yang parah, fungsi intelektual batas, dan gangguan penggunaan alkohol yang parah.
N. Surendran, seorang pengacara Malaysia yang mewakili keluarga Dharmalingam, mengatakan tersangka bingung dan tidak memahami apa yang terjadi. Dia berpendapatan hukuman mati ini seperti mengeksekusi anak-anak.
Surendran juga mengatakan tindakan Singapuran ini juga akan melanggar hukum kebiasaan internasional dan juga kewajiban mereka sendiri di bawah konvensi PBB untuk hak-hak penyandang disabilitas, yang telah mereka tandatangani dan ratifikasi.
Emina erimovi, seorang peneliti senior hak-hak disabilitas di Human Rights Watch, mengatakan eksekusi terhadap penyandang disabilitas, yang dihukum setelah penyelidikan dan pengadilan yang tidak memberikan akomodasi khusus disabilitas telah melanggar hukum internasional.
Rachel Chhoa-Howard, peneliti Amnesty International Singapura, menganggap hukuman mati terhadap seseorang yang tidak memahami tindaknnya adalah perbuatan tercela.
Keluarga tersangka dilaporkan baru diberitahu kabar mengenai jadwal eksekusi pada 26 Oktober.