Saat Ini, Pakai Masker Selamatkan Kita dari COVID-19, Bukan Vaksin

Vaksinasi gak gampang

Jakarta, IDN Times – Lupakan euforia vaksin. Dalam tiga bulan terakhir, publik dibombardir oleh iming-iming bakal datang “penyelamat dari COVID-19” berupa vaksin. ASAP. As Soon As Possible. Secepat mungkin. Sebelum tahun pandemik berakhir. Bahkan Presiden AS Donald J Trump sempat mendesak pejabat bidang kesehatannya, agar memastikan vaksinasi virus corona bisa dilakukan sebelum Pemilihan Umum AS, 3 November 2020.

Pemerintahan, dari AS sampai Indonesia, menjadikan vaksin upaya membangun optimisme, bahwa kita akan segera keluar dari kepungan pandemik ini. Angka-angka kesepakatan perolehan vaksin dibeberkan dari hari ke hari. Sekian ratus juta, akan datang bulan ini. Sekian puluh juta bulan itu. Para pejabat menggelar hasil negosiasi dengan pemimpin negara mitra dan perusahaan yang berjanji akan memenuhi kebutuhan vaksin Indonesia.

Seorang petinggi yang ikut negosiasi mencari vaksin memberikan ancar-ancar kepada saya. Kira-kira Indonesia perlu 220-230 juta vaksin, untuk 113 jutaan penerima. Ada yang gratis, yaitu mereka yang masuk dalam kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, sebanyak 96,7 jutaan, sisanya harus bayar untuk mengakses vaksin.

Keyakinan itu tergoncang, ketika mantan juru bicara pemerintah urusan COVID-19, Achmad Yurianto, mengatakan Indonesia batal beli 100 juta dosis vaksin dari AstraZeneca. Sehari setelah memberikan wawancara kepada IDN Times soal itu, Yuri, panggilan akrabnya, yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular di Kementerian Kesehatan itu dimutasi menjadi staf ahli Menkes Terawan. Kebetulan?

Sesudah itu adalah seliweran pernyataan menteri soal vaksin, termasuk ucapan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, bahwa Indonesia tetap akan membeli vaksin dari AstraZeneca dengan alasan memiliki kelebihan memproduksi dalam jumlah besar dan harga terjangkau.

Airlangga, ketua umum Partai Golkar, mengatakan vaksin itu baru akan masuk ke Indonesia kuartal kedua tahun 2021.

Dalam tiga pekan terakhir, dunia memantau berita tak menggembirakan soal vaksin, mulai dari masalah yang menimpa relawan vaksin, dari sakit sampai meninggal dunia, dan tanggapan pemimpin negara yang ogah beli vaksin dari negara tertentu dengan alasan keamanan.

Dari Indonesia, selain maju-mundur kepastian membeli 100 juta dosis vaksin itu, Menteri Riset, Inovasi dan Teknologi/Ketua Badan Riset Inovasi Nasional Bambang Brodjonegoro mengatakan, ada tantangan tersendiri dalam pembuatan vaksin COVID-19 dalam negeri. Salah satu tantangan yang dihadapi, kata Bambang, adalah proses impor yang lama karena adanya pandemik virus corona ini.

Bambang mengatakan, dalam pengembangan vaksin Merah Putih, ada beberapa bahan yang didatangkan dari luar negeri. Seperti hewan untuk uji coba yang harus diimpor dari negara lain.

"Memang ada bahan-bahan yang tetap harus diimpor misalnya sel mamalia, bahkan hewan untuk uji coba pun itu kita impor. Jadi terkadang proses impor termasuk reagen ini yang bisa men-delay aktivitas penelitian," kata Bambang.

Melihat perkembangan, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengeluarkan tujuh poin arahan tentang vaksinasi ini:

  • Semua tahapan vaksin harus berdasarkan sains dan standar kesehatan.
  • Vaksinasi harus direncanakan dengan matang meski pemerintah ingin bergerak cepat.
  • Harga vaksin mandiri harus terjangkau bagi masyarakat.
  • Menteri harus jelaskan detail kepada masyarakat bagaimana akses dan proses vaksinasi.
  • Menteri diminta menjelaskan prioritas awal vaksinasi.
  • Menteri BUMN diminta siapkan strategi komunikasi publik dan libatkan organisasi masyarakat.
  • Sebelum vaksinasi harus ada simulasi.

Baca Juga: [LINIMASA] Perkembangan Terbaru Vaksin COVID-19 di Dunia

Saat Ini, Pakai Masker Selamatkan Kita dari COVID-19, Bukan VaksinIlustrasi tahapan pembuatan vaksin (IDN Times/M Arief)

Vaksin yang efektif dan aman butuh waktu

Dalam sejarahnya, vaksin memang menjadi salah satu intervensi kesehatan yang sukses. Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan setiap tahun ada tiga juta orang yang bisa diselamatkan dari kematian, karena diimunisasi. Kalau vaksin dan proses imunisasi bisa dilakukan secara maksimal, ada 1,5 juta orang lagi yang bisa diselamatkan dari kematian setiap tahunnya. Halangan mencapai vaksinasi universal masih ada, terutama di negara berkembang dan belum berkembang.

Masalahnya, vaksin, termasuk COVID-19, bukanlah peluru perak (silver bullets). Ada vaksin, pandemik pergi? Belum tentu. Melihat skala pandemik yang menyerang seantero dunia, 215 wilayah negara, sulit dipercayai bahwa COVID-19 bakal ikhlas meninggalkan planet bumi dan seisinya.

Sejarah juga menunjukkan bahwa pengembangan vaksin yang efektif dan aman butuh waktu lama, biaya mahal dan berhadapan dengan mereka yang ogah divaksinasi. Jumlah mereka banyak.

Menggunakan data Wellcome Trust, sebuah lembaga filantropi di Inggris, laman WEF.org mencantumkan lima tahapan mengembangkan vaksin. Prosesnya memakan waktu 10 tahun dengan biaya US$500 juta atau sekitar Rp7,5 triliun.

Baca Juga: 5 Tahapan yang Harus Dilalui dalam Pembuatan Vaksin

Saat Ini, Pakai Masker Selamatkan Kita dari COVID-19, Bukan VaksinFoto ilustrasi - Penyuntikan kandidat vaksin COVID-19 untuk uji klinis di Depo, Jawa Barat. (Dok.Humas Jabar)

Untuk COVID-19 proses sejak riset awal sampai uji klinis fase 3 dikebut selama 10-11 bulan, sehingga, menurut rencana, ada vaksin yang siap diproduksi pada akhir 2020.
Setelah vaksin disetujui, tahap berikutnya adalah produksi dan distribusi. Ini persoalan yang tidak kalah bikin pening kepala, apalagi melihat Indonesia sebagai negara kepulauan dengan infrastruktur belum merata, apalagi infrastruktur kesehatan termasuk tenaga kesehatannya.

Tidak heran jika Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) Muhammad Jusuf Kalla mengatakan, Indonesia baru bisa pulih dari pandemik COVID-19 pada 2022. Alasan JK, yang menjabat wakil presiden (2004-2009 dan 2014-2019), vaksin virus corona baru siap diproduksi pada pertengahan 2021.

“Karena yang bisa menyelesaikan ini hanya vaksin, dan tes klinis vaksin itu baru bisa keluar antara Januari-Februari 2021 dan mulai produksi Maret 2021, kata JK, di Markas PMI di Bali, Sabtu 31 Oktober 2020). Perlu waktu satu tahun bagi Indonesia untuk melakukan vaksinasi kepada 70 persen dari total populasi.

Kita juga harus siap dengan sikap, “my country first”, mendahulukan kepentingan negara yang memproduksi vaksin. 

“Masing-masing negara produsen akan mengutamakan negaranya, setelah itu baru kita bisa dapat. Kira-kira nanti vaksinasi bertahap dalam negeri mulai antara Mei dan Juni (2021),” dia menambahkan.

Kata JK, idealnya Indonesia harus bisa memvaksin satu juta orang setiap hari. Namun, dia meragukan kemampuan itu dengan melihat kapasitas tes harian Indonesia yang hanya mencapai 30 ribu per hari.
 
Menurutnya, pencapaian yang paling realistis adalah vaksinasi 500 ribu orang per hari. Jika demikian, maka perlu waktu lebih lama lagi supaya dampak pandemik benar-benar berakhir.
 
“Saya perkirakan kita hanya mampu vaksin 500 ribu orang sehari, maka itu dibutuhkan waktu dua tahun,” ujar dia.

Hambatan berikutnya?

Sikap ogah divaksin, vaccine hesitancy

Alasannya mulai dari soal keamanan dan efektivitas vaksin sampai agama.

Tahun lalu, WHO memasukkan sikap ogah divaksinasi ini dalam satu dari 10 ancaman kesehatan yang dihadapi dunia.

Gallup, lembaga survei terkemuka, membuat survei soal sikap terhadap vaksin yang melibatkan 140 ribu responden di 140 negara. Survei dilakukan pada April sampai Desember 2018, kepada responden usia 15 tahun ke atas.

Hasilnya, Prancis menduduki peringkat pertama dalam hal persentase penduduk yang menganggap bahwa vaksinasi itu aman, yaitu 33 persen. Disusul Gabon 26 persen, Togo 25 persen, Rusia 24 persen, Swiss 22 persen, Armenia 21 persen, Austria 21 persen, Belgia 21 persen, Islandia 21 persen, Burkina Faso 20 persen, dan Haiti 20 persen.

Bagaimana dengan Indonesia?

Sebuah artikel yang ditulis di jurnal thelancet.com, berjudul Vaccine Hesitancy in Indonesia menunjukkan bahwa anti vaksin masih besar di sini. Artikel ditulis oleh Paul Pronyk, Anung Sugihantono, Vensya Sitohang, Thomas Moran, dan kawan-kawan, dipublikasikan pada Maret 2019.

Di sana diulas bahwa antara 2017-2018, pemerintah melakukan kampanye vaksinasi mencegah campak dan rubella (MR) dengan target 68 juta anak usia 9 bulan sampai 15 tahun.

Pemerintah menggelontorkan US$100 juta untuk kampanye vaksinasi ini dengan tujuan 95 persen target divaksinasi. Berbagai kendala ditemui, termasuk bencana alam dan penolakan kelompok agama. Kampanye yang awalnya berdurasi dua bulan, diperpanjang jadi lima bulan. Hasilnya, masih ada 10 juta anak belum diimunisasi.

Padahal, vaksin MR, dikembangkan dengan jangka waktu lebih lama ketimbang vaksin COVID-19.

Jadi, alih-alih dininabobokan dengan vaksin sebagai obat mujarab mengenyahkan pandemik, semua pihak sebaiknya fokus kebiasaan dan kebijakan yang mendasar. Pemerintah giat lakukan uji usap (swab test), pelacakan (tracing) dan perawatan (treatment). Masyarakat dengan disiplin menggunakan masker, menjaga jarak dan hindari kerumunan, rajin mencuci tangan menggunakan sabun di air mengalir.

Tambahan tip: rajin berjemur setiap pagi, rajin olahraga ringan, makan makanan sehat termasuk sayur dan buah-buahan serta minum vitamin.

Melaksanakan protokol kesehatan tidak menjamin 100 persen kita terhindar dari musuh siluman virus corona. Tapi ini perlindungan minimal yang bisa kita lakukan dengan murah meriah (empati saya untuk warga miskin yang sulit menjalankan menjaga jarak di komunitasnya, kepada mereka perlu diberikan perhatian lebih).

Jika ingin melakukan Revolusi Mental yang dampaknya antara bertahan hidup atau mati, ya ini bentuknya, bukan dengan menghafal butir-butir Pancasila.

Baca Juga: Moderna Siap Distribusikan Vaksin COVID-19 Akhir 2020

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya