7 Fakta Ekosida, Kejahatan Pembunuhan terhadap Lingkungan Hidup

- Ekosida adalah pembunuhan pada lingkungan setara dengan genosida
- Istilah ekosida muncul karena konflik bersenjata
- Ekosida tak melulu akibat perang dan konflik bersenjata
Ekosida mungkin kurang populer di telinga masyarakat awam. Istilah ekosida mencuat sejak tahun 1970-an dan dikemukakan pertama kali oleh ahli biologi, Arthur Galston. Ia menggambarkan kerusakan hutan massal akibat Perang Vietnam.
Ekosida merupakan kejahatan yang berupa perusakan lingkungan dan ekosistem yang dilakukan oleh manusia. Istilah ekosida makin relevan dengan krisis iklim yang terjadi saat ini. Untuk mengenal lebih jauh tentang ekosida, kamu bisa membaca fakta-fakta ekosida berikut ini.
1. Ekosida adalah pembunuhan pada lingkungan setara dengan genosida

Ekosida digolongkan pada extraordinary crime atau kejahatan luar biasa karena mencakup kerusakan dalam skala besar. Ekosida mengancam bahkan menyapu bersih keanekaragaman hayati dalam sebuah ekosistem. Misalnya penggundulan hutan untuk pembukaan lahan baru.
Sering kali, kerusakan ekosistem ini berdampak secara permanen. Hilangnya kehidupan dalam sebuah ekosistem sama seperti genosida, yang merupakan pemusnahan kelompok manusia tertentu. Baik ekosida mau pun genosida, keduanya akan memengaruhi keberlanjutan hidup generasi berikutnya.
2. Istilah ekosida muncul karena konflik bersenjata

Seperti yang disebutkan sebelumnya, istilah ekosida muncul di tahun 1970-an untuk menggambarkan kerusakan lingkungan akibat perang antara Vietnam dan Amerika Serikat. Amerika Serikat menyemprotkan herbisida mematikan ke ladang-ladang dan hutan di Vietnam dengan tujuan untuk menggunduli hutan sekaligus menghilangkan sumber makanan tentara Vietnam.
Tindakan yang dilakukan Amerika Serikat bukan hanya menghancurkan pasokan makanan Vietnam, tetapi juga membunuh ekosistem dan kehidupan yang ada di dalamnya. Tak hanya itu, herbisida yang disemprotkan juga menyebabkan warga sipil yang tinggal di sekitar hutan menderita cacat permanen dan penyakit serius.
3. Ekosida tak melulu akibat perang dan konflik bersenjata

Ekosida tak selalu terjadi akibat perang atau konflik bersenjata, tetapi juga bisa terjadi dalam kondisi damai. Misalnya eksploitasi industri ekstraktif seperti perkebunan monokultur, pengeboran minyak di pantai, pertambangan, hingga pembuangan limbah berbahaya. Saat ini ekosida lebih lekat dengan dengan krisis iklim dan perusakan lingkungan akibat aktivitas manusia. Khususnya demi memenuhi kebutuhan pangan dan ekonomi.
4. Pelaku ekosida bisa berpotensi dari korporasi dan negara

Negara dan korporasi bisa berpotensi menjadi pelaku ekosida. Negara sebagai pemangku kebijakan mempunyai wewenang untuk merealisasikan proyek-proyek yang bisa saja merusak lingkungan hidup. Misalnya Pembangunan infrastruktur dengan mengorbankan lahan hutan.
Proyek-proyek di sektor ekstraktif yang meskipun mendapat izin resmi juga dapat menyebabkan deforestasi, pencemaran, hingga punahnya spesies. Peraturan yang kurang ketat bisa menyebabkan pihak-pihak yang punya kontrol mengeksploitasi alam tanpa tanggung jawab yang etis. Dan hal ini tentunya mendorong terjadinya perusakan lingkungan yang menjurus pada ekosida.
5. Ekosida paling berdampak pada masyarakat adat dan perempuan

Selain flora dan fauna yang menghuni ekosistem, masyarakat adat dan perempuan adalah kelompok yang paling rentan terdampak ekosida. Masyarakat adat bergantung pada alam sebagai mata pencahariaan, sumber pangan, hingga obat-obatan. Kerusakan ekosistem akan membuat masyarakat adat kehilangan tempat tinggal.
Perempuan jadi gender paling terdampak dari ekosida. Misalnya ketika terjadi krisis air, perempuan akan kesulitan untuk menemukan sanitasi yang layak saat menstruasi. Dalam masyarakat pedesaan dan tradisional, perempuan masih punya peran untuk menyediakan makanan, air, hingga bahan bakar rumah tangga. Ketika hutan sudah gundul, para perempuan akan kesulitan memenuhi kebutuhan rumah tangga.
6. Contoh ekosida yang terjadi di Indonesia

Contoh paling nyata dari ekosida adalah peristiwa Lumpur Lapindo yang terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur tahun 2006. Pengeboran sumur menyebabkan semburan lumpur dan keluarnya gas metana yang menenggelamkan rumah-rumah dan lahan pertanian. Peristiwa ini juga menyebabkan beragam tumbuhan dan hewan kehilangan habitatnya.
Contoh lain ada pada deforestasi yang terjadi di berbagai hutan hujan tropis di Indonesia. Pengalihan fungsi lahan hutan untuk pemukiman, perkebunan sawit, hingga pertambangan. Deforestasi ini menghilangkan habitat asli para satwa dan memusnahkan keanekaragaman hayati di dalamnya.
7. Ekosida belum diakui sebagai kejahatan internasional

Meskipun dianggap setara dengan genosida, ekosida belum diakui sebagai kejahatan internasional dan diakui secara luas. Hal ini agak kompleks karena mecakup berbagai faktor hukum, politik, hingga ekonomi. Berbeda dengan genosida yang lebih konkret, ekosida lebih sulit untuk dibuktikan.
Untuk membuktikan kejahatan ekosida, dibutuhkan data ekologi, perubahan jangka panjang, hingga faktor eksternal dan internal. Kondisi seperti ini tentu membutuhkan peran banyak pihak dan waktu yang sangat lama.
Ekosida menjadi kejahatan serius yang sangat kompleks sekaligus mencerminkan moral manusia yang rakus mengeksploitasi alam. Jika kerusakan ini terus terjadi, maka bukan satwa dan tumbuhan saja yang punah. Manusia sebagai penghuni planet bumi pasti akan merasakan dampaknya yang permanen.