11 Fakta Plastik, Penemuan Revolusioner yang Berubah Menjadi Kutukan

Ada banyak aspek kehidupan modern yang membedakannya dari generasi yang hidup sekitar seabad yang lalu. Selain kemajuan teknologi yang pesat, kualitas udara, dan pergeseran estetika di bidang-bidang seperti arsitektur, salah satu perubahan terbesar selama 100 tahun terakhir adalah perubahan dalam material yang kita gunakan untuk membuat barang sehari-hari, seperti barang mewah, perangkat modern, dan banyak lagi.
Hal ini berkat munculnya plastik, yang pertama kali muncul pada awal abad ke-20. Sejak saat itu, plastik pun digunakan dalam banyak hal, mulai dari kemasan makanan, mainan, pakaian, hingga peralatan militer. Tanpanya, banyak benda yang kita kenal sekarang mustahil banget bisa diproduksi.
Namun, apa yang dulunya dianggap sebagai penemuan revolusioner ternyata berubah menjadi kutukan dalam beberapa dekade terakhir. Plastik, kini menjadi salah satu bencana lingkungan paling genting di dunia, karena merusak ekosistem dan satwa liar. Selain itu, plastik menimbulkan risiko kesehatan bagi manusia, yang mana penggunaan plastik dalam kehidupan sehari-hari semakin sulit dipisahkan. Bagaimana, ya, sejarah lengkapnya?
1. Awal mula terciptanya plastik

Banyak hal berubah sejak abad ke-19, saat plastik modern pertama kali digunakan. Di antaranya adalah bahan-bahan seperti karet alam, yang ditemukan pada tahun 1839. Selain itu, ada lak, bahan atau polimer alami yang berasal dari sekresi resin dari serangga bersisik betina (nama ilmiah Kerria lacca), yang ditemukan pada tahun 1856. Di Era Victoria, tepatnya pada tahun 1839, sebenarnya sudah tercipta semi-sintetis pertama, dengan polistirena super ringan yang dikembangkan secara tak sengaja di Jerman oleh Eduard Simon.
Beberapa perkembangan dasar inilah yang dikembangkan lagi pada awal abad ke-20. Misalnya, seperti yang dikutip Smithsonian Magazine, pada tahun 1869, John Wesley Hyatt menemukan seluloid. Seluloid ini digunakan untuk menggantikan produk alami, seperti gading dan kulit penyu. Bahan ini juga digunakan di industri hiburan sebagai film fotografi untuk membuat film.
Ini hanyalah beberapa contoh. Pada kenyataannya, di abad ke-19, tercipta beberapa semi-sintetis. Sementara di awal abad ke-20, tercipta plastik termoset dan termoplastik pertama, yang banyak di antaranya masih umum digunakan hingga saat ini.
2. Terciptanya Bakelite

Kemajuan terbesar dalam produksi plastik terjadi pada tahun 1909, dengan ditemukannya plastik pertama, yakni fenol-formaldehida, sebuah material yang kemudian terkenal lewat nama mereknya, Bakelite (Bakelit). Namanya diambil dari penemunya yang berbasis di New York, yaitu Leo Hendrik Baekeland. Ia sukses pada era 1890-an berkat penciptaan kertas foto Velox.
Science History Institute melansir kabar bahwa pada era 1900-an, Leo Hendrik Baekeland mengembangkan pengganti lak yang berasal dari serangga bersisik betina, dan kebetulan semakin langka. Setelah bertahun-tahun bereksperimen, Leo Hendrik Baekeland menyempurnakannya lewat mesin yang ia namai Bakelizer. Mesin ini mengandalkan tekanan uap. Suhu ideal yang dihasilkan ini dimanfaatkan untuk menggabungkan fenol dan formaldehida menjadi polimer, yang kemudian dapat dikombinasikan dengan bahan pengisi. Hasilnya adalah plastik yang dapat dibentuk sekaligus keras, dan dapat diaplikasikan ke banyak hal.
Leo Hendrik Baekeland berhasil menjadi miliarder berkat material baru ini. Sang penemu ini mengajukan 400 paten dan menjadikannya pengusaha kaya raya. Adapun, ia adalah seorang penemu yang terang-terangan mengaku kapitalis.
Bahkan, ketika ditanya apa yang pertama kali memotivasinya untuk menciptakan Bakelite, Leo Hendrik Baekeland mengakui bahwa motivasi utamanya adalah keuntungan finansial. Namun, Bakelite sendiri tidak memonopoli dunia manufaktur dalam hal plastik sintetis pada abad ke-20.
3. Proliferasi plastik sintetis

Beragam plastik termoset dan termoplastik muncul setelah penemuan Bakelite. Banyak di antaranya yang kemudian membentuk tampilan dan tekstur plastik di era modern. Semua polimer sintetis terlihat sama karena dibuat menggunakan reaksi kimia dengan menggunakan kombinasi panas, tekanan, dan katalis, yang dikenal sebagai monomer.
Dilansir Britannica, monomer ini biasanya berupa karbon. Polimer yang dibuat dengan cara ini (vinil klorida) tidak terdapat di alam. Meskipun ilmu sederhana di balik semua polimer sintetis hampir identik, tapi terdapat beragam polimer sintetis yang berbeda dengan karakteristik masing-masing. Polimer sintetis dibagi menjadi empat kelompok: termoplastik, termoset, elastomer, dan serat sintetis. Namun, semuanya tidak muncul sekaligus, ya. Berbagai polimer sintesis ini muncul selama abad ke-20, sebagai hasil dari penemu lain yang mengikuti jejak pencipta Bakelite, yaitu Leo Hendrik Baekeland.
Polivinil klorida (PVC) yang sering disebut vinil saja, diciptakan sejak tahun 1872. Namun, PVC belum digunakan hingga tahun 1926, ketika Waldo Lonsbury Semon dari B.F. Goodrich Company Amerika menciptakan dan mendapatkan paten untuk versi plastiknya. Tak lama kemudian, muncullah polivinilidena klorida (PVDC), yang lebih dikenal sebagai Saran dari perusahaan Saran Wrap. PVDC ditemukan secara tidak sengaja di laboratorium Dow Chemical pada tahun 1933. Juga, polietilena berdensitas rendah yang diciptakan pada tahun 1935. Akrilik, poliuretan, polistirena, dan nilon hadir sebelum akhir dekade tersebut. Saat ini jumlahnya tak terhitung.
4. Penggunaan polimer sintetis di era modern

Polimer sintetis sangat lazim digunakan mengingat sangat berguna. Meskipun konsekuensinya belum dipahami pada saat penciptaannya. Misalnya, ThoughtCo. menjelaskan bahwa Dow Chemical membutuhkan waktu 20 tahun untuk memperkenalkan Saran Wrap (merek bungkus plastik) ke pasar setelah penemuan Saran pada tahun 1933. Sayangnya, kepraktisan penggunaannya menjadi bencana.
Bakelite sendiri menjadi sebuah revolusi dengan mengubah cara berpikir para ilmuwan tentang bahan plastik. Hal ini merevolusi industri otomotif, kedirgantaraan, dan elektronik. Juga, menandai era baru teknologi modern yang tidak akan terpikirkan tanpa penggunaan plastik yang tahan lama.
Inovasi baru dalam plastik juga didorong oleh kebutuhan. Pada akhir 1930-an, negara-negara Barat melakukan remiliterisasi saat Perang Dunia II dimulai. Hal ini menciptakan penemuan bahan-bahan baru, kuat, dan andal yang dapat membantu upaya perang. Sebab, bahan-bahan tradisional semakin sulit didapat.
Nilon yang ditemukan pada tahun 1935, awalnya ditujukan sebagai alternatif sintetis untuk pengganti sutra yang mahal. Namun, nilon kemudian menjadi material penting selama perang untuk membuat peralatan militer seperti parasut dan tali. Di era modern, polimer sintetis digunakan dalam berbagai hal, mulai dari pakaian hingga kemasan, dan memainkan peran penting dalam mesin yang rumit, implan bedah, dan banyak lagi.
5. Karakteristik yang membuat plastik berbahaya bagi lingkungan

Meskipun polimer sintetis digembar-gemborkan sebagai bahan "ajaib" pada awal abad ke-20, karena sifat-sifatnya yang tidak ada di alam. Namun, pada kenyataannya, banyak dari sifat-sifat itu telah menyebabkan industri plastik menjadi bahaya eksistensial bagi alam. Plastik yang digunakan untuk membuat berbagai macam bahan sehari-hari atau kebutuhan rumah tangga di seluruh dunia, ternyata tidak dapat terurai secara hayati.
Artinya, plastik tersebut tidak bisa terurai secara alami ke lingkungan lewat bakteri, seperti bahan-bahan alami yang terdahulu. Sebaliknya, plastik yang umum digunakan justru membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terurai. Nah, dalam prosesnya, plastik menyebabkan kerusakan lingkungan yang bisa dibilang tidak logika.
Itu sebabnya, ketahanan plastik yang kuat ini jika memasuki lingkungan, akan tetap berada di sana, sampai-sampai menghalangi jalur air, baik alami maupun buatan manusia. Selain itu, keberadaan sampah plastik memengaruhi habitat alami. Selain itu, jika plastik bisa terurai, dampaknya justru sangat beracun.
Beberapa polimer sintetis melepaskan polutan saat terkena panas dan sinar matahari. Sementara itu, plastik yang dibakar menghasilkan kepulan asap beracun. Beberapa bahan sintetis melepaskan zat kimia berbahaya, seperti garam tembaga beracun, ke dalam tanah.
6. Sampah plastik mencemari lautan Bumi

Dampak dari krisis lingkungan yang disebabkan oleh plastik ternyata ditemukan di lautan kita, tempat berakhirnya sampah. Nah, sampah ini menyebabkan kerusakan pada habitat dan kehidupan laut. Sampah plastik ini sangat berbahaya bagi biota laut dan burung. Hewan-hewan ini sering terjerat dalam potongan-potongan sampah plastik. Biasanya, penyu dan hewan laut lainnya terjerat dalam kaleng minuman. Namun, hewan laut juga bisa terjerat dalam semua jenis benda plastik.
Lebih dari itu, plastik dapat masuk ke tubuh hewan-hewan laut tersebut. Pasalnya, kebanyakan hewan laut mengira sampah plastik sebagai makanan. Ini bisa membuat hewan laut mati.
Plastik juga melepaskan bahan kimia yang larut ke dalam air laut. Alhasil, membuat air laut tercemar dan beracun bagi makhluk laut. Selain itu, ekosistem laut seperti terumbu karang dan semua jenis vegetasi bawah air akan terganggu.
Kerusakan ini terjadi dalam skala yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Namun, tidak dapat disangkal juga kalau banyak sampah plastik yang berakhir di lautan kita dan membentuk sebuah pulau sampah. Yap, kamu bisa mengulik sekilas tentang "The Great Pacific Garbage Patch," sebuah pulau plastik yang menutupi permukaan laut di Samudra Pasifik, seperti yang dikutip National Geographic. Pulau sampah plastik ini disatukan oleh arus laut. Adapun, ada lima pulau plastik seperti itu yang tersebar di seluruh dunia, di mana pulau plastik di Samudra Pasifik adalah yang terbesar.
7. Mikroplastik di tubuh manusia

Layaknya lautan, tubuh manusia rentan terhadap polusi plastik. Hal ini menjadi aspek kehidupan modern yang menyebabkan berbagai masalah kesehatan bagi penduduk dunia. Fenomena ini menjadi topik utama dalam wacana kesehatan masyarakat dalam beberapa tahun terakhir.
Salah satu aspek polusi plastik yang paling mengkhawatirkan adalah terciptanya mikroplastik: pecahan plastik yang terlepas dari benda yang lebih besar dan terus terurai menjadi potongan-potongan yang sangat kecil, dan tidak bisa terurai seperti bahan alami. Mikroplastik sendiri telah mencemari alam, bahkan ditemukan di dasar laut terdalam, air hujan, dan di puncak Gunung Everest. Namun, yang lebih mengkhawatirkan lagi, mikroplastik juga ditemukan di dalam tubuh organisme hidup, pertama kali ditemukan di dalam plankton pada era 1970-an. Sejak itu, mikroplastik telah diidentifikasi pada 1.300 spesies, termasuk manusia, dan ditemukan di organ-organ utama, seperti otak, jantung, lambung, organ reproduksi, dan bahkan plasenta manusia.
Nah, dengan begitu lazimnya mikroplastik dalam tubuh makhluk hidup, penelitian kini semakin gencar untuk mengungkap dampak mikroplastik terhadap kesehatan kita. Sudah sangat jelas bahwa mikroplastiklah yang bertanggung jawab atas berbagai masalah kesehatan. Salah satunya sebuah studi pada tahun 2024, yang diterbitakan di The New England Journal of Medicine berjudul "Microplastics and Nanoplastics in Atheromas and Cardiovascular Events", yang ditulis Raffaele Marfella. Pasalnya, terdapat peningkatan risiko serangan jantung, stroke, dan kematian di antara pasien jantung yang ditemukan memiliki mikroplastik dalam plak di arteri mereka.
Adapun, dikutip Stanford Medicine, produksi plastik memang melibatkan lebih dari 10.000 bahan kimia, yang berarti masih banyak penelitian yang diperlukan. Parahnya lagi, paparan mikroplastik di dunia modern sudah tak terelakkan. Meskipun kita berusaha mengurangi penggunaan plastik dan mengurangi konsumsi makanan berbungkus bahan plastik, untuk membatasi paparan mikroplastik tersebut.
8. Statistik tentang produksi plastik saat ini

Mengingat besarnya dampak ekologis dan kesehatan masyarakat dari plastik, jadi sudah cukup jelas banget kalau penggunaan plastik dalam kehidupan harus dirombak habis-habisan. Individu, perusahaan, maupun pemerintah harus bertindak berani untuk membatasi penggunaan plastik dan mengurangi sampah plastik yang sudah mencemari alam dan mengontaminasi tubuh manusia. Namun sayangnya, statistik menunjukkan bahwa penggunaan plastik di seluruh dunia justru menunjukkan tren ke arah lain.
Menurut sebuah jurnal yang diterbitkan Science Advances berjudul "Production, Use, and Fate of All Plastics Ever Made" (2017), yang ditulis Roland Geyer, dkk, menunjukan bahwa dunia memproduksi sekitar 2 juta ton plastik pada tahun 1950. Saat ini, penelitian menunjukkan bahwa manusia memproduksi lebih dari 450 juta ton, 91 persen di antaranya tidak didaur ulang. Pada saat yang sama, jumlah sampah plastik yang dihasilkan setiap tahun dan kemudian masuk ke tempat pembuangan sampah serta lingkungan, justru terus bertambah.
Program Lingkungan PBB memperkirakan bahwa lebih dari 19 juta ton plastik masuk ke lautan, danau, dan sungai setiap tahunnya. Nah, ini setara dengan 2.000 truk sampah setiap harinya. Para ahli mengatakan bahwa salah satu masalah utama dalam rantai pasokan plastik adalah salah urus sampah. Daur ulang, penyimpanan di tempat pembuangan sampah yang benar, dan pembakaran plastik yang aman menjadi cara utama untuk memproses limbah plastik ini. Akan tetapi, hingga kini sekitar seperlima plastik yang diproduksi di dunia tidak diolah dengan salah satu cara ini.
9. Upaya untuk membersihkan sampah plastik di lautan
Pengelolaan sampah yang baik dan benar digadang-gadang sebagai salah satu cara utama untuk melawan polusi plastik yang terus meningkat. Untungnya, beberapa organisasi sudah berupaya membersihkan kekacauan yang telah kita buat, terutama di lautan. Apa saja, ya?
The Ocean Cleanup adalah proyek yang ditujukan langsung untuk membersihkan Great Pacific Garbage Patch. Nah, dengan menggunakan teknologi yang dikenal sebagai System 03 ini, mereka secara langsung menyasar area dengan konsentrasi plastik tinggi yang dihasilkan oleh arus laut. Sampah plastik ini diidentifikasi lewat pemodelan komputer, yang kemudian dikunjungi oleh kapal pukat dengan jaring besar untuk menangkap dan mengekstrak plastik agar nantinya dapat didaur ulang kembali.
Upaya ini dapat ditingkatkan skalanya. Para penyelenggara memproyeksikan bahwa dengan investasi sekitar 7,5 miliar dolar AS atau setara dengan Rp124,7 triliun, proyek ini dapat membersihkan seluruh Great Pacific Garbage Patch dalam waktu kira-kira 10 tahun. Namun, proyek ini juga dikritik karena bisa menangkap biota laut dan masalah dalam pemrosesan sampahnya.
Disisi lain, banyak ilmuwan dan konservasionis telah meneliti potensi bioplastik—material dengan aplikasi praktis yang sama dengan plastik biasa. Namun, bioplastik ini mudah terurai secara hayati—sebagai solusi atas masalah polusi plastik di dunia. Pada tahun 2024, para peneliti Woods Hole Oceanographic Institution menemukan selulosa diasetat, bioplastik yang terbuat dari pulp kayu. Bioplastik ini terurai di air laut lebih cepat daripada kertas. Teknologi semacam ini diperkirakan dapat mengatasi pencemaran sampah plastik di lautan yang tidak dapat terurai secara hayati.
10. Penelitian menggunakan nanobot dan jamur pemakan plastik

Ada pula nanobot, robot kecil dan canggih yang berukuran antara 50 sampai 100 nanometer. Robot ini sedang diprogram para peneliti agar dapat menjalankan tugasnya dalam berbagai bidang. Dalam dunia kedokteran, nanobot digunakan untuk mengirimkan obat ke bagian tubuh yang ditargetkan, mengukur kadar gula darah dari bawah permukaan kulit, dan banyak lagi. Kini, teknologi yang sama dimanfaatkan untuk mengatasi proliferasi partikel plastik mikroskopis yang meracuni planet ini.
Pasalnya, ada fragmen-fragmen plastik yang lebih kecil dari mikroplastik. Ini dikenal sebagai nanoplastik, dan berukuran dari 1 hingga 1.000 nanometer (nm). Di sisi lain, eksperimen menggunakan nanobot punya kemampuan untuk "menangkap" nanoplastik ini, terutama di dalam air, yang diserap robot ini sebagai bahan bakar. Studi ini dilakukan oleh Korea University of Science and Technology (UST) dan diterbitkan dalam Science Direct. Penerapannya dalam skala besar dapat menjadi cara yang efektif untuk menghilangkan mikroplastik dan nanoplastik di lautan kita, sehingga ekosistem bisa pulih kembali. Ada juga esperimen lain yang telah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir, yakni dengan jamur pemakan plastik. Pasalnya, ulat hongkong dianggap mampu memakan plastik termasuk styrofoam.
11. Para ilmuwan menyerukan dibuatnya perjanjian PBB mengenai polusi plastik

Untuk saat ini, implementasi solusi yang diusulkan untuk mengatasi krisis sampah plastik dunia masih terasa jauh. Sebab, produksi dan limbah plastik yang terus meningkat seiring bertambahnya populasi dunia, membuat para ahli menekan pemerintah di seluruh dunia untuk mempercepat upaya mereka dalam mewujudkan penanganan sampah plastik yang benar-benar berdampak. Salah satu cara untuk mencapai hal ini adalah dengan mewujudkan perjanjian polusi plastik.
Menurut para pegiat, perjanjian ini harus disetujui di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada musim panas 2025, Program Lingkungan PBB bertemu untuk bagian kedua dari sesi kelima Komite Negosiasi Antarpemerintah guna mengembangkan instrumen internasional yang mengikat secara hukum tentang polusi plastik. Di antara delegasi dalam diskusi yang sedang berlangsung tersebut adalah pakar sampah laut, Profesor Richard Thompson, yang sering memperingatkan pemerintah untuk mencari konsensus guna mengatasi masalah plastik, terutama yang berkaitan dengan polusi laut.
"Sekarang jelas bahwa polusi plastik mencemari planet kita dari kutub hingga khatulistiwa," ujar Profesor Richard Thompson kepada The Guardian.
Manusia menemukan mikroplastik di lautan terdalam dan pegunungan tertinggi. Ada pula bukti bagaimana tubuh manusia terpapar mikroplastik sejak dalam kandungan. Yap, sepanjang hidup kita. Jadi untuk melindungi generasi mendatang, kita perlu mengambil tindakan tegas untuk mengatasi polusi plastik.


















