Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Benarkah Gunung Everest Pernah Menjadi Dasar Laut? Ini Penjelasan Ilmiahnya!

Ilustrasi gunung Everest yang ternyata pernah jadi dasar laut
Ilustrasi gunung Everest yang ternyata pernah jadi dasar laut (commons.wikimedia.org/Luca Galuzzi (Lucag))
Intinya sih...
  • Fosil laut di atap dunia, jejak kehidupan prasejarah yang bikin merindingBukti paling mengejutkan bahwa Everest dulunya adalah dasar laut, datang dari sesuatu yang sangat rapuh, tapi bertahan melintasi zaman. Ialah fosil makhluk laut.
  • Batu kapur takbisa berbohong, karang purba di puncak duniaPuncak Everest sebagian besar tersusun dari batu kapur (limestone)—jenis batuan sedimen yang hanya bisa terbentuk di dasar laut.
  • Laut yang hilang dari peta, ketika Everest hendak terciptaLempeng India bergerak ke utara dengan kecepatan yang relatif tinggi dan menabrak Lempeng Eurasia. Tabrakan dua massa benu
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pernah membayangkan bahwa tempat tertinggi di dunia—yang selama ini kita kenal sebagai simbol ketangguhan, penaklukan, dan ambisi manusia—sebenarnya menyimpan masa lalu yang berlawanan total dengan citra tersebut? Gunung Everest dengan ketinggian hampir sembilan kilometer di atas permukaan laut, ternyata lahir dari sesuatu yang jauh lebih sunyi dan basah, yakni dasar samudra yang purba.

Bukan metafora, bukan pula mitos. Fakta ini adalah hasil pembacaan ilmiah terhadap batuan, fosil, dan pergerakan lempeng tektonik selama ratusan juta tahun. Everest bukan hanya gunung, tetapi arsip geologi hidup, di mana Bumi menyimpan ingatan masa lalunya, ketika daratan belum seperti yang kita pijak hari ini. Yuk, kita cek apa saja fakta ilmiahnya!

1. Fosil laut di atap dunia, jejak kehidupan prasejarah yang bikin merinding

Ilustrasi gunung Everest menyimpan beberapa fosil hewan purba
Ilustrasi gunung Everest menyimpan beberapa fosil hewan purba (commons.wikimedia.org/Tom Patterson)

Bukti paling mengejutkan bahwa Everest dulunya adalah dasar laut, datang dari sesuatu yang sangat rapuh, tapi bertahan melintasi zaman. Ialah fosil makhluk laut.

Di lapisan batuan dekat puncak Everest, para ilmuwan menemukan fosil trilobita, brachiopoda, dan krinoid—organisme yang hanya bisa hidup di lingkungan laut. Bayangkan, makhluk mirip kepiting purba dan bunga laut (krinoidea) yang berenang 450 juta tahun lalu kini terperangkap di ketinggian 8.000 meter lebih!

Yang membuat temuan ini luar biasa adalah lokasinya. Fosil-fosil tersebut berada di Formasi Qomolangma, lapisan batuan yang terletak sangat dekat dengan puncak Everest. Ini berarti, pada suatu masa yang sangat lampau, area yang kini berada di ‘atap dunia’ pernah berada jauh di bawah permukaan laut di perairan dangkal dan tenang.

Usia fosil ini diperkirakan mencapai 400 sampai 450 juta tahun, jauh lebih tua daripada usia Pegunungan Himalaya itu sendiri (sekitar 50 juta tahun). Artinya, sebelum ada gunung, sebelum ada manusia, bahkan sebelum daratan Asia terbentuk seperti sekarang, wilayah Everest sudah lebih dulu menjadi rumah bagi kehidupan laut purba. Ini adalah mesin waktu geologi yang benar-benar nyata!

2. Batu kapur takbisa berbohong, karang purba di puncak dunia

Ilustrasi gunung Everest yang punya batu kapur dan karang purba
Ilustrasi gunung Everest yang punya batu kapur dan karang purba (commons.wikimedia.org/Sunuwargr)

Jika fosil masih terasa abstrak, maka batuan penyusun Everest memberikan bukti yang jauh lebih kasat mata. Puncak Everest sebagian besar tersusun dari batu kapur (limestone)—jenis batuan sedimen yang hanya bisa terbentuk di dasar laut.

Batu kapur berasal dari akumulasi cangkang organisme laut mikroskopis seperti plankton dan alga berkapur yang mengendap selama jutaan tahun. Proses ini mustahil terjadi di daratan, apalagi di lingkungan pegunungan bersuhu ekstrem. Coba pikirkan, butuh waktu jutaan tahun tumpukan cangkang rapuh itu mengeras menjadi batu, di dasar laut yang gelap.

Keberadaan batu kapur di ketinggian hampir sembilan kilometer adalah ‘pengakuan jujur’ dari alam. Ia menjadi saksi bahwa material pembentuk Everest dulunya adalah bagian dari lantai samudra tropis, mungkin mirip terumbu karang purba, bukan hasil letusan gunung api atau proses daratan lainnya. Ini bukan sekadar batu, tapi sisa-sisa ekosistem laut yang terkubur dan terangkat!

3. Laut yang hilang dari peta, ketika Everest hendak tercipta

Ilustrasi laut Tethys yang hilang dan awal terbentuknya Everest
Ilustrasi laut Tethys yang hilang dan awal terbentuknya Everest (pexels.com/Michael Fischer)

Lantas, bagaimana dasar laut bisa berubah menjadi gunung yang menjulang? Jauh sebelum Himalaya menjulang, di antara Lempeng India dan Lempeng Eurasia terbentang sebuah samudra luas bernama Laut Tethys. Samudra purba ini pernah menjadi salah satu pusat kehidupan laut di Bumi, menyimpan endapan tebal dari sedimen dan fosil.

Namun sekitar 50 sampai 60 juta tahun lalu, segalanya berubah drastis dalam skala yang sulit dibayangkan. Lempeng India bergerak ke utara dengan kecepatan yang relatif tinggi (sekitar 15 cm per tahun pada awalnya) dan menabrak Lempeng Eurasia. Tabrakan dua massa benua raksasa ini menutup Laut Tethys secara perlahan, dalam proses yang disebut orogeni Himalaya.

Bayangkan dua mobil truk besar yang bertabrakan. Alih-alih hancur, material di antara keduanya terlipat dan terdorong ke atas! Dasar lautnya terlipat, tertekan dengan gaya luar biasa (lebih besar dari 10 kuadriliun Newton) dan terdorong ke angkasa. Endapan laut yang kini kita kenal sebagai batu kapur berfosil, awalnya berada ribuan meter di bawah air, dan sekarang mulai naik, serta membentuk rangkaian pegunungan yang kita kenal sebagai Himalaya—dengan Everest sebagai puncak paling ekstremnya dan bukti paling nyata dari tabrakan kosmik ini.

4. Everest yang terus bertumbuh, pertarungan abadi uplift versus erosi

Ilustrasi Everest yang merupakan pertarungan antara uplift dan erosi
Ilustrasi Everest yang merupakan pertarungan antara uplift dan erosi (commons.wikimedia.org/Zippy Monkey)

Kisah Everest tidak berhenti di masa lalu. Hingga hari ini, proses tektonik tersebut masih berlangsung. Lempeng India terus mendorong ke bawah Eurasia, menyebabkan Pegunungan Himalaya—termasuk Everest yang bertambah tinggi sekitar 4 milimeter per tahun. Kedengarannya kecil, tapi bayangkan dalam satu juta tahun, pertambahan tingginya bisa mencapai 4 kilometer!

Namun, pertumbuhan ini bukan tanpa lawan. Angin ekstrem, badai salju, longsoran es, hingga gempa bumi terus mengikis tubuh Everest. Inilah sebabnya mengapa ketinggian Everest selalu menjadi hasil kompromi antara pengangkatan (uplift) dan penghancuran (erosi). Ketinggian yang kita ukur sekarang adalah titik setimbang sementara dari pertarungan abadi geologi.

Everest bukan monumen statis, melainkan struktur hidup yang terus berubah—naik, runtuh, lalu naik lagi dalam ritme geologi yang nyaris tak terbayangkan oleh umur manusia.

5. Paradoks indah, ketika kedalaman menjadi ketinggian

Ilustrasi gunung Everest yang jadi paradoks keindahan di bumi
Ilustrasi gunung Everest yang jadi paradoks keindahan di bumi (commons.wikimedia.org/Vyacheslav Argenberg)

Everest adalah paradoks alam yang nyaris puitis, puncak tertinggi dunia yang berasal dari dasar samudra. Ia menjadi pengingat bahwa dalam skala waktu planet, tidak ada yang benar-benar tetap.

Laut bisa berubah menjadi gunung. Gunung bisa kembali menjadi debu. Daratan dan samudra saling bertukar peran, sementara manusia hanya hadir sebagai saksi sesaat dalam drama panjang ini. Fenomena ini, yang dalam geologi dikenal sebagai Tektonik Lempeng, mengajarkan kita tentang siklus batuan yang tak pernah usai.

Mungkin inilah yang membuat Everest terasa begitu sakral; bukan semata karena ketinggiannya, tetapi karena kedalaman waktu yang ia bawa. Gunung Everest mengajarkan satu pelajaran besar tentang kerendahan hati. Apa yang kita anggap sebagai puncak tertinggi dan paling kokoh ternyata lahir dari sesuatu yang lembut dan cair—laut.

Dalam skala kosmik, ketinggian hanyalah ilusi sementara. Hari ini Everest berdiri angkuh di langit, tetapi jutaan tahun lalu ia berada di bawah ombak, dan jutaan tahun ke depan ia bisa kembali runtuh dan berubah bentuk. Ini adalah bukti nyata bahwa Bumi adalah planet yang hidup dan dinamis.

Jadi, lain kali kamu melihat foto Everest yang tertutup salju abadi. Ingatlah, di balik dingin dan sunyi itu tersimpan bisikan samudra purba—jejak kehidupan laut yang pernah menguasai dunia.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ane Hukrisna
EditorAne Hukrisna
Follow Us

Latest in Science

See More

5 Fakta Madagascar Pochard, Spesies Bebek Air yang Sulit Ditemukan

15 Des 2025, 20:49 WIBScience