Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Fakta Takahē Pulau Selatan, Burung dengan Penampilan Tak Biasa

potret takahē pulau selatan yang terlihat seperti burung prasejarah (commons.wikimedia.org/Bernard Spragg)
Intinya sih...
  • Takahē pulau selatan adalah burung endemik Selandia Baru yang memiliki penampilan mirip dinosaurus.
  • Habitat utama burung ini terletak di kawasan padang rumput alpin.
  • Walau memiliki sayap, takahē pulau selatan tidak bisa terbang karena sayap mereka terlalu kecil.

Coba bayangkan ada sosok burung dengan badan gumpal membulat, kaki besar dan panjang, bulu yang didominasi warna biru, serta memiliki paruh sebesar kepala mereka. Meski terdengar tidak masuk akal, sebenarnya ada, lho, burung yang memiliki deskripsi seperti itu. Nama burung itu adalah takahē pulau selatan (Porphyrio hochstetteri). Burung ini masuk dalam keluarga burung mandar (famili Rallidae) dan jadi spesies terbesar dalam keluarga tersebut.

Burung dengan penampilan mirip dinosaurus ini memiliki panjang sekitar 63 cm, tinggi 50 cm, dan bobot antara 2,3—3,8 kg. Di alam liar, takahē pulau selatan bisa hidup cukup panjang, yakni sekitar 14—20 tahun. Usia tersebut bisa bertambah hingga lebih dari 20 tahun jika mereka dalam perawatan manusia.

Nah, keunikan dari burung yang satu ini bukan hanya dari penampilan. Ada beberapa fakta menarik lain yang bisa membuatmu kagum sekaligus merasa heran dengan takahē pulau selatan. Jadi, tunggu apa lagi? Yuk, simak pembahasan lengkapnya di bawah ini!

1. Peta persebaran, habitat, dan makanan favorit

seekor takahē pulau selatan yang sedang mencari makan (commons.wikimedia.org/Basar)

Takahē pulau selatan merupakan burung endemik dari Selandia Baru. Sesuai dengan nama mereka, burung ini utamanya ditemukan di pulau bagian selatan dari negara tersebut. Dilansir Animal Diversity, selain di pulau utama bagian selatan Selandia Baru, saat ini takahē pulau selatan mulai diperkenalkan lagi di beberapa pulau, semisal Tiritiri, Kapiti, Mana, Matangi, Maud, dan Rarotoka. 

Habitat utama dari burung ini berada di kawasan padang rumput alpin. Takahē pulau selatan juga bisa ditemukan di hutan campuran, pegunungan, dan rawa-rawa. Soal makanan, burung yang satu ini tergolong omnivor, tepatnya graminivor dan folivor. Mereka utamanya mengonsumsi daun dari tanaman Chionochloa tussock dan rumput alpin lain. Namun, mereka juga melengkapi menu dengan berbagai jenis tunas tanaman, biji-bijian, dan kadang serangga.

Ada fakta menarik soal sistem pencernaan burung ini. Department of Conservation Te Papa Atawhai melansir kalau makanan mereka mengandung sangat banyak kandungan serat di dalamnya. Oleh sebab itu, kotoran yang mereka hasilkan menjadi sangat banyak. Kalau dijejerkan, takahē pulau selatan bisa membuang kotoran hingga 9 meter panjangnya dalam 1 hari saja, lho.

2. Burung yang tidak bisa terbang

Meski tak bisa terbang, takahē pulau selatan memiliki sepasang kaki dan paruh yang kuat. (commons.wikimedia.org/Ashleigh Thompson)

Walau memiliki sayap, sebenarnya takahē pulau selatan jadi salah satu spesies burung yang tidak bisa terbang. Dilansir Animalia, sayap burung ini terlalu kecil untuk membuat mereka terbang. Namun, saya mereka masih bisa dimanfaatkan untuk mengurangi momentum saat jatuh ke tanah atau memberi dorongan tambahan saat hendak memanjat. Bagi takahē pulau selatan, sepasang kaki besar mereka justru punya peran yang lebih penting untuk mobilitas sehari-hari.

Kaki tersebut mampu memberikan kekuatan lari yang cepat untuk ukuran tubuh mereka. Ditambah lagi, kaki besar takahē pulau selatan juga sangat kuat sehingga bisa memberikan tendangan yang cukup keras jika ada yang berani mengusik mereka. Kalau itu belum cukup, paruh besar milik burung ini dapat berfungsi sebagai senjata tambahan. Dengan ukuran paruh mereka yang besar ini, takahē pulau selatan mampu memberikan gigitan yang menyakitkan, bahkan untuk manusia sekalipun.

3. Hidup secara berkelompok

kelompok takahē pulau selatan yang terdiri atas 2 induk dan 2 anak mereka (commons.wikimedia.org/Pseudopanax)

Kelompok dari takahē pulau selatan biasanya terdiri atas satu keluarga saja, yaitu seekor jantan, betina, dan keturunan mereka yang belum berusia 1 atau 2 tahun. Akan tetapi, pada kasus yang jarang, kelompok takahē pulau selatan bisa diisi oleh 2 betina yang kawin dengan 1 jantan yang sama. Anggota kelompok akan saling menjaga lewat suara peringatan tanda bahaya atau terdeteksi keberadaan predator dengan berbunyi womph atau clowp yang keras.

Sistem sosial bagi takahē pulau selatan bisa dibilang cukup unik. Di luar musim kawin, sebenarnya mereka sangat toleran terhadap burung dari kelompok lain yang memasuki wilayah mereka. Namun, saat musim kawin tiba, burung ini akan jadi sangat protektif pada wilayah, terutama di area dekat sarang mereka, dilansir New Zealand Birds Online. Sebelum menyerang burung penyusup pada saat memasuki musim kawin, takahē pulau selatan akan memamerkan sayap mereka sebagai tanda agresi. Jika itu tidak mengusir si penyusup, burung ini akan mulai menyerang dengan kaki dan paruh kuat mereka.

Hebatnya, wilayah milik satu kelompok takahē pulau selatan bisa dibilang sangat luas. Dilansir Department of Conservation Te Papa Atawhai, cakupan wilayah tersebut antara 4—100 hektare! Adapun, luas wilayah tersebut berbeda-beda antarkelompok, tergantung dengan keberadaan dan kualitas makanan yang ada di sekitar.

4. Sistem reproduksi

sepasang takahē pulau selatan yang sedang berinteraksi (commons.wikimedia.org/Judi Lapsley Miller)

Musim kawin bagi burung yang satu ini berlangsung antara Oktober hingga Januari. Ada beberapa ritual kawin yang akan dilakukan pasangan takahē pulau selatan jantan maupun betina. Misalnya, mereka akan saling mematuk paruh hingga memamerkan sayap pada pasangan mereka. Setelah itu, takahē pulau selatan kawin dan mempersiapkan sarang yang terbuat dari daun segar dan dibentuk seperti mangkuk.

Dilansir Animal Diversity, jumlah telur yang dapat dihasilkan betina dalam 1 musim kawin berkisar antara 1—3 butir saja. Telur-telur ini akan menjalani masa inkubasi selama 30 hari saja sebelum menetas. Menariknya, saat masa inkubasi, kedua induk takahē pulau selatan hampir tidak akan bertemu satu sama lain karena saat salah satu mengerami telur mereka, si pasangan akan keluar mencari makan. Barulah saat anak sudah menetas, kedua induk akan berinteraksi sembari memenuhi kebutuhan makan anak mereka.

Proses pemberian makan ini akan berlangsung hingga anak takahē pulau selatan berusia 3 bulan. Kemudian, mereka akan dibawa kedua induk ke lokasi mencari makan terdekat sambil belajar hidup mandiri. Anak takahē pulau selatan akan ikut dengan induk mereka setidaknya hingga berusia 1 atau 2 tahun sebelum akhirnya pergi untuk membentuk kelompok sendiri.

5. Status konservasi

Status takahē pulau selatan memang sudah terancam punah, tetapi upaya konservasi perlahan mulai berbuah baik dalam peningkatan populasi mereka. (commons.wikimedia.org/Craig Nash)

Nasib takahē pulau selatan sebenarnya masih lebih mujur ketimbang kerabat terdekat mereka, yakni takahē pulau utara (Porphyrio mantelli), yang sudah punah terlebih dahulu. Namun, populasi spesies ini juga masih ada dalam kondisi yang berbahaya hingga IUCN Red List melabeli mereka dalam kategori terancam punah (Endangered). Malahan, sebelum 1948, takahē pulau selatan sebenarnya sempat dikira sudah punah sebelum akhirnya ahli fisika asal Invercargill, Geoffrey Orbell, beserta timnya menemukan burung ini di Pegunungan Murchison pada tahun tersebut. 

Sejak saat itu, konservasi terhadap takahē pulau selatan sudah dilakukan secara intensif. Upaya tersebut dilakukan pemerintah Selandia Baru hingga saat ini. Untuk sekarang, populasi burung yang satu ini diperkirakan sekitar 500 individu saja di alam liar, dilansir Department of Conservation Te Papa Atawhai.

Ada beberapa masalah yang dihadapi takahē pulau selatan dalam upaya mengembalikan populasi mereka ke tingkat normal di alam liar. Burung ini dulunya sangat sering diburu oleh masyarakat setempat, khususnya pada masa lalu. Kemudian, kedatangan predator yang diperkenalkan manusia, yaitu cerpelai putih (Mustela erminea), membuat mereka makin terpojok. Tak hanya predator, bahkan herbivor yang diperkenalkan manusia di Selandia Baru, seperti rusa merah (Cervus elaphus), menjadi kompetitor makanan di habitat alami mereka. Selain itu, burung ini juga pernah terserang wabah penyakit khusus yang berasal dari cerpelai.

Namun, keseriusan pemerintah Selandia Baru dan pihak konservasi di sana perlu diacungi jempol. Sebab, berbagai program konservasi terus dilakukan sembari mencari cara baru untuk mengatasi masalah yang dihadapi takahē pulau selatan di alam. Upaya seperti mengembangbiakkan burung ini di penangkaran, pemindahan ke habitat lain, hingga perlindungan secara undang-undang sudah dilakukan untuk mencegah spesies ini bernasib sama seperti takahē pulau utara.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yudha
EditorYudha
Follow Us