5 Fakta Ular Bandotan Candi, Tampilan Jantan dan Betina Sangat Berbeda

Bandotan candi atau wagler’s pit viper (Tropidolaemus wagleri) merupakan ular yang masuk dalam famili Viperidae sehingga masih berkerabat dengan beberapa ular paling mematikan di dunia, seperti ular derik dan ular beludak. Secara ukuran, bandotan candi termasuk ular sedang dengan panjang rata-rata sekitar 75—100 cm dan bobot 50—180 gram. Dari ciri fisik, ular yang satu ini terbilang mirip dengan kerabat yang lain.
Bagian kepala yang berbentuk agak segitiga itu lebih besar dari leher. Selain itu, sisik di bagian bawah rahang agak kasar dan di ujung moncong ada lubang sensori khusus untuk mendeteksi panas makhluk hidup lain bernama pit. Warna sisik ular ini pun terbilang beragam yang akan dibahas lengkap karena ada hal unik dari ragam warna mereka. Selain itu, ada pula beberapa fakta menarik lain yang sayang untuk dilewati. Maka dari itu, yuk, kita kenalan dengan bandotan candi!
1. Peta persebaran, habitat, dan makanan favorit

Ular dari genus Tropidolaemus pada dasarnya tersebar di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara. Namun, dari lima spesies yang masuk dalam genus ini, bisa dibilang bandotan candi adalah ular dengan persebaran yang paling luas. Bayangkan saja, ular ini tersebar mulai dari Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan seluruh wilayah Indonesia bagian Barat.
Sementara itu, pilihan habitat ular ini terbilang identik. Dilansir Ecology Asia, bandotan candi suka berada di hutan dataran rendah, termasuk hutan sekunder dan hutan bakau, dengan elevasi sekitar 0—400 meter di atas permukaan laut. Di sana, mereka lebih banyak berdiam di atas pohon karena tergolong hewan arboreal. Ekor mereka berfungsi layaknya kait yang mampu menopang tubuh saat bergerak ataupun ketika menyambar mangsa dari atas pepohonan.
Bicara soal mangsa, bandotan candi tentunya adalah karnivor sejati. Berbagai jenis pengerat, mamalia kecil, burung, dan kadal jadi pilihan mangsa favorit mereka. Adapun, taktik berburu ular ini mengandalkan menunggu dan menyambar. Jadi, mereka akan menunggu dalam diam di dahan pohon sampai calon mangsa datang sendiri. Ketika sudah masuk dalam jarak serang, bandotan candi akan langsung menyambar dan menyuntikkan bisa ke dalam tubuh mangsa. Oh iya, ular ini tergolong nokturnal sehingga waktu berburu lebih banyak dilakukan di tengah kegelapan malam.
2. Beda penampilan antara jantan dan betina

Seperti yang sudah disebutkan di awal, corak warna bandotan candi itu sangat beragam. Ragam warna tersebut muncul karena dua faktor utama, yakni lokasi mereka ditemukan dan jenis kelamin. Untuk yang terakhir itu, spesies ular bandotan ini ternyata memiliki dimorfisme seksual atau perbedaan ciri jantan dengan betina yang cukup ekstrem.
Dilansir Thailand Snakes, bandotan candi jantan jauh lebih kecil ketimbang betina. Rata-rata jantan hanya tumbuh sekitar 60—75 cm dengan tubuh ramping, sementara betina mampu mencapai 1 meter dengan tubuh yang 3—4 kali lebih gemuk ketimbang jantan. Uniknya, bandotan candi jantan hanya punya satu warna sisik saja, yakni hijau dengan beberapa titik putih di sepanjang tubuh.
Kalau warna sisik betina jauh lebih beragam. Setidaknya ada empat corak berbeda, tergantung lokasi geografis mereka. Ada yang berwarna hitam dengan garis dan bagian perut kuning, ada yang berwarna hijau dengan garis kuning dan perut krem, ada yang berwarna hitam dengan garis kuning ditambah corak kehijauan di area kepala, serta ada pula betina yang punya warna mirip seperti jantan. Oleh karena perbedaan warna ini disebabkan lokasi geografis, kadang corak warna bandotan candi betina ini jadi tanda klasifikasi beberapa subspesies berbeda.
3. Ular berbisa, tetapi tak agresif

Selayaknya kebanyakan ular dalam famili Viperidae, pastinya bandotan candi termasuk ular berbisa. Jenis bisa ular ini terdiri atas dua racun berbeda, yakni hemotoksin yang menyerang darah dan neurotoksin yang menyerang sistem saraf korban. Ada komponen khusus di dalam bisa bandotan candi bernama waglerins yang berfungsi sebagai peptida neutoroksin.
Animalia melansir bahwa kandungan waglerins tersebut secara khusus menyerang sistem pernafasan korban sampai tak dapat bernafas lagi. Ini sangat efektif kalau korbannya adalah pengerat atau mamalia kecil. Seramnya, bandotan candi juga dapat menggunakan bisa tersebut untuk menyerang makhluk yang mengganggu, termasuk manusia.
Akan tetapi, gigitan ular ini tercatat belum pernah menghasilkan kematian. Ada beberapa efek yang dirasakan, semisal sensasi terbakar pada area yang digigit sampai kematian jaringan kulit akibat nekrosis. Memang, tetap ada potensi kasus fatal yang terjadi kalau manusia yang digigit ular ini. Namun, beruntungnya, dengan pertolongan pertama yang cepat dan tepat, dampak mematikan cenderung dapat dihindari.
Selain itu, secara alami, perilaku bandotan candi juga tak agresif, tenang, dan lebih suka menghindari interaksi dengan manusia. Selama tidak mengusik mereka ataupun tak sengaja menginjak, ular ini tak akan menyerang manusia secara acak. Jadi, kalau tak sengaja bertemu mereka di alam, lebih baik jaga jarak agar tidak saling mengusik, ya!
4. Sistem reproduksi

Musim kawin bagi spesies ular bandotan ini berlangsung antara bulan September—Desember yang bertepatan dengan musim hujan. Serupa dengan kebanyakan ular lain dalam famili Viperidae, mereka termasuk hewan ovovivipar yang berarti betina akan bertelur, menyimpan telur itu di dalam tubuh, dan melahirkan anak-anak setelah telur tersebut menetas. Tidak diketahui apakah ada ritual kawin khusus antara jantan dan betina.
Yang jelas, jumlah anak yang dapat dihasilkan betina dari satu musim kawin itu terbilang sangat banyak. Blue Planet Biomes melaporkan, rata-rata betina melahirkan sekitar 6—50 ekor anak yang sudah mampu hidup mandiri sesaat setelah dilahirkan. Uniknya, anak jantan dan betina sudah terlihat berbeda setelah lahir. Anak jantan akan terlihat berwarna krem kemerahan dengan titik cokelat di atas tubuh, sementara anak betina langsung terlihat mirip seperti induknya dengan warna yang lebih cerah.
5. Status konservasi

IUCN Red List mencatatkan bahwa status konservasi bandotan candi tergolong hewan dengan risiko rendah (Least Concern). Selain itu, mengingat persebaran ular ini yang luas, diperkirakan kalau tren populasi masih stabil, meski tidak ada data angka populasi yang pasti. Akan tetapi, sebenarnya ada beberapa masalah yang berpotensi mengganggu kestabilan populasi itu yang hampir seluruhnya disebabkan oleh manusia.
Misalnya saja, bandotan candi jadi salah satu ular berbisa yang digemari untuk dipelihara pecinta reptil. Masalahnya, kadang individu yang ada di alam lah yang diambil para penjual, bukan ular yang dikembangbiakkan sendiri. Maka dari itu, ada kekhawatiran kalau penjualan ular ini secara ilegal akan mendorong perburuan liar semakin meluas yang berujung pada penurunan populasi di alam.
Selain itu, kerusakan alam yang intensif di sepanjang habitat hutan di Asia Tenggara jadi masalah lain bagi spesies ular ini. Mengingat mereka cenderung tinggal di dataran rendah, potensi hutan yang jadi rumah ular ini dirusak manusia jadi semakin besar. Biasanya, pembukaan hutan oleh manusia itu bertujuan untuk kawasan industri, ekstraksi sumber daya alam, perkebunan atau pertanian, sampai membuat pemukiman baru.
Untungnya, saat ini persebaran luas masih mencegah pengurangan populasi dari bandotan candi. Namun, bagaimana nasib mereka di masa depan ataupun nasib hewan dan tumbuhan langka yang ada di ekosistem serupa dengan ular ini? Apakah kita hanya menunggu kerusakan semakin luas atau ingin segera melakukan aksi nyata—dalam lingkup sekecil dan semudah apa pun—supaya alam tidak semakin rusak? Yuk, tentukan pilihanmu!



















