Mengapa Extreme Upwelling Bisa Membuat Ikan Pingsan di Laut Alor?

Fenomena tak biasa muncul di perairan Selat Mulut Kumbang, Alor Kecil, Nusa Tenggara Timur, pada akhir Oktober hingga awal November 2025. Dalam kurun waktu kurang dari satu jam, suhu air laut tropis yang biasanya stabil mendadak merosot tajam. Dari kisaran normal sekitar 28 derajat Celsius, temperatur permukaan turun hingga menyentuh 12 derajat Celsius dan membuat ikan-ikan kehilangan kemampuan bergerak. Kejadian ekstrem ini dikenal sebagai Extreme Upwelling Event (EUE). Peristiwa tersebut tercatat sebagai kasus pertama di dunia dan kini menjadi objek kajian intensif pada peneliti oseanografi Indonesia, termasuk dari Universitas Diponegoro, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan sejumlah mitra penelitian lainnya.
Dampak perubahan suhu yang begitu cepat langsung terasa di ekosistem sekitar selat. Warga melihat ikan-ikan tropis mengambang atau terkulai lemah hingga mudah diambil dengan tangan kosong. Sementara itu, mamalia laut seperti lumba-lumba terlihat bermanuver karena mendapatkan mangsa yang mudah. Extreme Upwelling Event menimbulkan rasa penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi hingga laut tropis bisa berubah sedrastis itu? Untuk mengetahui lebih lanjut, berikut penjelasannya!
1. Mengenal lebih jauh tentang fenomena Extreme Upwelling Event

Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Sistem Biota BRIN, Achmad Sahri menjelaskan bahwa fenomena Extreme Upwelling Event (EUE) merupakan peristiwa naiknya massa air laut yang sangat dingin dari lapisan dalam ke permukaan dalam waktu yang sangat cepat. Pada kondisi normal, upwelling di wilayah tropis umumnya hanya menurunkan suhu sekitar dua derajat Celsius. Namun, di perairan Alor justru penurunan suhunya jauh lebih ekstrem.
“Biasanya penurunan suhu akibat upwelling di daerah tropis hanya sekitar dua derajat Celsius, tetapi di Alor kami mencatat penurunan hingga sepuluh derajat hanya dalam waktu singkat sekitar satu jam,” ujar Sahri, dikutip dari situs BRIN (11/12/2025). Perubahan mendadak ini mengindikasikan adanya dinamika arus yang tidak biasa dan pengaruh topografi Selat Mulut Kumbang yang sempit dan curam.
Guru Besar Departemen Oseanografi FPIK Universitas Diponegoro sekaligus peneliti yang memimpin riset tersebut, Anindya Wirasatriya, menjelaskan lebih rinci mekanisme terbentuknya fenomena tersebut. Menurutnya, Extreme Upwelling Event dipicu oleh interaksi kompleks antara arus pasang surut, arus laut dalam, dan bentuk dasar laut yang mengarahkan aliran air dingin ke permukaan. Saat pasang naik, arus membawa massa air dingin dari kedalaman menuju utara melalui saluran bawah laut, sementara arus hangat Indonesian Throughflow (ITF) bergerak ke selatan. Pertemuan dua arus berlawanan itu menghasilkan turbulensi kuat yang mendorong air dingin terangkat ke permukaan.
Anindya menambahkan bahwa Extreme Upwelling Event hanya terjadi pada periode tertentu, yaitu sekitar Agustus hingga November, yang menunjukkan peran penting sistem monsun dalam mengatur dinamika arus dan suhu perairan di kawasan tersebut. Kombinasi antara kekuatan pasang surut, arus laut dalam, topografi yang curam, dan pengaruh monsun menjadikan Selat Mulut Kumbang lokasi yang sangat rentan terhadap fenomena oseanografi langka ini. Dampaknya pun terasa langsung pada ekosistem laut yakni penurunan suhu ekstrem menyebabkan ikan-ikan mengalami kejutan termal, melemah, hingga tampak seperti pingsan sehingga mudah ditangkap warga.
2. Mengapa ikan bisa pingsan akibat suhu ekstrem?

Penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal Oceanography tahun 2023 menjelaskan bahwa fenomena Extreme Upwelling Event teridentifikasi melalui rangkaian data dari instrumen pencatat suhu yang dipasang lebih dari satu tahun di perairan Alor Kecil. Dari rekaman tersebut terlihat bahwa Extreme Upwelling Event memicu penurunan suhu permukaan lebih dari 10°C hanya dalam waktu sekitar satu jam, disertai peningkatan salinitas air laut mencapai 4–6 persen. Perubahan ekstrem ini mengindikasikan bahwa massa air yang naik dari kedalaman bukan sekadar lebih dingin, tetapi juga lebih pekat, sehingga sangat berbeda dari kondisi perairan permukaan sehari-hari. Suhu udara pun tidak berkorelasi dengan kejadian ini dimana mekanisme yang terjadi bukan dipicu cuaca, melainkan proses oseanografi murni.
Menurut penelitian yang sama, pembentukan Extreme Upwelling Event dikendalikan oleh gaya pasang surut, khususnya pasang surut semi-diurnal yang terjadi dua kali sehari. Para peneliti juga mencatat bahwa fenomena ini paling sering muncul antara periode Agustus hingga November, dimana pengaruh monsun memperkuat dinamika arus di Selat Pantar. Extreme Upwelling Event mencapai intensitas maksimum ketika magnitudo pasang surut melebihi 2,2 meter, yang cukup kuat untuk menarik massa air dari cekungan dalam di selatan Selat Pantar. Massa air dingin tersebut berasal dari kedalaman lebih dari 300 meter dan suhu di kedalaman 270 meter yang dapat mencapai 8°C, sehingga menjelaskan drastisnya pendinginan di permukaan.
Ikan-ikan tropis umumnya hidup di perairan bersuhu stabil 26–30°C dan tidak memiliki kemampuan fisiologis untuk menahan perubahan suhu yang terlalu drastis. Ketika suhu turun hingga selisih sekitar 12°C, tubuh ikan mengalami thermal shock yang menyebabkan sistem vitalnya terganggu dalam waktu singkat. Metabolisme melambat, kemampuan mengambil oksigen menurun, dan sirkulasi darah tidak dapat beradaptasi dengan cepat. Dalam kondisi seperti ini, ikan kehilangan tenaga sehingga sulit mengontrol gerakan dan akhirnya terkulai.
Kenaikan salinitas dari kisaran 30 PSU (Practical Salinity Units) menjadi sekitar 36 PSU juga memperparah situasi. Perubahan kadar garam yang terjadi secara tiba-tiba menimbulkan stres osmotik yang membebani kerja sel dan organ tubuh ikan. Ketika sistem saraf sudah melemah akibat suhu yang ekstrem, tekanan osmotik ini mempercepat keruntuhan fungsi biologis secara keseluruhan. Kombinasi dua tekanan lingkungan tersebut membuat ikan tampak seperti pingsan, tetapi kehilangan kemampuan mengendalikan tubuh sehingga mengambang lemah di permukaan.
3. Dampak peristiwa Extreme Upwelling di Alor terhadap ekosistem

Ketika Extreme Upwelling Event terjadi, ikan-ikan tropis seperti demersal dan pelagis kecil banyak ditemukan tidak mampu berenang dan mudah ditangkap warga. Mengutip Mongabay, seorang warga bahkan berhasil mengumpulkan lebih dari 150 kilogram ikan hanya dalam waktu singkat. Bagi masyarakat pesisir, momen ini kerap dianggap sebagai panen berkah karena ikan-ikan tersebut dapat dimanfaatkan untuk konsumsi sehari-hari maupun dijual. Sebagian hasil tangkapan biasanya dibagi kepada tetangga, sementara sisanya dijual kepada tengkulak. Namun, fenomena ini memotret betapa rentannya organisme laut terhadap perubahan suhu ekstrem dari perspektif ekologi.
Tidak hanya ikan yang terdampak, mamalia laut seperti lumba-lumba juga menunjukkan perubahan perilaku selama Extreme Upwelling Event berlangsung. Para peneliti mencatat bahwa lumba-lumba memanfaatkan kondisi ketika ikan-ikan menjadi lemah, sehingga peluang berburu meningkat. Tim BRIN bersama Universitas Diponegoro dan mitra internasional kini sedang mengkaji bagaimana perilaku mamalia laut tersebut bergeser ketika Extreme Upwelling Event muncul. Penelitian ini penting untuk memahami sejauh mana dinamika laut ekstrem memengaruhi rantai makanan dan interaksi antarspesies di wilayah tersebut.
Fenomena Extreme Upwelling Event di perairan Alor mengungkap bahwa laut tropis memiliki dinamika yang jauh lebih kompleks daripada yang selama ini dibayangkan. Penurunan suhu yang tajam dalam waktu singkat bukan hanya mengganggu keseimbangan ekosistem, tetapi juga menunjukkan bahwa sistem oseanografi Indonesia menyimpan proses-proses tersembunyi yang jarang teramati. Kejutan termal yang membuat ikan-ikan pingsan menjadi bukti nyata bagaimana pergerakan massa air laut dalam dapat memengaruhi permukaan hanya dalam hitungan menit. Peristiwa ini membuka peluang besar bagi dunia sains untuk menggali lebih dalam mekanisme laut ekstrem yang masih belum banyak diketahui.
Di luar dampak ekologisnya, fenomena Extreme Upwelling Event juga memiliki potensi ekonomi dan wisata berbasis sains. Sebagai fenomena langka, Extreme Upwelling Event dapat dikemas sebagai daya tarik wisata ilmiah berbasis konservasi, di mana wisatawan dapat menyaksikan fenomena alam luar biasa tanpa merusak lingkungan. Misalnya, masyarakat dapat mengamati perilaku lumba-lumba dari pantai atau kawasan tubir tanpa penggunaan perahu yang berpotensi mengganggu biota. Peluang ini dapat menjadi aset penting bagi masyarakat Alor apabila dikelola secara bijak.


















