Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mengenal Tokoh Feminis Abad ke-19 di Berbagai Negara

(Lily Rothman via Time.com)

Pro-kontra feminisme bukan merupakan hal yang baru namun sudah ada sejak kelahiran perjuangan perempuan untuk menuntut kesetaraan. Penolakan tersebut tidak terlepas dari idealisme patriarki yang terinstitusi di dalam lembaga masyarakat.

Maskulinitas dan dominasi laki-laki telah menjadi menjadi suatu budaya dan pola pikir. Terlepas dari penolakan terhadap feminisme, gagasan egaliterianisme telah melahirkan banyak tokoh perempuan yang mampu mewujudkan perubahan di berbagai negara di dunia.

Inilah 5 aktivitis politik perempuan yang progresif pada masanya, berdasarkan buku Feminisme untuk Pemula karya Marisa Rueda, Marta Rodriguez, dan Susan Watkins.

1. Emmeline Pankhurst (1858-1928)

( Time Life Pictures by Getty Via theguardian.com)

Emmeline memiliki darah radikal dari Ayahnya yang merupakan seorang aktivis penentang apartheid di Amerika. Tahun 1878 di Manchester, ia turut mengkampanyekan penolakan kebijakan anti-imperealisme di Timur Tengah.

Sebagai seorang aktivis perempuan berhaluan sosialis, Emmeline menjadi juru bicara International Labour Party (ILP). Feminisme Sosialis yang dianutnya telah membawa keberhasilan Emmeline dalam mencapai tuntutan hak vote perempuan melalui gerakan UK Suffragatte

2. Pandita Ramabai (1858-1922)

(Council for World Mission Archive via blogs.soas.ac.uk)

India terkenal dengan adatnya yang sangat dipengaruhi oleh dominasi patriarki. Namun Ramabai mampu menggempur tembok maskulinitas budaya melalui gerakan reformasi pendidikan, perjuangan membentuk regulasi yang mengatur rumah tangga berperspektif perempuan, dan hak-hak perempuan dalam kontestasi politik.

Ia menulis studi feminis tentang ajaran Hindu yang berjudul Women's Religious Law. Atas karyanya tersebut, ia mendapatkan gelar Sarasvati dari Universitas Kalkuta. Di tengah usianya yang masih muda, umur 24 tahun, Ramabai mengembara ke seluruh negeri untuk mendidikan Mahila Samaj sebuah organisasi perempuan yang memperjuangkan hak-hak perempuan di India. 

3. Raden Ajeng Kartini (1879-1904)

(Unknown photograph via Wikipedia.org)

Kartini menjadi tonggak gerakan emansipasi Indonesia dalam menentang feodalisme laki-laki terhadap perkawinan poligami, perkawinan paksa, memperjuangkan akses pendidikan terhadap perempuan, dan perlawanan anti-kolonialisme pada masanya. Ia mendirikan sekolah  untuk 120 murid perempuannya. Bagi Kartini, pendidikan terhadap perempuan adalah hal yang utama. 

Pada 1912, Nyonya Abendanon, istri Direktur Pendidikan kolonial, menerbitkan buku yang berisi kumpulan surat Kartini kepadanya dan Stella Zeehandelaar, dengan judul Door Duisternis tot Licht (Dari Gelap Menuju Terang) dan Gedahcten voor en over het Javansche Volk  (Gagasan bagi dan tentang Rakyat Jawa). Hingga saat ini, karya tersebut tidak pernah lekang oleh waktu.

4. Toshiko Kishida (1863-1901)

(Unknown photograph via Wikipedia.org)

Merupkan pioner gerakan  feminis di Jepang untuk menuntut hak pilih bagi perempuan. Ia menjadi pimpinan dalam kelompok feminis yang bernama Seitocha (Berkaoskaki Biru). Dalam menggalang massa agar terlibat dalam gerakan politiknya, Toshiko, berupaya menerbitkan berbagai tulisan melalui publikasi majalah Seito pada tahun 1911-1916.

Sebagai orator ulung, ia tak henti-hentinya mengkampanyekan penolakan norma-norma lama dalam konfusianisme Jepang yang menyatakan bahwa perempuan berada di bawah kekuasaan seorang bapak, suami, dan anak laki-lakinya. Toshiko meyakini bahwa perempuan adalah subjek yang merdeka atas hidupnya.

5. Alexandra Kollontai (1872-1952)

(Unknown photograph via Wikipedia.org)

Kamerad Kollontai yang disebut-sebut sebagai harapan Uni Soviet merupakan perempuan penganut Marxisme garis keras. Alexandra menjadi perempuan revolusioner yang menentang perbudakan atas buruh dengan mendukung pemogokan buruh teksil St. Petersburg 1869. 

Atas keradikalannya menentang pemerintahan Tsar Romanov dalam Revolusi Bolsyevik, Lenin menghadiahi Alexandra jabatan pemerintahan berupa kursi Komisaris Kesajahteraan Sosial.

Walaupun berhasil dalam politik, namun Alexandra gagal dalam percintaan. Baginya, cinta dan perjuangan rakyat tidak boleh saling bertentangan, karena prinsip inilah ia rela meninggalkan sang suami, Vladimir, yang menolak keterlibatan Alexandra dalam gerakan revolusioner. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ufiya Amirah
EditorUfiya Amirah
Follow Us