Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Teleskop Luar Angkasa dan Krisis Polusi Cahaya dari Satelit

partikel sinar kosmik dari luar angkasa yang mencapai Bumi
partikel sinar kosmik dari luar angkasa yang mencapai Bumi (commons.wikimedia.org/ESO)
Intinya sih...
  • Polusi Cahaya dari Satelit
  • Jumlah Satelit Meningkat Drastis
  • Teleskop Baru Menghadapi Gangguan Lebih Parah
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bayangkan kamu ingin mengabadikan galaksi jauh di luar angkasa dengan teleskop super canggih, lalu di hasil fotonya tiba-tiba muncul jejak cahaya tajam mengganggu yang dihasilkan oleh satelit luar angkasa. Masalah itulah yang kini dialami oleh astronom dan ilmuwan: ledakan peluncuran satelit ke orbit rendah Bumi membuat citra luar angkasa sukar bersih.

Baru-baru ini, sebuah studi pimpinan peneliti NASA mengungkap bahwa citra yang diambil oleh teleskop ruang angkasa bisa sangat tercemar akibat “light pollution” atau polusi cahaya. Bukan dari polusi di Bumi, melainkan dari kumpulan satelit buatan kita sendiri.

Lonjakan Satelit di Angkasa

ilustrasi satelit luar angkasa (pexels.com/SpaceX)
ilustrasi satelit luar angkasa (pexels.com/SpaceX)

Menurut data ESA dan NASA, jumlah satelit mengorbit Bumi meningkat drastis, dari sekitar 2.000 satelit tahun 2019 menjadi lebih dari 11.000 satelit di 2025. Jika proyek megakonstelasi seperti Starlink dan lainnya terus berjalan, proyeksi menunjukkan bisa ada sampai 560.000 satelit dalam orbit Bumi dalam satu dekade ke depan.

Akibatnya? Untuk teleskop seperti Hubble yang orbitnya berada di sekitar kawasan satelit rendah Bumi, citra ruang angkasa bisa “tercemar” oleh jejak satelit dua kali atau lebih tiap kali kamera membuka exposure. Riset memperkirakan bahwa dalam kondisi tertentu, sekitar 40% foto Hubble bisa mengandung jejak satelit.

Lebih Parah untuk Teleskop Baru

Teleskop yang masih akan diluncurkan atau baru beroperasi seperti SPHEREx, ARRAKIHS milik ESA, dan Xuntian dari Cina diprediksi menghadapi “kontaminasi” gambar yang jauh lebih parah. Gangguannya bisa mencapai kurang lebih 96% dari foto mereka berpotensi terpengaruh satelit.

Bayangkan, teleskop yang seharusnya menembus miliaran tahun cahaya ingin mengabadikan galaksi, nebula, atau bintang redup, malah harus menghadapi garis terang buatan manusia di setiap frame foto.

Jejak satelit bukan sekadar “kilatan cahaya” dalam foto. Mereka berpotensi menutup informasi krusial seperti perubahan kecerlangan bintang, detail nebula tipis, atau deteksi benda redup seperti asteroid dan exoplanet bisa hilang. Bahkan percikan kecil cahaya memungkinkan data penting terhapus selamanya.

Dengan kondisi seperti ini, semakin banyak foto astronomi yang kehilangan kualitas, riset jadi terganggu, dan banyak temuan potensial bisa gagal terekam.

Upaya, Tapi Solusi Masih Setengah Jalan

Ilustrasi Luar Angkasa (Pexel/Pixaby)
Ilustrasi Luar Angkasa (Pexel/Pixaby)

Para ilmuwan sudah menyarankan beberapa langkah mitigasi. Salah satunya adalah mendesain satelit dengan material kurang reflektif, mengatur orbit agar satelit tidak melintas langsung di jalur pandang teleskop, atau menyusun jadwal pengamatan di waktu paling aman. Namun realitasnya dengan jumlah satelit terus melonjak, cara-cara ini diprediksi hanya akan “mengurangi sedikit” masalah, bukan benar-benar mengatasi masalahnya.

Peneliti utama dalam studi itu, Alejandro Borlaff dari NASA, menyerukan upaya koordinasi global antara agensi astronomi, operator satelit, dan regulator internasional agar orbit rendah Bumi tidak berubah jadi “gurun cahaya” yang menghancurkan penelitian luar angkasa.

Sebagai pengguna internet atau konsumen layanan satelit, mungkin kita jarang menyadari bahwa “hujan satelit” di orbit bisa berdampak pada penelitian alam semesta. Tapi efeknya nyata dan bisa kita bayangkan sebagai “pencemaran cahaya global” dalam bentuk baru.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Achmad Fatkhur Rozi
EditorAchmad Fatkhur Rozi
Follow Us

Latest in Science

See More

5 Fakta Taman Nasional Tesso Nilo di Sumatra, Rumah bagi Gajah Sumatra

09 Des 2025, 08:06 WIBScience