Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenapa Triple Crown Pacuan Kuda Sangat Bergengsi?

kejuaraan pacuan kuda Sarga.co (instagram.com/sarga.co)
kejuaraan pacuan kuda Sarga.co (instagram.com/sarga.co)
Intinya sih...
  • Susahnya meraih Triple Crown
    • Jarak berbeda dan waktu pemulihan singkat
    • Persaingan ketat dan faktor eksternal
    • Triple Crown di beberapa negara
      • Amerika Serikat, Inggris, dan Australia memiliki konsep Triple Crown sendiri
      • Tantangan unik dalam setiap negara
      • Triple Crown di Indonesia
        • Rute berbeda namun semangat sama dengan tiga seri balapan berjenjang
        • Hanya dua kuda yang meraih gelar Triple Crown di Indonesia

Jakarta, IDN Times - Dalam dunia pacuan kuda, hanya ada satu gelar yang mampu membuat arena sunyi karena takjub dan meninggalkan nama yang tak akan pernah hilang dari buku sejarah. Gelar itu bernama Triple Crown.

Triple Crown bukan sekadar tiga kemenangan berturut-turut. Dia merupakan simbol keunggulan mutlak. Mahkota yang hanya bisa dikenakan kuda-kuda terbaik, ditunggangi joki-joki dengan intuisi luar biasa, dan dipoles tim pelatih dengan nyali besar.

Triple Crown adalah istilah untuk menyebut tiga balapan besar dalam satu musim, yang harus dimenangkan seekor kuda pacu berusia tiga tahun.

Karena itulah, seekor kuda hanya punya satu peluang seumur hidup untuk mengejarnya. Tidak bisa memperoleh lebih cepat, tidak juga ada musim kedua atau ulangan. Kesempatan itu datang hanya sekali dan pergi secepat garis finis.

1. Susahnya meraih Triple Crown

kejuaraan pacuan kuda Sarga.co (instagram.com/sarga.co)
kejuaraan pacuan kuda Sarga.co (instagram.com/sarga.co)

Meraih Triple Crown sangat sulit. Pertama, karena jarak berbeda, setiap balapan punya jarak tempuh berbeda. Artinya, kuda harus punya kecepatan sekaligus daya tahan.

Kedua, waktu pemulihan singkat. Balapan biasanya digelar dalam rentang waktu relatif dekat. Pemulihan fisik jadi tantangan besar. Lalu persaingan ketat. Semua kuda terbaik usia 3 tahun ikut serta. Tidak ada lawan mudah. Ada juga faktor eksternal, seperti cuaca, trek, start buruk, hingga tekanan media.

Tidak mengherankan jika dalam sejarah panjang pacuan kuda di seluruh dunia, hanya segelintir yang berhasil mengunci tiga kemenangan dan menyematkan gelar Triple Crown Champion di namanya.

2. Triple Crown di beberapa negara

kejuaraan pacuan kuda Sarga.co (instagram.com/sarga.co)
kejuaraan pacuan kuda Sarga.co (instagram.com/sarga.co)

Konsep Triple Crown hadir di berbagai belahan dunia sebagai simbol supremasi pacuan kuda. Di Amerika Serikat, hanya ada beberapa kuda yang mampu menaklukkan tiga balapan legendaris seperti Kentucky Derby (1.600 meter), Preakness Stakes (1.900 meter), dan Belmont Stakes (2.400 meter) dalam rentang waktu dua bulan.

Dalam sejarah satu setengah abad Triple Crown Amerika Serikat, hanya 13 kuda yang berhasil mencatatkan namanya sebagai juara sejati. Terakhir kali diraih Justify pada 2018, menyusul keberhasilan American Pharoah pada 2015, yang mengakhiri masa penantian selama hampir 40 tahun setelah peraih gelar terakhir.

Inggris merupakan tempat kelahiran pacuan kuda modern, namun di sinilah pula Triple Crown seperti 'mitos'. Tiga balapan yang harus dimenangkan adalah 2000 Guineas Stakes (1.600 meter), The Derby (2.400 meter), St. Leger Stakes (2.900 meter).

Tantangan utamanya bukan hanya soal jarak yang makin panjang, tapi juga karena standar kualitas yang luar biasa tinggi. Hingga kini, hanya 15 kuda yang pernah sukses menyapu bersih ketiganya. Nijinsky adalah nama terakhir dalam daftar itu, sejak tahun 1970.

Sejak saat itu, banyak yang nyaris, tapi tak satupun bisa menuntaskan. Yang paling dramatis mungkin adalah Camelot pada 2012, gagal di langkah terakhir St. Leger dan membuat publik Inggris menelan kekecewaan.

Australia punya dua versi Triple Crown yang membuat tradisi mereka unik dan lebih kompetitif. Untuk kuda jantan berusia tiga tahun, Triple Crown terdiri dari Randwick Guineas (1.600 meter), Rosehill Guineas (2.000 meter), Australian Derby (2.400 meter).

Tiga balapan ini dihelat dalam musim gugur, dengan jeda yang ketat dan jarak yang terus meningkat. Tak banyak yang sanggup menaklukkannya. Dua nama besar yang berhasil adalah Octagonal (1996) dan It’s A Dundeel (2013).

Meski konsepnya serupa, tiga kemenangan dalam satu musim, Triple Crown di setiap negara punya warna dan tantangan tersendiri. Di Amerika, Inggris, dan Jepang, Triple Crown adalah arena khusus bagi kuda usia 3 tahun. Sementara di Hong Kong, usia tak lagi jadi batasan. Di Australia, bahkan sprinter pun diberi jalur menuju mahkota mereka sendiri.

3. Lalu, bagaimana Triple Crown di Indonesia?

kejuaraan pacuan kuda Sarga.co (instagram.com/sarga.co)
kejuaraan pacuan kuda Sarga.co (instagram.com/sarga.co)

Triple Crown di Indonesia, meski berbeda rute, namun semangatnya sama yaitu tiga seri balapan berjenjang, yang masing-masing menuntut keunggulan berbeda. Seri I di bulan April (1.200 meter), Seri II di bulan Mei (1.600 meter), dan klimaksnya Indonesia Derby di bulan Juli sejauh 2.000 meter.

Sepanjang sejarah Pordasi, baru dua kuda saja yang meraih gelar Triple Crown, yaitu kuda Manik Trisula pada 2002 dan kuda Djohar Manik pada 2014. Dan sejak itu, satu dekade lebih, mahkota itu hanya indah dikenang, namun sulit diulang.

Sejarah mencatat setidaknya tujuh kuda yang nyaris menyentuh Triple Crown namun gagal. Ada yang gagal di leg terakhir seperti King Master (2006), King Runny Star (2015), Nara Asmara (2016) dan Queen Thalassa (2019).

Ada juga yang menang di dua laga terakhir namun sayangnya gagal di leg pertama seperti Pesona Nagari (2008) dan Bintang Maja (2023). Sementara Lady Aria (2018) memenangkan leg pertama dan Derby, tapi hanya mampu finis kedua di leg kedua.

Ketua Komisi Pacu Pordasi, Munawir, menyebut Triple Crown menuntut daya tahan luar biasa kuda, konsistensi tak tergoyahkan, strategi cermat, dan kesiapan menghadapi tantangan cuaca, cedera, bahkan fluktuasi psikologis kuda.

Munawir menjelaskan Triple Crown Indonesia dirancang menyesuaikan karakter dan daya tahan kuda lokal. Derby tidak dibuat 2.400 meter seperti luar negeri agar tidak membebani atau mencederai kuda.

Adapun kriteria peserta Triple Crown Indonesia sama dengan negara lain kebanyakan, yakni kuda umur 3 tahun.

"Realistis saja. Karena kuda-kuda di sini belum kuat jaraknya sepanjang itu. Seekor kuda hanya punya satu kali peluang seumur hidup untuk menjadi juara Triple Crown," ujar Munawir dalam keterangan resmi.

4. Di ambang sejarah baru Triple Crown Indonesia

King Argentine beraksi di Sarga IHR Triple Crown Serie 2 2025. (Dok. Sarga)
King Argentine beraksi di Sarga IHR Triple Crown Serie 2 2025. (Dok. Sarga)

Setelah Indonesia’s Horse Racing (IHR) Triple Crown Serie 1 pada April dan IHR Triple Crown Serie 2 pada Mei, rangkaian perebutan gelar Triple Crown 2025 di Indonesia tinggal menyisakan satu lagi kejuaraan yaitu IHR Kejurnas Serie 1 Indonesia Derby atau IHR Indonesia Derby pada 27 Juli mendatang.

Kuda King Argentine yang telah memenangkan Kelas 3 Tahun Derby di IHR Triple Crown Serie 1 dan IHR Triple Crown Serie 2 lalu, menghidupkan peluang menjadi kuda ketiga peraih gelar Triple Crown di Indonesia jika bisa memenangkan Kelas 3 Tahun Derby di IHR Indonesia Derby.

Selangkah lagi, akan terukir sejarah baru di Indonesia. Namun, Triple Crown bukan sekadar tiga kemenangan. Ia adalah ujian kesempurnaan tentang ketangguhan fisik, kecepatan yang konsisten, strategi matang, dan keberuntungan yang berpihak.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ilyas Listianto Mujib
EditorIlyas Listianto Mujib
Follow Us