Susy Susanti: Dari Diskriminasi Hingga Emas Pemersatu Bangsa

Susy Susanti layak diberi label pahlawan, bukan cuma legenda

Jakarta, IDN Times - Bukan legenda, tapi pahlawan. Label ini layak disematkan kepada Susy Susanti. Mantan tunggal putri terbaik Indonesia itu memang memiliki jasa besar terhadap Indonesia. Susy merupakan atlet pertama Indonesia yang mampu mempersembahkan emas di Olimpiade 1992, Barcelona.

Prestasi Susy pastinya sudah dicatat dalam buku besar sejarah Indonesia. Jasanya terhadap panji Merah Putih tak bisa dilupakan. Pertarungannya dengan Bang Soo-hyun di final Olimpiade 1992 silam, begitu menegangkan.

Susy sempat kesulitan kala itu, karena kalah di game pertama dengan skor 5-11. Publik sempat khawatir, karena Susy sejatinya jadi unggulan. Rekor pertemuan Susy atas Soo-hyun sejatinya juga begitu dominan.

Hingga akhirnya, di game kedua Susy bangkit. Dia mampu menyamakan kedudukan setelah menang 11-5. Pada game ketiga, Susy akhirnya menang dengan skor 11-3, membawa pulang medali emas ke Indonesia.

Tangis haru pecah di Barcelona. Susy seakan tak percaya bisa membawa pulang medali emas buat Indonesia, apalagi bulu tangkis baru pertama kali dipertandingkan di Olimpiade.

Setelahnya, Susy disambut begitu hangat di Indonesia. Teriakan ‘Hidup Indonesia!’ memekak di telinga, menyambut kepulangan Susy dan pasukan bulu tangkis Indonesia kala itu. Ada cerita di balik teriakan tersebut.

IDN Times akan memberikan kisahnya selengkap mungkin setelah mewawancarai Susy Susanti secara khusus. Berikut ini adalah hasil wawancara khusus kami dengan sang pahlawan.

1. Ibarat Cristiano Ronaldo versi Bulu Tangkis

Susy Susanti: Dari Diskriminasi Hingga Emas Pemersatu BangsaMantan atlet tunggal putri Indonesia, Susy Susanti (YouTube.com/BWF TV)

Sebagai pemain tunggal putri, Susy merupakan tipe pemain pekerja keras dan detail. Sejak masih 15 tahun, Susy berkembang sebagai pemain tunggal yang punya detail bagus.

Gaya main Susy terbentuk dalam proses, bukan satu atau dua tahun menjadi hebat. Memang, menjelang Olimpiade 1992, Susy sudah diperhitungkan sebagai calon juara.

Namun, sebenarnya Susy telah menjalani proses yang Panjang. Dia membentuk gaya mainnya dengan polesan-polesan tertentu.

Awalnya, Susy mencoba main dengan gaya ofensif, kerap melepaskan smes dengan tenaga yang begitu keras. “Ujungnya, saya yang kalah,” kata Susy.

Kemudian, Susy mengubah gaya mainnya dengan lebih cerdas. Melepaskan langsung bola ke area terjauh dari lawan. Dengan gaya tersebut, lawan Susy menjadi lebih mudah terkuras staminanya. Baru pada momen tersebut Susy mulai tancap gas.

Dari gaya inilah, Susy bersama sang rekan, Sarwendah Kusumawardhani terpilih lolos kualifikasi Olimpiade 1992 dari sektor tunggal putri.

“Prosesnya cukup Panjang, karena disiapkan dengan begitu detail. Porsi, program Latihan, benar-benar terencana. Kesadaran juga diperlukan karena memang saat itu ada target, kami juga ingin mencapai prestasi. Semua kami jalankan dengan senang hati,” kata Susy.

Demi menyempurnakan gaya mainnya, Susy ternyata melakoni latihan berat yang detail. Porsi latihan ditambah, lebih banyak dari sebelumnya, tiga kali sehari. Susy kala itu tak hanya dilatih untuk menjadi pemain tunggal saja. Tapi, dia ditempa pula untuk menjadi pemain di ganda putri dan campuran.

Lewat latihan seperti ini, Susy jadi tahu detail dari permainan di berbagai sektor. Hingga akhirnya, gaya main Susy makin sempurna. Baru pada setahun sebelum Olimpiade 1992, Susy difokuskan pada sektor tunggal putri.

“Saya jadi terbiasa dengan pola latihan yang ada. Pola latihan tunggal dan ganda berbeda, jadi terbiasa latihan tiga kali sehari. Kami sadar dengan tanggung jawab terbesar buat negeri ini. Kami juga punya cita-cita sebagai seorang atlet, juara Olimpiade,” ujar Susy.

Latihan tiga kali sehari sebenarnya di atas kerta saja. Sering juga, Susy menambah porsinya sendiri. Dia kerap pula menuliskan catatan, di mana kekurangannya. Pun, Susy sering membuat analisis dari lawan-lawannya dan mencoba mempraktikkan gaya main yang cocok untuk melawan mereka di sesi latihan.

“Pemain dan pelatih, kami sudah punya target untuk bisa jadi juara di mana saja. Jadi, semua program mengikuti targetnya,” ujar Susy.

Baca Juga: Susy Susanti Tunggal Putri Indonesia yang Pernah Juara di All England

2. Bumbu cinta lokasi

Susy Susanti: Dari Diskriminasi Hingga Emas Pemersatu BangsaInstagram.com/@susysusantiofficial

Dalam proses persiapan Susy menuju Olimpiade 1992, terkandung sebuah cerita. Terjadi cinta lokasi di sana, antara Susy dengan suaminya, Alan Budikusuma.

Alan memang jadi salah satu anggota di pemusatan latihan jelang Olimpiade 1992. Bersama Ardy Wiranata dan Hermawan Susanto, Alan diproyeksi bisa menembus skuad Olimpiade 1992.

Sepanjang prosesnya, Susy dan Alan ternyata berpacaran. Muncul benih-benih asmara saat keduanya masih menghuni pelatnas PBSI. Kritikan memang sering datang terkait hubungan mereka.

Banyak yang mencerca, gara-gara pacaran performa Susy atau Alan menurun. Tapi, itu tak digubris oleh keduanya.

Semua dipatahkan Susy dan Alan ketika berhasil meraih medali emas Olimpiade 1992. Ya, beberapa hari setelah Susy memenangkan emas Olimpiade 1992, Alan melakukannya.

Prestasi mereka seakan menjadi bukti, hubungan asmara tak jadi penghalang untuk mencetak prestasi. “Otomatis, dengan sendirinya restu dan dukungan saat kami pacarana mengalir dengan sendirinya,” jelas Susy.

Ketika berpacaran, sebenarnya Susy dan Alan kerap berbagi dalam urusan teknis di lapangan. Keduanya saling mengisi, memberi masukan terkait kelebihan serta kekurangan.

Kerap kali, Susy mencatatkan kekurangan yang ada dalam diri Alan, pun sebaliknya. Mereka juga bekerja sama menganalisis lawan. Dengan demikian, hubungan asmara keduanya tak melulu soal cinta, tapi juga prestasi.

“Kalau besok tambahan justru saya sering sama Alan. Pada saat Alan main, biasanya saya membantu untuk mencatatkan kelemahan serta kelebihan lawan. Permainan Alan juga masuk dalam catatan. Begitu pula sebaliknya, pada saat saya main biasanya Alan kasih dukungan sambil menganalisa lawan-lawan saya. Sehingga pada saat kita di luar lapangan kami berdiskusi, saling beri masukan untuk persiapan pertandingan selanjutnya,” ujar Susy.

Cinta lokasi keduanya berakhir manis. Lima tahun pasca meraih medali emas Olimpiade 1992 di Barcelona, mereka menikah. Kini, keduanya sudah dikaruniai tiga orang anak. Maka dari itu, muncul istilah “Pengantin Olimpiade” yang lekat dengan keduanya.

3. Beban bulu tangkis sebagai identitas bangsa

Susy Susanti: Dari Diskriminasi Hingga Emas Pemersatu BangsaIDN Times/Margith Juita Damanik

Beban Indonesia sebenarnya berat di Olimpiade 1992. Bagaimana tidak, di era 1990-an, Indonesia sudah dikenal sebagai raksasa dalam dunia tepok bulu.

Bahkan, tulisan New York Times pada 7 Agustus 2020, ada idiom yang menyebutkan “bicara bulu tangkis, artinya itu Indonesia”. Memang olahraga ini menjadi salah satu yang terpopuler di Tanah Air, selain sepakbola.

Di berbagai penjuru Indonesia, sudah pasti ada lapangan bulu tangkis. Mau di komplek perumahan mewah, hingga kampung, pasti ada lapangan bulu tangkis. Bapak-bapak, ibu rumah tangga, hingga anak-anak, menggandrungi olahraga ini.

Maka dari itu, target emas di Olimpiade 1992, dirasa PBSI kala itu sangat realistis. Berhasil juara, artinya akan meningkatkan rasa bangga akan Indonesia.

Susy menjadi salah satu atlet yang diproyeksikan meraih emas kala itu. Satu atlet lain yang diproyeksikan meraih emas adalah Ardy Wiranata, bukan Alan.

“Jadi pada saat kami lolos ke Olimpiade, targetnya adalah emas. Memang, cukup berat waktu itu tugasnya. Apalagi, ketika itu berdasarkan rangking, saya bersama Ardy di nomor satu dunia,” ujar Susy.

“Target dari pemerintah sebenarnya ada di Ardy dan saya waktu itu,” lanjutnya.

Susy mengaku cukup tegang dengan target yang dibebankan kepadanya. Terlebih, ketika jumpa sejumlah pejabat negara, selalu ada ucapan yang dilayangkan kepadanya.

“Ketemu orang dari pemerintahan atau masyarakat, langsung bilang ‘harus menang ya’, begitu kira-kira,” ujar Susy.

Baca Juga: Comeback Inspiratif, Lolos ke Olimpiade 2020 Usai Sembuh dari Leukemia

4. Mental yang ditempa dan diuji

Susy Susanti: Dari Diskriminasi Hingga Emas Pemersatu BangsaGrafis Susy Susanti (IDN Times/Arief Rahmat)

Dari sini, tanggung jawab yang besar muncul dalam diri Susy. Dia tak main-main dalam persiapan, karena impian dan harapan dari Indonesia yang begitu besar.

Secara teknis, publik mungkin bisa bilang Susy sudah sempurna. Tapi, justru Susy tak merasa demikian. Ada hal yang harus diwaspadainya dan bisa saja mengganggu performa teknisnya di atas lapangan.

Itu adalah soal mental. Persiapan secara psikis, diakui Susy, jadi yang terberat jelang Olimpiade 1992.

“Paling sulit adalah menyalahkan diri sendiri. Pengendalian psikis juga bagian dari strategi. Bulu tangkis tak cuma sekedar teknik dan strategi, tapi rasa. Jadi, psikologis jadi penting untuk disiapkan,” terang Susy.

Ungkapan ‘keluar dari zona nyaman’ benar-benar ditanamkan dalam benak Susy jelang dan selama Olimpiade 1992. Itu membuatnya tak cepat puas dengan hasil yang diterimanya.

Dengan ungkapan itu, Susy makin baik dari hari ke hari. Sempurna dengan permainannya yang cerdik.

“Semua soal faktor psikologis, bagaimana tak selalu berada dalam zona nyaman. Lalu, bagaimana latihan bisa diterima dengan baik, komunikasi dengan pelatih, kami merasa terayomi oleh pengurus, apakah program berjalan dengan baik, manajemen tertata, lalu kerja sama agar tak merasa sendiri,” terang Susy.

Dari semua fakta ini, Susy merasa kemenangannya di Olimpiade 1992, bukan merupakan kejayaan individu. Namun, itu merupakan kemenangan tim.

5. Kekuatan sempurna di Barcelona

Susy Susanti: Dari Diskriminasi Hingga Emas Pemersatu BangsaGrafis Susy Susanti dan medali emas Olimpiade Barcelona 1992 (IDN Times/Arief Rahmat)

Latihan psikologis yang dijalani Susy benar-benar berguna saat tampil di final Olimpiade 1992. Soo-hyun sejatinya jadi kuda hitam dan Susy adalah unggulan.

Namun, dalam kenyataannya, Susy mampu dibuat keteteran di game pertama. Dia kalah dari Soo-hyun di game pertama, 5-11.

Pada game kedua, Susy mencoba bangkit. Dia main lebih sabar dan tak terlalu terburu-buru dalam mengambil keputusan. Benar saja, Susy menggila di game kedua. Dia akhirnya menang 11-5.

Susy bagaikan diesel. Setelah menang game kedua, dia makin kuat pada periode penentuan. Soo-hyun dibantainya di game ketiga dengan skor 11-3. Tangis haru langsung pecah, Susy mempersembahkan emas pertama untuk Indonesia di Olimpiade.

Ada cerita tersendiri soal kemenangannya atas Soo-hyun. Susy ternyata fokus karena mengingat aksi legenda bulu tangkis Indonesia, Rudy Hartono, di final All England 1974.

Dari sinilah Susy belajar mengendalikan diri. Para pelatih kala itu, juga sering memberi kode 74 kepada Susy, tanda agar ingat dengan perjuangan sang legenda.

Memang, sebelum laga, Susy sempat gusar. Ada perasaan terburu-buru dalam benaknya. Pun, di malam sebelum final, Susy sempat susah tidur. Memang, perlu suntikan motivasi macam ingatan aksi Rudy Hartono.

“Artinya agar yakin dengan diri sendiri. Jangan ikuti lawan, pokoknya berjuang, karena belum kalah,” kata Susy.

Kini, justru Susy yang merasa tersentuh saat menyaksikan tayangan ulang pertandingannya melawan Soo-hyun di Olimpiade 1992. Dia mengaku, semua kenangan manis menyabet medali emas itu membuat hatinya bergetar.

“Momen yang tak mungkin terlupakan sepanjang hidup, karena paling bersejarah. Sebab, bisa menyelesaikan tugas negara. Saya tak membawa nama Susy Susanti kala itu, tapi Indonesia,” tegas Susy.

Baca Juga: Sistem Skor 5x11 Bulu Tangkis Teranyar yang Harus Kamu Tahu

6. Medali pemersatu bangsa

Susy Susanti: Dari Diskriminasi Hingga Emas Pemersatu Bangsainstagram.com/susysusantiofficial

Perjalanan Susy menuju Olimpiade 1992 sebenarnya dibumbui cerita tak enak. Isu rasialis kerap dihadapinya. Memang, saat itu, Orde Lama masih berkuasa. Keturunan Tionghoa selalu menerima kesulitan.

Mereka harus memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI). Pun, keturunan Tionghoa tak boleh menggunakan nama aslinya. Sempat ada kesulitan pula mengurus paspor dan visa agar bisa berangkat ke Barcelona.

Namun, dengan berbagai upaya, pada akhirnya Susy bersama Alan dan pasukan Indonesia bisa berangkat ke Barcelona dengan aman.

Situasi ini ditanggapi dengan bijak oleh Susy. Dia mengaku tak mempermasalahkannya, meski memang berat karena niatnya cuma satu, membela Indonesia.

“Sebenarnya, kalau dilihat silsilah, kakek buyut saya sudah lahir di Indonesia. Hanya karena kami keturunan Tionghoa, darah saya tak mungkin bohong. Ada campuran darah Tionghoa, tradisi, tetap ada,” kata Susy.

“Positif saja, pada saat besar, saya adalah orang Indonesia,” lanjutnya.

Jaket bertuliskan ‘Indonesia’ jadi simbol akan kebanggaan Susy membela panji Merah Putih. Jauh di lubuk hatinya, dia begitu mencintai Indonesia dan bangga mencatatkan sejarah sebagai penyumbang medali emas pertama di Olimpiade untuk negeri ini.

“Filosofi dari leluhur saya dari Tiongkok cukup baik, ‘kamu harus berdiri diatas kaki kamu sendiri dan kamu harus kerja keras untuk mencapai kesuksesan’ itu yang selalu diingat,” ujar Susy.

“Di samping itu, orang tua juga menanamkan ‘di mana bumi dipijak disitulah kamu harus mengabdi dan mencintai negara itu’,” lanjutnya.

New York Times juga menyoroti topik ini. Bahkan, mereka menyebut aksi Susy sebagai salah satu kekuatan pemersatu bangsa lewat bulu tangkis. Hingga sekarang pula, bulu tangkis memang menjadi media pemersatu bangsa yang kuat. Sebab, di bulu tangkis, tak peduli ras atau dari mana kamu berasal. Yang penting, senyum, senang, sehat, berkeringat, dan berprestasi.

Seperti kata tokoh revolusioner Afrika Selatan, Nelson Mandela, kala melawan politik Apartheid, “Olahraga adalah salah satu media untuk menggerakkan, menyatukan, hingga membuat seluruh orang dari berbagai ras, negara, dan agama, untuk bisa bersorak dalam satu kesatuan”.

7. Emas di bulu tangkis itu tradisi

Susy Susanti: Dari Diskriminasi Hingga Emas Pemersatu Bangsatwitter.com/INABadminton

Keberhasilan Susy di Olimpiade 1992 jadi sebuah pondasi tradisi, Indonesia harus meraih emas di bulu tangkis. Memang, secara konsisten Indonesia selalu meraih medali emas lewat bulu tangkis.

Empat tahun setelah Susy meraih emas, ada Rexy Mainaky/Ricky Subagja yang meraihnya di Atalanta. Kemudian, pada Olimpiade 2000, Sydney, giliran Tony Gunawan/Candra Wijaya yang menyumbangkannya.

Tradisi medali emas Olimpiade dilanjutkan tunggal putra Indonesia, Taufik Hidayat yang berhasil meraih medali emas dari Olimpiade 2004, Athena.

Selanjutnya, di 2008, ganda putra Indonesia, Hendra Setiawan/Markis Kido, membawa pulang emas dari Olimpiade Beijing. Sayangnya, tradisi emas Olimpiade terputus di London pada 2012 silam. Tercatat, ini jadi satu-satunya kegagalan Indonesia gagal meraih medali emas di Olimpiade.

Sebab, empat tahun berselang, ganda campuran legendaris Indonesia, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir, berhasil mengembalikan tradisi emas Olimpiade bulu tangkis Indonesia dari ajang Olimpiade 2016, Rio de Janeiro.

Untuk itu, Susy punya pesan khusus bagi adik-adiknya yang akan mewakili Indonesia di Olimpiade 2020, Tokyo, yang digelar pada Juli hingga Agustus 2021 mendatang.

“Saya berpesan, teruskan tradisi emas itu. Kerja keras saja, istilahnya main semangat dan pantang menyerah. Fokus, konsentrasi, yakin bahwa kalian berjuang tidak sendirian. Tetapi, kita semua akan ada di belakang kalian dan mendukung kalian untuk bisa memberi prestasi tertinggi untuk Indonesia,” jelas Susy.

Baca Juga: Sistem Baru 5x11 Bulu Tangkis yang Ternyata Menguntungkan

Topik:

  • Satria Permana

Berita Terkini Lainnya