Tekanan dan Ekspektasi Tinggi terhadap Karier Anak Legenda Sepak Bola

- Cristian Totti, putra Francesco Totti, pensiun dari sepak bola pada usia 19 tahun karena tekanan publik yang berlebihan.
- Romeo Beckham memilih untuk berhenti dari sepak bola dan fokus di dunia fashion setelah tidak mendapatkan kesempatan bermain di tim utama Brentford B.
- Enzo Zidane dan Jordi Cruyff juga mengalami kesulitan dalam karier sepak bola mereka karena beban ekspektasi publik yang tinggi.
Nama besar di dunia sepak bola kerap menjadi sorotan ketika diwariskan kepada generasi berikutnya. Anak dari pemain ternama sering mendapat perhatian lebih sejak awal karier, baik dari klub, media, maupun publik. Beberapa kasus di berbagai negara menunjukkan bahwa sorotan tersebut tidak selalu berbanding lurus dengan perkembangan karier sang pemain muda.
Ekspektasi publik yang tinggi kerap berubah menjadi beban yang sulit dikelola. Sejumlah pemain muda pernah mengakhiri karier lebih cepat atau berpindah jalur karena tekanan yang mereka rasakan. Fenomena ini menunjukkan bahwa warisan prestasi di lapangan dapat menjadi tantangan besar jika tidak diimbangi dukungan dan perlindungan yang memadai.
1. Warisan nama Totti membebani perjalanan karier Cristian
Cristian Totti adalah anak pertama dari Francesco Totti dan Ilary Blasi. Ia lahir pada 6 November 2005 dan tumbuh di tengah popularitas besar sang ayah yang menjadi ikon AS Roma serta salah satu legenda sepak bola Italia. Sejak masih di usia belia, keberadaannya sudah menjadi perhatian publik dan media, yang sering membicarakan potensinya sebagai penerus sang ayah di lapangan hijau. Situasi ini menempatkannya pada posisi unik, di mana setiap langkah yang ia ambil di dunia sepak bola selalu berada di bawah sorotan dan perbandingan dengan karier sang ayah yang sarat prestasi.
Perjalanan Cristian di sepak bola dimulai di akademi AS Roma, lalu berlanjut ke tim junior Frosinone dan Rayo Vallecano U19 di Spanyol. Ia kemudian kembali ke Italia dan bermain di Serie D bersama Avezzano dan Olbia. Namun, pada Juli 2025, Cristian memutuskan untuk pensiun pada usia 19 tahun setelah tidak menemukan klub baru sejak akhir 2024. Dilansir TalkSport, nama besar sang ayah memperberat tekanan publik yang ia hadapi, baik melalui sorotan media maupun komentar di media sosial yang kerap membicarakan hal di luar performanya di lapangan.
Meski tidak lagi bermain secara profesional, Cristian masih memilih jalur yang berkaitan dengan sepak bola. Ia kini bergabung dengan Totti Soccer School, sebuah akademi yang didirikan oleh sang ayah dan dikelola bersama keluarganya. Di sana, perannya difokuskan pada pencarian dan pembinaan pemain muda. Cristian memanfaatkan pengalamannya selama berkarier untuk membantu talenta-talenta baru mendapatkan kesempatan berkembang di lingkungan yang lebih mendukung.
2. Romeo Beckham memilih fokus di dunia fashion
David Beckham dikenal sebagai salah satu ikon sepak bola dunia. Ia pernah bermain untuk Manchester United, Real Madrid, LA Galaxy, AC Milan, dan Paris Saint-Germain. Selama kariernya, ia dikenal karena kemampuan tendangan bebasnya, kepemimpinan di lapangan, dan statusnya sebagai salah satu pemain sepakbola paling populer di dunia. Popularitas ini ikut membentuk sorotan besar pada kehidupan anak-anaknya, termasuk Romeo Beckham.
Romeo mulanya mengikuti jejak sang ayah sebagai pemain sepak bola. Ia memulai karier sepak bola di akademi Arsenal pada 2014, tetapi dilepas setahun kemudian. Ia sempat mencoba peruntungan di olahraga tenis sebelum kembali ke sepak bola dengan bergabung ke Inter Miami II, lalu dipinjamkan ke Brentford B. Selama membela Brentford dari 2023 hingga 2024, ia tidak pernah mendapatkan kesempatan bermain di tim utama.
Setelah kontraknya habis, Romeo memutuskan untuk berhenti dari sepak bola dan memilih jalur baru di dunia fashion. Ia menandatangani kontrak dengan agensi ternama di Paris dan tampil dalam kampanye merek besar seperti Burberry dan Yves Saint Laurent, bahkan debut di catwalk Balenciaga untuk musim Spring/Summer 2025. Dilansir AS USA, keputusan Romeo ini dipengaruhi oleh minat besarnya pada dunia fashion, mengikuti jejak ibunya, Victoria Beckham.
3. Jejak karier Enzo Zidane gagal setinggi ayahnya di dunia sepak bola
Zinedine Zidane adalah salah satu legenda sepak bola dunia dengan prestasi luar biasa bersama Juventus, Real Madrid, dan timnas Prancis. Namanya dikenal hampir di seluruh dunia, dan warisan itu menempel kuat pada anak sulungnya, Enzo Zidane. Sejak kecil, Enzo sudah berada di lingkungan sepak bola elite dan selalu dipandang sebagai calon penerus sang ayah.
Enzo bergabung dengan akademi Real Madrid pada 2004 dan menembus tim utama pada 2016. Debutnya cukup manis karena mencetak gol di ajang Copa del Rey. Namun, setelah itu kariernya tidak berkembang sesuai harapan. Pemain yang beroperasi sebagai gelandang serang ini berganti klub berkali-kali, mulai dari Deportivo Alavés di Spanyol, Lausanne-Sport di Swiss, Aves di Portugal, hingga Rodez di Prancis. Perpindahan yang terjadi secara terus-menerus membuatnya sulit mendapatkan stabilitas dan kesempatan bermain reguler.
Pada 2024, Enzo sudah lebih dari setahun tanpa klub. Ia akhirnya memutuskan pensiun pada September 2024 saat usianya masih 29 tahun. Banyak pihak menilai bahwa beban besar dari nama Zidane ikut memengaruhi perjalanan kariernya. Tekanan untuk menyamai prestasi sang ayah sering menjadi sorotan, sementara performanya di lapangan tidak pernah benar-benar mencapai ekspektasi publik.
4. Jordi Cruyff gagal mengikuti jejak manis sang ayah sewaktu menjadi pemain sepak bola
Johan Cruyff dikenal sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah sepak bola. Ia memenangkan tiga Ballon d’Or, membawa Ajax dan Barcelona meraih berbagai gelar, sekaligus mengubah cara pandang terhadap permainan melalui filosofi Total Football. Popularitas dan warisan besar ini membuat publik otomatis menaruh ekspektasi tinggi pada sang anak, Jordi, bahkan sebelum ia benar-benar menembus tim senior. Di mata banyak penggemar, Jordi dianggap sebagai penerus alami sang ayah.
Jordi memulai karier profesional di Barcelona pada 1994 setelah berkembang di akademi klub tersebut. Sebagai pemain muda, ia cukup produktif dengan mencetak 11 gol dari 41 penampilan di semua kompetisi dalam 3 musim. Pada 1996, ia direkrut Manchester United, yang saat itu tengah berada di puncak kejayaan di bawah asuhan Sir Alex Ferguson. Namun, cedera dan persaingan ketat di skuad membuatnya sulit mempertahankan tempat di tim utama. Selama 4 musim di Old Trafford, ia hanya mencatat 34 penampilan di liga dan sering dipinjamkan ke klub lain demi mendapatkan waktu bermain.
Setelah meninggalkan Manchester United pada 2000, Jordi melanjutkan kariernya di Spanyol bersama Alavés, di mana ia mengalami salah satu momen terbaik dengan mencapai final Piala UEFA 2001 meski akhirnya kalah dramatis dari Liverpool. Ia kemudian bermain untuk Espanyol, Metalurh Donetsk di Ukraina, dan menutup kariernya di Valletta FC di Malta. Meski perjalanan panjang ini membawanya ke berbagai negara dan kompetisi, sorotan publik tetap membandingkannya dengan kejayaan sang ayah. Jordi akhirnya memutuskan untuk pensiun pada Juli 2010.
Fenomena anak pemain legenda yang menghadapi beban ekspektasi publik menunjukkan bahwa nama besar keluarga bisa menjadi pedang bermata dua. Dukungan dan koneksi memang membuka pintu awal, tetapi sorotan berlebihan kerap menambah tekanan yang memengaruhi perkembangan karier. Perjalanan mereka menjadi pengingat bahwa warisan sepak bola tidak selalu sejalan dengan kesuksesan di lapangan.