[WANSUS] Suwardi, Dari Buruh Gali Jadi Bintang Lewat Pertarungan MMA

Jakarta, IDN Times - Hidup seorang Suwardi berubah total hanya dalam kurun waktu dua tahun. Sejak kemunculannya dalam pentas mixed martial arts lokal, One Pride, Suwardi mendadak jadi bintang.
Suwardi memenangkan turnamen kelas terbang One Pride pada 2016 silam. Dia mengalahkan lawannya, Rengga Raphael Richard dalam tempo kurang dari semenit.
Usai jadi juara, Suwardi menjadi idola publik beladiri tanah air. Mendadak, popularitasnya meningkat.
Wajar, karena Suwardi merupakan jebolan dari perguruan pencak silat Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT). Selama ini, PSHT memang dikenal begitu solid dalam urusan persaudaraan antar anggotanya.
"Lur" begitu panggilan setiap warga PSHT. Ya, warga sebutannya, bukan anggota karena mereka merasa setiap rekan seperguruan sebagai keluarga dalam komunitasnya.
Setelah menyandang status juara nasional One Pride, Suwardi makin populer dan mulai berubah hidupnya.
IDN Times berkesempatan mewawancarai Suwardi secara khusus. Sudah kami wawancarai pula Si Becak Lawu (julukannya) secara live melalui akun instagram IDN Times, namun ada beberapa detail yang sengaja kami tanyakan secara langsung agar kamu tahu lewat artikel ini.
1. MMA begitu menjanjikan ya, sampai Anda akhirnya berubah kehidupannya dalam waktu singkat?

Tidak juga. Saya ingat, bagaimana ketika kami, angkatan lama, membangun MMA di Indonesia. Ini olahraga yang belum terlalu dikenal masyarakat, hingga akhirnya lahir One Pride yang jadi media kami berkompetisi.
Sebelumnya, MMA tak menjanjikan. Hidup di MMA belum bisa menjadi pencarian utama.
Harus pintar-pintar dalam mengatur roda ekonomi kalau mau bertahan di bidang ini. Bisa dibilang, lebih banyak biaya berobatnya ketimbang hadiahnya, di masa sebelum ada One Pride.
Sekarang berbeda. Kompetisi memberikan jaminan kepada petarungnya, dengan asuransi yang ada. Jadi, ya lumayan buat memutar roda ekonomi.
2. Jadi, gaji dengan berprofesi sebagai petarung itu besar?

Enggak bisa dibilang seperti itu juga. Kalau kita mengandalkan hanya dari pertarungan, sulit juga meningkatkan taraf hidup.
Petarung di Indonesia harus bisa jualan. Maksud saya, jual diri. Selera orang Indonesia kan suka dengan adanya perang urat saraf.
Hanya saja, harus diubah ke budaya orang Timur, khususnya Indonesia. Artinya, lebih sopan.
Buat apa? Supaya menarik, menjadi hiburan. Dengan demikian, orang-orang mau menonton kita bertarung, "benar enggak sih orang ini jago". Dari rasa penasaran itu, pasti kan banyak yang menonton.
3. Meniru Conor McGregor artinya ya?

Cuma kalau McGregor terlalu kasar. Seperti yang saya bilang, harus dimodifikasi supaya cocok dengan budaya orang Indonesia.
Bagaimana ya bilangnya, panas tapi sopan begitu loh. Jadi, enak jualannya.
Petarung ya begitu cara jualannya. Datar-datar saja, tak laku. Jadi, mau sukses jadi petarung, harus jago juga teknik pemasarannya. Jadi S3 Marketing lah.... hahahahahaha......
4. Mas Wardi fans banyak, jualan juga keren, artinya sudah cuan banyak dong?
Ya, Alhamdulillah. Kan kita harus bisa mengolah diri. Pemasukan tak cuma dari bertarung, tapi sponsor.
Media sosial, cara bicara di depan publik, lalu bagaimana membangun citra diri, itu penting bagi petarung dan atlet secara umum.
Sukses di MMA, mengandalkan gaji tarung saja tak cukup. Makanya, harus pintar juga jualan menarik sponsor. Di sana yang sebenarnya bisa membuat kami naik kelas.
5. Kita bicara kan sekarang, kalau dulu MMA bagaimana mas?
Dulu susah. Tak ada kompetisi jadi bikin kami sulit menyalurkan bakat. Gajinya juga kecil kalau ada pertarungan.
Ibaratnya yang tadi dibilang, lebih banyak habis buat berobat ketimbang pendapatan. Beli beras saja, dulu harus putar otak bagaimana caranya biar cukup.
Sekarang berbeda. Karena sudah ada medianya, ditayangkan di televisi nasional, tentu kan sponsor mau datang. Nah, kesempatan kami untuk berkembang dan menggerakkan roda ekonomi.
6. Kenapa mau jadi petarung mas? Toh, masih ada pekerjaan lain yang lebih aman dan nyaman

Sejak dulu, saya tak punya pilihan. Ijazah saya cuma sampai SMP. Tak ada kantor yang mau terima lulusan SMP.
Saya sudah coba berbagai pekerjaan. Jadi pedagang asongan pernah, tukang bakso, buruh gali.
Orang tua saya tak mampu menyekolahkan. Saya merantau demi bekerja, ke Sidoarjo, Madura.
Sampai akhirnya, saya merantau ke Jakarta. Ketemu teman, lalu diajak ke Mangga Besar, ada latihan Brazilian Jiu-jitsu kala itu.
Tertarik sih, karena kan suka beladiri. Tapi, saya tak punya uang kala itu. Wong penghasilan enggak sampai Rp200 ribu per bulan.
Pelatihnya malah bilang, jadi atlet saja. Nanti saya cari uang dari sana. ya sudah, terima.
7. Istri dan anak-anak setuju?
Suaminya dipukuli, pasti ada rasa khawatir juga dari istri. Bagaimana ya, diizinkan ya, tapi ada rasa tak rela juga. Itu wajar.
Anak juga sama. Lihat ayahnya dihajar di atas arena, pasti ada rasa yang tak enak di hati mereka. Cuma, ini pekerjaan saya. Hobi, nyaman, dan memang ini keahlian saya.
Tentu, setiap saat saya beri pengertian kepada mereka, apa yang dilakukan sekarang untuk keluarga. Berpikiran untuk berhenti, sudah ada. Sekarang, merancang masa depan agar tetap bisa terlibat di dunia yang sudah lama saya geluti, ditambah ada investasi pula dalam usaha.
Investasi itu penting pula buat atlet. Sebab, usia karier atlet tak panjang dan harus memikirkan masa depan.
8. Langsung cuan enggak sih saat meniti karier untuk pertama kali jadi petarung?

Saat itu MMA belum sepopuler sekarang. Yang saya katakan, kompetisinya jarang ada. Sekalinya ada, event kecil.
Jadi, kami harus punya pekerjaan tetap pula. Saya akhirnya bekerja juga di perkebunan kelapa sawit, di sekitaran Bogor.
Sebelum tampil di One Pride, saya hidup dari pekerjaan itu. Lalu, ada One Pride. Perlahan, mulai menemukan pola yang pas untuk hidup di sini.
Berlatih, kemudian jadi pelatih, dan akhirnya ketemu saja kenyamanan di sini. Akhirnya, saya memutuskan untuk fokus karena sudah mulai mendapatkan penghasilan yang cukup.
Perjuangannya tak mudah. Saya sudah banyak makan asam garam. Pekerjaan kasar apa pun sudah pernah diraih. Tak begitu saja bisa sukses.
9. Nah, kalau dilihat kan mas Wardi necis banget ketika tampil, yang lain juga begitu, terlihat kalau pekerjaan ini memang menjanjikan ya?

Terkadang boncos juga. Latihan kan butuh modal. Kami persiapan tarung harus ada nutrisi yang dipenuhi.
Misal beli vitamin, makanan sehat kan mahal juga, dan macam-macamnya. Kami juga pikirkan operasional tim. Makanya, harus pintar jualan.
Kami harus berjuang. Dari gaji bertarung saja sebenarnya tak cukup. Apalagi, bertarung ada jarak yang cukup jauh, misal tiga bulan sekali dan seterusnya.
Biasanya, petarung di Indonesia mengakalinya dengan menjadi pelatih di kamp.
10. Pandemik sudah setahun lebih, pastinya bisnis kamp MMA terganggu dong, kompetisi juga sempat berhenti. Bagaimana selama ini cara bertahannya?

Yah, benar sekali. Kami harus berjuang, putar otak bagaimana agar dapur tetap ngebul.
Pandemik bikin kami harus berkreasi seperti bikin kelas daring dan semacamnya. Namun, tetap saja beda atmosfernya.
Latihan langsung lebih efektif, peminat kelas daring tak terlalu banyak. Kompetisi juga baru beberapa bulan berjalan.
Kami bersyukur kompetisi bisa tetap jalan. Artinya, ada harapan. Belakangan sih mulai membaik karena kamp buka lagi dengan aturan ketat, dan ikuti protokol kesehatan.
11. Ada cara lain?
Saya selama ini jualan sayur. Ya, bikin usaha sayur organik. Dari sana saya bisa memutar roda ekonomi.
Kontrak iklan juga, sama sponsor. Pintar main di media sosial, jadi ada endorse masuk. Kalau saya, juga bangun akun YouTube belakangan ini. Jadi semua kembali ke petarungnya sendiri.
MMA memang terlihat menjanjikan, tapi harus kembali ke kemampuan petarungnya itu sendiri. Mereka harus berkembang, berjuang, memajukan MMA dan diri sendiri.