Kisah Dalian Atkinson, Pesepakbola Inggris yang Tewas di Tangan Polisi

- Dalian Atkinson mengantarkan Aston Villa menjuarai Piala Liga Inggris 1994
- Polisi memberikan tembakan Taser sebanyak tiga kali sebelum Dalian Atkinson meninggal
- Butuh waktu 6 tahun kasus Dalian Atkinson mendapat keadilan
Tragedi aparat represif berujung hilangnya nyawa manusia tak hanya terjadi di Indonesia. Fenomena serupa juga pernah mengguncang Inggris hampir 1 dekade lalu, di mana yang jadi korban adalah seorang mantan pemain sepak bola profesional bernama Dalian Atkinson yang sempat memerkuat Aston Villa.
Serupa dengan Indonesia, kematian Atkinson memicu kemarahan masyarakat Inggris karena melibatkan tindakan brutal aparat penegak hukum. Investigasi panjang selama 6 tahun mengungkap fakta mengejutkan di balik tewasnya sang mantan pemain. Proses hukum yang berlarut-larut memperlihatkan lemahnya akuntabilitas dalam sistem peradilan Inggris.
1. Dalian Atkinson mengntarkan Aston Villa menjuarai Piala Liga Inggris 1994
Dalian Atkinson memulai karier profesionalnya di Ipswich Town pada 1985 sebelum hijrah ke Sheffield Wednesday pada 1989. Penampilannya yang impresif membawanya ke Real Sociedad setahun kemudian, lalu ke Aston Villa pada 1991 dengan biaya transfer sekitar 2 juta euro (Rp38,5 miliar). Di Aston Villa, ia dikenal sebagai striker cepat, kuat, dan klinis yang menjadi mimpi buruk bagi bek lawan.
Momen paling ikonis dalam karier Atkinson terjadi pada 1992 ketika ia mencetak gol melawan AFC Wimbledon dan merayakannya dengan payung yang dikenal dengan umbrella goal, momen yang tetap abadi hingga sekarang. Dua tahun kemudian, ia menjadi bagian penting dari skuad Aston Villa yang mengalahkan Manchester United di final Piala Liga Inggris 1994. Ketajamannya di lapangan membuatnya dielu-elukan para penggemar, yang menjadikannya salah satu ikon klub tersebut.
Namun, kehidupan Atkinson setelah pensiun tidak seindah masa keemasannya. Ia mengalami kesulitan finansial, masalah kesehatan mental, dan isolasi sosial yang memperparah kondisinya. Diagnosis hipertensi dan gagal ginjal memaksanya menjalani perawatan dialisis rutin yang membuat kondisi kesehatannya semakin menurun menjelang Agustus 2016.
2. Polisi memberikan tembakan Taser sebanyak tiga kali sebelum Dalian Atkinson meninggal
Pada 15 Agustus 2016, Dalian Atkinson mendatangi rumah ayahnya di Kota Telford, Inggris, dalam keadaan mental yang terganggu. Ia berhalusinasi dengan menganggap dirinya Mesias dan bersikap tidak stabil yang dipicu masalah kesehatan dan akumulasi racun akibat gagal ginjal. Kekhawatiran keluarga mendorong adanya panggilan kepada polisi untuk menangani situasi tersebut.
Ketika dua petugas, Police Constable (PC) Benjamin Monk dan PC Mary Ellen Bettley-Smith, tiba di lokasi, situasi berubah menjadi tragis. Monk melepaskan tembakan taser pertama dan kedua yang tidak berefek, lalu melontarkan tembakan ketiga selama 33 detik, enam kali lebih lama dari standar penggunaan. Saat Atkinson terjatuh ke tanah, Monk menendang kepalanya dua kali dengan keras hingga meninggalkan bekas tali sepatu di dahinya, sementara Bettley-Smith memukulnya dengan tongkat.
Saksi mata mengungkapkan, Monk menendang kepala Atkinson seperti bola ketika ia sudah tidak berdaya. Tak lama setelah itu, Atkinson mengalami serangan jantung sekitar 90 menit kemudian dan meninggal dunia di rumah sakit pada pukul 02:45 pagi waktu setempat. Kematian ini memicu kemarahan publik dan menyoroti penggunaan kewenangan berlebihan aparat.
3. Butuh waktu 6 tahun kasus Dalian Atkinson mendapat keadilan
Proses hukum untuk mencari keadilan bagi Dalian Atkinson memakan waktu 6 tahun penuh. PC Benjamin Monk akhirnya divonis 8 tahun penjara pada Juni 2021 setelah terbukti bersalah atas dakwaan pembunuhan karena kelalaian. Putusan ini menjadi preseden buruk kepolisian Inggris selama 3 dekade terakhir ketika seorang polisi dijatuhi hukuman atas kematian seseorang saat bertugas.
Meski demikian, keluarga Atkinson menilai keadilan belum sepenuhnya ditegakkan. Mereka mengecam keterlambatan sistem peradilan yang memakan waktu bertahun-tahun, serta kegagalan mengatasi perilaku agresif dan pelanggaran integritas Monk yang seharusnya membuatnya dipecat jauh sebelum tragedi terjadi. Organisasi hak asasi manusia, INQUEST, juga menyoroti kegagalan negara dalam menangani masalah kesehatan mental saat berhadapan dengan aparat.
Data resmi INQUEST menunjukkan, orang kulit hitam lima kali lebih rentan mengalami kekerasan dari polisi dan tujuh kali lebih mungkin menjadi sasaran taser dibanding orang kulit putih. Kasus Atkinson menjadi representasi bagaimana rasisme struktural, pelatihan minim, dan lemahnya regulasi penggunaan senjata kekerasan berujung kepada tragedi. Berbagai pihak mendesak reformasi menyeluruh, termasuk peningkatan pelatihan de-eskalasi dan evaluasi penggunaan taser agar tidak ada lagi korban jiwa pada masa medatang.
Kasus Dalian Atkinson menyingkap brutalitas aparat yang merenggut nyawa tanpa proporsi. Reformasi sistemik menjadi keharusan agar tragedi serupa tak kembali terulang.