Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Jersey Ketiga dan Kekuatan Imajinasi Klub-Klub Sepak Bola

Sepak Bola.jpg
ilustrasi sepak bola (IDN Times/Mardya Shakti)
Intinya sih...
  • Jersey ketiga sebagai kanvas kreativitas klub dan perancangnya, bukan hanya soal warna alternatif, tapi juga alat untuk menyampaikan narasi dan nilai-nilai unik.
  • Perwujudan budaya dan warisan komunitas dalam desain jersey ketiga, merayakan budaya lokal dan sejarah komunitas tempat klub berasal.
  • Sumber pendapatan dan kontroversi komersial terkait jersey ketiga, menjadi salah satu alat utama klub untuk meningkatkan pemasukan dari pernak-pernik.

Dalam dunia sepak bola yang terus berkembang, jersey bukan lagi sekadar seragam pertandingan. Ia telah menjadi medium ekspresi visual yang membawa identitas, kreativitas, dan bahkan strategi bisnis. Jersey ketiga kini hadir bukan hanya untuk membedakan warna, melainkan juga mencuri perhatian publik.

Klub-klub besar berlomba menampilkan desain yang tak biasa, eksperimental, hingga mengejutkan. Jersey ketiga menjadi ruang bebas imajinasi, tempat klub sepak bola dan jenama olahraga meleburkan nilai sejarah dengan tren masa kini. Di balik desain yang unik, ada pesan, simbolisme, dan kadang kontroversi yang membuat jersey ketiga layak dibahas lebih jauh.

1. Desain eksperimental sebagai kanvas kreativitas

Dalam beberapa tahun terakhir, jersey ketiga telah menjadi medium ekspresi kreatif klub dan perancangnya. Bukan hanya soal warna alternatif, melainkan juga alat untuk menyampaikan narasi dan nilai-nilai unik. Misalnya, Nike merilis koleksi Together We Rise pada 2024/2025 dengan logo swoosh ditempatkan vertikal ganda sebagai penghormatan kepada kemajuan sepak bola perempuan.

Dilansir laman resminya, Nike bekerja sama erat dengan klub seperti Liverpool, Chelsea, dan Tottenham Hotspur untuk menghasilkan pola-pola khusus. Misalnya, tartan Chelsea yang memicu ingatan terhadap budaya punk Kings Road atau pola artistik Liverpool yang berasal dari figur perempuan pionir dalam musik punk. Pendekatan seperti ini menunjukkan, jersey ketiga telah melampaui fungsi utilitarian. Ketimbang sekadar pencegah bentrokan warna saat bertanding, kini tiap detail visual mengandung cerita. Bisa berkaitan dengan identitas gender, budaya lokal, atau momen sejarah klub. Desain ini juga dirilis bersama berbagai item lifestyle, seperti jaket dan celana santai, sehingga memosisikan jersey ketiga sebagai bagian dari narasi identitas klub secara lebih luas.

2. Perwujudan budaya dan warisan komunitas

Jersey ketiga makin sering dijadikan media untuk merayakan budaya lokal dan sejarah komunitas tempat klub berasal. Everton, misalnya, meluncurkan jersey ketiga pada 2024/2025 yang terinspirasi dari pertandingan bisbol bersejarah antara Chicago White Sox dan New York Giants yang digelar di Goodison Park pada 1924. Desainnya mengadopsi pola pinstripe khas bisbol dan warna klasik sehingga menghadirkan nuansa nostalgia sekaligus penghormatan terhadap warisan multiolahraga stadion tersebut.

Contoh lain datang dari Walthamstow FC, klub semiprofesional di Inggris yang berkolaborasi dengan William Morris Gallery untuk menciptakan jersey bernuansa seni dan kerajinan lokal. Jersey ini menampilkan pola artistik khas William Morris, tokoh desain abad ke-19 asal Walthamstow yang selama ini menjadi simbol warisan budaya kota tersebut. Kolaborasi ini menjadi yang pertama antara klub sepak bola dan museum dengan menampilkan karya seni abad ke-19 secara sublimasi teknik tinggi.

3. Sumber pendapatan dan kontroversi komersial

Sepak bola modern sangat dipengaruhi aspek komersial dan jersey ketiga kini menjadi salah satu alat utama klub untuk meningkatkan pemasukan dari pernak-pernik. Menurut Football Benchmark, pada 2023/2024, sepuluh besar sponsor dan penyedia apparel untuk liga-liga besar Eropa membayar total hingga 1,1 miliar euro atau sekitar Rp20 triliun untuk hak kontrak. Selain itu, dilansir ESPN, pendapatan global dari penjualan berbagai jersey, termasuk jersey ketiga, melonjak sekitar 60 persen sejak 2019 dan mencapai rekor pada 2023.

Namun, lonjakan komersialisasi ini tak selamanya diterima baik oleh fans. Sebuah tren baru menunjukkan, beberapa desain jersey ketiga menuai kritik karena dianggap terlalu diburu profit. Misalnya, jersey ketiga Manchester City pada 2021/2022 yang menuai kecaman karena desain dianggap tawar dan terlalu generik. Kritik semacam ini menunjukkan adanya risiko overkomersialisasi, yaitu keadaan saat klub dan sponsor terlalu fokus kepada penjualan dan meninggalkan elemen emosional atau estetis yang membuat fans merasa bangga.

4. Ajang eksperimen visual yang memicu perdebatan publik

Seiring berjalannya waktu, jersey ketiga telah berevolusi menjadi ruang eksplorasi visual yang nyaris tanpa batas. Klub-klub top Eropa tak lagi segan mengambil risiko estetika untuk tampil beda, bahkan jika itu berarti memicu perdebatan publik. Jersey ketiga kini berkembang menjadi laboratorium visual klub, tempat kreativitas dipertemukan dengan persepsi publik yang tajam.

Salah satu contoh paling menonjol adalah Arsenal yang bocoran jersey ketiga pada 2024/2025 memicu gelombang kritik karena warna biru muda yang sangat mirip dengan kebesaran Manchester City. Banyak fans The Gunners menanggapi dengan skeptis bahkan menolak memakainya karena desain tersebut dianggap seperti sebuah hukuman. Adidas selaku produsen akhirnya mengubah desain akhir menjadi nuansa ungu yang lebih gelap untuk menghindari sentimen negatif.

Kontroversi serupa terjadi di Celtic ketika mereka merilis jersey ketiga pada 2023/2024 dengan motif kamuflase sebagai penghormatan 30 tahun renovasi Celtic Park. Alih-alih disambut sepenuhnya positif, desain ini menuai respons beragam. Sebagian mengapresiasi keunikan desain, tetapi ada pula yang menganggap tampilannya menyerupai jersey Manchester City atau sulit dibedakan saat pertandingan berlangsung.

Kedua kasus ini mencerminkan dualitas peran jersey ketiga, baik sebagai medium inovasi desain dan alat komunikasi klub kepada publik. Namun, risiko besar muncul ketika persepsi fans bertabrakan dengan visi kreatif. Makin provokatif desainnya, makin tinggi intensitas diskusi, dan makin rentan bagi klub terhadap reaksi negatif. Fenomena ini menggarisbawahi pergeseran fungsi jersey ketiga, dari semula sebagai alternatif fungsional menjadi simbol kebebasan artistik sekaligus alat komunikasi visual klub kepada dunia. Namun ketika kebebasan itu berbenturan dengan nilai-nilai historis atau rivalitas klasik, jersey ketiga bisa berubah dari karya eksperimental menjadi sumber konflik identitas.

5. Jersey ketiga sebagai wujud kesadaran sosial dan inovasi berkelanjutan

Dalam beberapa musim terakhir, banyak klub menggunakan jersey ketiga untuk menunjukkan komitmen terhadap isu sosial dan lingkungan yang menggabungkan fesyen sepak bola dengan kepedulian. Swansea City menjadi contoh inspiratif lewat jersey ketiga pada 2023/2024 yang digarap bersama Joma dan Maggie’s Foundation. Desain dominan pink bertabur spot tersebut bukan hanya gaya, melainkan juga sebagai bagian dari kampanye Tackling Cancer Together. Warna dan pola mewakili berbagai jenis kanker dan sebagian hasil penjualan jersey disalurkan langsung kepada Maggie’s serta mendukung kesadaran publik seputar kanker.

Atlético Madrid juga meluncurkan jersey ketiga berwarna hijau yang dirancang sepenuhnya dari serat poliester daur ulang pada 2023/2024. Perilisan ini bagian dari inisiatif Move to Zero yang digagas Nike. Tak hanya menggunakan bahan ramah lingkungan, emblem pada jersey juga memanfaatkan limbah produk Nike sebelumnya.

Sementara itu, Forest Green Rovers, klub yang sudah dikenal sebagai klub vegan pertama di dunia, meluncurkan jersey ketiga pada 2023/2024 yang tidak hanya menggunakan 100 persen plastik daur ulang, tetapi juga bermitra dengan Sea Shepherd, organisasi penyelamat laut. Jersey ini mengangkat motif camo biru-hitam yang merepresentasikan kapal Sea Shepherd sekaligus menyertakan logo mereka di bagian depan.

Jersey ketiga dalam sepak bola telah menjelma sebagai ruang ekspresi yang mencerminkan identitas, inovasi, dan ideologi klub. Dari kanvas kreatif hingga simbol sosial, tiap desain menyimpan pesan yang melampaui garis lapangan. Meski tidak selalu diterima secara merata, jersey ketiga menunjukkan sepak bola bisa menjadi medium budaya yang dinamis dan penuh makna. Di balik tiap warna dan motif, ada narasi yang menunggu untuk dibaca.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Gagah N. Putra
EditorGagah N. Putra
Follow Us