Mengenal Analis Persija, Pemberi Sudut Pandang Baru

- Analis sepak bola menjadi elemen penting di tim, memberikan sudut pandang baru bagi pelatih.
 - Dzikry Lazuardi, analis Persija Jakarta, berasal dari Bandung dan memiliki latar belakang yang tidak terlalu berhubungan dengan dunia sepak bola.
 - Tantangan utama sebagai analis termasuk adaptasi setiap kali ada pergantian pelatih, serta melakukan berbagai jenis analisis untuk membantu tim dan pemain.
 
Jakarta, IDN Times - Dewasa ini, posisi analis jadi salah satu elemen penting di tim. Dia tak cuma sekadar menganalisis permainan, tetapi juga pemberi opsi atau sudut pandang bagi pelatih. Itu yang ada di Persija Jakarta sekarang.
Laiknya tim-tim lain di Super League, Persija kini memiliki analis di tim mereka. Uniknya, analis Persija ini adalah orang lokal. Bahkan, dia berasal dari Bandung, tempat klub rival Persija, Persib Bandung, bersemayam.
IDN Times berkesempatan untuk berbincang singkat dengan analis Persija yang bernama Dzikry Lazuardi ini. Berikut adalah kutipan bincang-bincang kami bersama dengan sosok Dzikry.
Awalnya, kenapa Mas Dzikry tertarik menjadi analis sepak bola?

Sejak kecil saya memang sudah suka sepak bola, Mas. Cuma mungkin jalannya bukan untuk jadi pemain. Tapi dari kecil saya juga hobi main Football Manager, itu salah satu yang menumbuhkan ketertarikan saya terhadap analisis sepak bola.
Banyak juga teman-teman saya sesama analis yang suka main FM. Dari situ, minat kami terhadap analisis sepak bola tumbuh. Kita belajar mengatur tim, melihat berbagai aspek permainan secara lebih dalam.
Saya juga sempat menulis soal taktik, dan biasa menulis hal-hal menarik, seperti alasan kenapa sebuah tim bisa menang, atau aspek taktik yang menonjol dari pelatih maupun pemainnya. Jadi saya ambil sisi menariknya lalu saya tulis.
Lalu bagaimana akhirnya Mas Dzikry bisa bergabung ke tim profesional?

Awalnya saya tidak punya latar belakang di dunia sepak bola, bukan dari keluarga bola, dan tidak punya kenalan juga. Saya mulai dari membaca dan menulis. Dari situ saya banyak menonton bola, menulis analisis, bahkan dulu sering bikin thread di Twitter.
Dari situ mulai kenal dengan orang-orang yang sudah bekerja di klub, jadi networking-nya terbuka. Saya juga pernah menghubungi beberapa orang untuk tanya tentang dunia analis. Sampai akhirnya ada yang menawarkan kesempatan pertama ke Sulut United.
Oh, jadi pertama di Sulut United ya? Lalu kapan mulai ke Persija?

Satu musim, musim 2021, setelah pandemik COVID-19, dan saya baru bergabung ke Persija pada tahun 2024, jadi baru musim kemarin. Saya juga tidak langsung pindah dari Sulut ke Persija.
Setelah dari Sulut saya ke Persipura (Liga 2), tapi liga berhenti karena tragedi Kanjuruhan. Kemudian saya ke Persis Solo di Liga 1 selama satu setengah musim, baru kemudian ke Persija lewat rekomendasi dari Coach Ricky Nelson.
Selama menjadi analis, tantangan terbesarnya apa?

Cukup banyak, terutama karena pekerjaan analis sangat bergantung pada pelatih. Alur kerja, metode, dan beban kerja tergantung dari pelatih masing-masing. Jadi setiap kali ganti pelatih, saya harus beradaptasi lagi. Itu tantangan utamanya.
Ada beberapa jenis analisis. Pertama, analisis tim sendiri, untuk mengevaluasi performa tim di pertandingan. Kedua, analisis lawan, menonton beberapa pertandingan terakhir mereka untuk tahu kekuatan dan kelemahan lawan.
Kemudian, ada analisis individu, untuk membantu pemain memperbaiki performa pribadi. Setelahnya, ada analisis latihan, untuk melihat perkembangan selama sesi latihan.
Kalau pelatih harus punya lisensi, apakah analis juga perlu lisensi?
Secara formal, di Indonesia belum ada lisensi khusus untuk analis. Tapi dalam regulasi liga, minimal harus punya lisensi pelatih B. Saya sendiri punya lisensi C. Untuk pengetahuan analisis, saya banyak belajar dari kursus luar negeri, seperti Inggris dan Spanyol yang memang fokus pada analisis sepak bola.
Saya juga sering baca tulisan-tulisan seperti Michael Cox di The Athletic. Sekarang juga banyak akun Twitter yang bahas taktik sepak bola, bahkan untuk liga lokal. Saya masih sering baca dan belajar dari situ.
Bagaimana cara Mas Dzikry berkomunikasi dengan pemain agar bisa menerima hasil analisis?

Kuncinya komunikasi dua arah. Sebelum memberi masukan, saya dengarkan dulu pendapat pemain , seperti kesulitannya di pertandingan, apa yang dirasakan di lapangan. Setelah itu baru saya tunjukkan video dan beri saran perbaikan.
Biasanya pemain bisa menerima dengan baik selama masuk akal dan sesuai dengan kenyataan di lapangan. Saya juga belum pernah menemukan yang menolak. Bedanya cuma ada yang aktif bertanya dan ada yang lebih pasif.
Kalau komunikasi dengan pelatih seperti apa?

Berkaca pada aktivitas saya musim lalu, dengan Coach Carlos Peña dan Coach Ricky Nelson, komunikasi sangat intens. Banyak diskusi, baik lisan maupun lewat video analisis yang ditampilkan ke pemain.
Untuk video analisis memang rutin, meskipun tidak selalu setiap minggu. Tergantung situasi — misalnya kondisi mental tim setelah hasil buruk juga jadi pertimbangan kapan waktu yang tepat untuk sesi analisis.
Kalau melihat perkembangan sepak bola Indonesia secara umum, bagaimana menurut Mas Dzikry?

Sudah ada progres. Sekarang makin banyak tim yang mulai punya gaya main yang jelas. Dulu belum terlihat struktur permainannya. Walaupun masih banyak juga tim yang sangat bergantung pada pemain asing sebagai kunci permainan.
Khusus bicara analis, di Elite Pro Academy juga mulai ada analis di beberapa tim. Sekarang sudah lebih banyak dari sebelumnya. Kami juga sering saling kenal dan ngobrol antar-analis, biasanya saat pertandingan.
Kalau melihat perkembangan dunia analis di Indonesia sekarang, menurut Mas Dzikry sudah berkembang?

Sudah. Jumlahnya makin banyak dan mulai dianggap penting. Harapannya ke depan, klub-klub bisa punya departemen analisis tersendiri seperti di Eropa — ada head analyst, team analyst, opposition analyst, bahkan set-piece analyst.
Jadi satu tim analisis bisa terdiri dari beberapa orang, dan semoga ke depan di Indonesia juga berkembang ke arah itu, biar ekosistemnya makin baik dan peluang kerjanya makin banyak.
















