Apakah AI Diam-diam Bikin Polusi dan Merusak Lingkungan?

- AI membutuhkan energi listrik dalam jumlah besar, menyumbang emisi karbon global yang meningkat.
- AI menyerap banyak air untuk pendingin server, mengakibatkan kelangkaan air dan pencemaran kualitas air.
- Penambangan bahan dari perangkat keras AI merusak lingkungan, serta limbah elektroniknya mencemari tanah dan air.
Kecerdasan buatan atau AI (Artificial Intelligence) makin hari makin canggih. Dari chatbot seperti ChatGPT, Gemini, sampai Deepseek, semuanya menawarkan kecanggihan AI. Karena kecanggihannya, teknologi ini seakan semakin melekat dalam kehidupan sehari-hari manusia. Namun, di balik itu, AI juga menyimpan dampak buruk yang ia tinggalkan. Salah satunya ialah pencemaran lingkungan.
Sekilas, AI memang tidak terlihat berbahaya karena wujudnya tidak mencemari udara seperti dari asap rokok. Atau, ia tidak terlihat melakukan pencemaran suara seperti dari kebisingan knalpot brong. Tapi faktanya, teknologi ini diam-diam mengonsumsi energi dalam jumlah besar, membutuhkan air untuk mendinginkan server, dan berkontribusi terhadap emisi karbon global. Mengejutkan, ‘kan? Yuk, simak penjelasan lengkap dampak buruk AI terhadap lingkungan berikut!
1. AI membutuhkan energi listrik yang sangat besar

Salah satu hal yang paling mencolok dari dampak AI terhadap lingkungan adalah tingginya konsumsi energi listrik. Sebagian besar penerapan AI berskala besar ditempatkan di pusat data, termasuk yang dioperasikan oleh penyedia layanan cloud. Sentral data tersebut membutuhkan energi yang sangat besar untuk dapat mengoperasikan seluruh sistem AI.
Di banyak tempat, pusat data AI ini masih menggunakan energinya bersumber dari pembakaran bahan bakar fosil. Alhasil, gas rumah kaca pun dapat meningkat. Inilah salah satu penyumbang utama pemanasan global. Diketahui, pemanasan global dapat mengakibatkan beberapa masalah seperti kenaikan suhu bumi atau perubahan iklim ekstrem.
Dikutip UNEP, IEA (Badan Energi Internasional) melaporkan kalau satu kali permintaan ke ChatGPT bisa mengonsumsi listrik hingga 10 kali lebih besar dibandingkan pencarian di Google. Jadi, semakin sering AI digunakan oleh jutaan orang di seluruh dunia, semakin besar pula jejak karbon yang dihasilkan. Menurut penelitian pada 2019 dari Universitas Massachusetts, memperkirakan melatih satu model AI besar akan menghasilkan sekitar 626.000 pon karbon dioksida. Hasil tersebut hampir setara dengan 300 kali penerbangan pulang-pergi New York ke San Francisco. Bahkan, jumlah tersebut dianggap lima kali lebih besar dari emisi karbon yang dikeluarkan oleh mobil.
2. AI menyerap banyak air

Pusat data atau ibarat otak AI adalah tempat penyimpanan ribuan server untuk dapat dijalankan sepanjang waktu. Untuk menjaga suhu mesin tetap stabil dari komponen elektronik di dalamnya, pusat data memerlukan air pendingin dalam jumlah besar. Pada 2022, Microsoft mengonsumsi air mencapai hampir 1,7 miliar galon (6,4 miliar liter), yang sebagian besar disebabkan oleh operasi AI-nya yang terus berkembang. Dilansir solveo, para peneliti memperkirakan jika setiap 20 hingga 50 perintah kata yang diberikan kepada chatbot seperti ChatGPT akan menghabiskan 500 mililiter air. Konsumsi air dalam skala besar juga bisa memperburuk kelangkaan air, terutama di wilayah yang akses air bersihnya sudah terbatas.
Konsumsi air untuk sistem pendingin dalam jumlah besar tersebut sebagian besar akan dibuang menjadi limbah. Air yang sudah terkontaminasi dengan bahan kimia seperti logam berat dan polutan lainnya ini akan mencemari kualitas air jika tidak diolah dengan benar. Selain itu, kualitas tanah menjadi buruk jika air tersebut diserap.
3. Penambangan dari perangkat keras AI yang bisa merusak lingkungan

Suatu model AI membutuhkan microchip untuk dapat berjalan. Untuk membuatnya, perangkat keras tersebut butuh elemen logam tanah jarang yang sering ditambang dengan cara yang merusak lingkungan, sebagaimana yang diungkap Navigating New Horizons. Penambangan bahan tersebut bisa menyebabkan pencemaran air, kerusakan ekosistem, dan limbah beracun.
AI juga bergantung pada perangkat keras lainnya seperti server. Proses pembuatan, pengangkutan, perawatan, hingga pembuangan perangkat tersebut memerlukan energi tambahan serta menghabiskan banyak bahan dan sumber daya alam, seperti kobalt, silikon, emas, dan logam lainnya. Jika semakin canggih, AI akan membutuhkan peningkatan dan penggantian perangkat keras secara berkala. Artinya, perangkat sebelumnya tadi yang sudah menumpuk, bisa menjadi limbah elektronik jika tidak didaur ulang dengan benar. Bahan dari limbah elektronik ini dapat mencemari tanah dan air di sekitarnya.
Jadi, meski AI terlihat bersih karena tidak mengeluarkan asap atau suara, kenyataannya ia memiliki dampak nyata terhadap lingkungan. Konsumsi energi, air, hingga pencemaran limbah elektronik perlu jadi perhatian serius. Bahkan, pertumbuhan AI saat ini sudah sangat meningkat.