Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Benarkah Satu Kueri ChatGPT Setara dengan Seperlima Belas Sendok Teh Air?

tampilan ChatGPT (unsplash.com/Solen Feyissa)
Intinya sih...
  • Sam Altman mengungkapkan bahwa satu kueri ChatGPT hanya mengonsumsi sekitar seperlima belas sendok teh air, menjawab rasa penasaran publik tentang konsumsi energi dan sumber daya yang digunakan AI.
  • AI membutuhkan air dalam jumlah signifikan untuk menjaga suhu pusat data yang mendukung operasionalnya, menunjukkan dampak nyata AI terhadap lingkungan meskipun berwujud digital.
  • Klaim efisiensi sumber daya AI perlu dilihat secara hati-hati karena konsumsi air bisa bergantung pada lokasi pusat data, teknologi pendingin, dan beban kerja model yang dijalankan.

Listrik dan air merupakan kebutuhan dasar (basic needs) yang wajib dipenuhi oleh setiap individu, rumah tangga, hingga perusahaan teknologi berskala global. Tak mengherankan jika keduanya selalu tercantum dalam daftar biaya overhead yang tidak bisa dihindari, baik untuk mendukung aktivitas operasional sehari-hari maupun menjaga stabilitas sistem dan infrastruktur. Namun, pernahkah kamu membayangkan bahwa satu pertanyaan sederhana yang kamu ajukan ke ChatGPT ternyata bisa diukur dari seberapa sedikit air yang digunakan yakni hanya sekitar seperlima belas sendok teh saja?

Hal ini diungkapkan langsung oleh CEO OpenAI, Sam Altman, dalam sebuah tulisan di blog pribadinya yang membahas proyeksi masa depan kecerdasan buatan. Dalam narasinya, Sam Altman menyatakan bahwa rata-rata satu interaksi dengan ChatGPT hanya mengonsumsi sekitar 0,000085 galon air atau setara seperlimabelas sendok teh air. Sekilas terdengar remeh, tetapi justru membuka mata kita tentang sisi tersembunyi dari kebutuhan sumber daya dalam pengoperasian teknologi AI yang sudah menjadi bagian dari keseharian. Lantas, benarkah AI memang membutuhkan listrik dan air dalam jumlah signifikan? Kemudian, apakah klaim bahwa penggunaannya begitu efisien bisa dibenarkan? Mari kita telusuri lebih jauh.

1. Altman menyampaikan angka tersebut untuk menjawab rasa penasaran publik tentang konsumsi energi dan sumber daya yang digunakan AI

Sam Altman bersama Alex Cory, Co-Founder HackingEDU (commons.wikimedia.org/Alexlcory)

Perbincangan ini bermula dari salah satu unggahan blog pribadi Sam Altman yang berjudul The Gentle Singularity. Dalam tulisan tersebut, Altman menyebut bahwa rata-rata satu pertanyaan yang diajukan ke ChatGPT mengonsumsi sekitar 1/15 sendok teh air. Klaim itu ia sampaikan sebagai bagian dari refleksi yang lebih luas mengenai bagaimana kecerdasan buatan akan membentuk masa depan umat manusia.

“Banyak orang penasaran berapa banyak konsumsi energi yang digunakan untuk satu kueri ChatGPT. Secara rata-rata, dibutuhkan sekitar 0,34 watt-jam atau kira-kira setara energi yang digunakan oven selama lebih dari satu detik, atau lampu hemat energi selama beberapa menit. Selain itu, tiap kueri juga diperkirakan menggunakan sekitar 0,000085 galon air yang jika dikonversi menjadi sekitar 0,065 sendok teh atau kira-kira seperlima belas sendok teh,” tulis Altman dalam blognya. Ia juga menambahkan bahwa, “biaya kecerdasan pada akhirnya akan mendekati biaya listrik itu sendiri.” Namun, seperti dilaporkan oleh The Verge pada 13 Juni 2025, OpenAI belum memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai asal-usul perhitungan tersebut.

Masyarakat semakin sadar bahwa di balik tampilan chatbot yang sederhana dan responsif, terdapat jaringan infrastruktur yang sangat rumit. Meski angka konsumsi energi dan air yang disebut Altman terkesan kecil, pernyataan ini sebenarnya merupakan upaya menyederhanakan dan menyampaikan dampak lingkungan dari AI dalam satuan yang mudah dimengerti oleh masyarakat luas. Melalui paparan angka-angka yang spesifik dan terukur, Altman tampaknya ingin menenangkan kekhawatiran masyarakat tentang jejak ekologis AI.

Pernyataan seperti ini dapat membentuk persepsi bahwa kecerdasan buatan bisa dijalankan secara efisien dan ramah lingkungan. Namun, hal ini juga memunculkan pertanyaan lain soal apakah angka tersebut benar-benar mewakili realitas secara keseluruhan? Sudahkah data yang disampaikan transparan dan dapat dipertanggungjawabkan? Sebab, di balik setiap angka yang tampak sederhana, selalu ada kompleksitas yang menyertainya.

2. Pernahkah kamu bertanya-tanya, mengapa AI membutuhkan air?

ilustrasi segelas air (unsplash.com/Manki Kim)

Pertanyaan ini memang tidak sepenuhnya keliru. Manusia sebagai makhluk hidup jelas membutuhkan air untuk bertahan hidup. Melansir Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM, dalam menentukan nilai pedoman dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) diasumsikan bahwa konsumsi air minum per kapita harian adalah sekitar 2 liter untuk orang dewasa meski jumlah aktualnya sangat bergantung pada iklim, aktivitas fisik, dan pola makan. Berdasarkan data yang tersedia, volume minimum air minum yang direkomendasikan adalah 5,3 liter per orang per hari. Volume ini cukup untuk menjaga hidrasi dalam berbagai kondisi.

Beberapa kelompok masyarakat bahkan memiliki kebutuhan yang lebih spesifik, seperti anak-anak, wanita hamil atau menyusui, lansia, pasien yang menderita penyakit serius, hingga atlet dan mereka yang berpuasa di cuaca panas. Semua itu menunjukkan bahwa air adalah elemen fundamental bagi keberlangsungan fungsi biologis manusia. Menariknya, prinsip dasar ini ternyata juga berlaku dalam dunia digital.

Meskipun AI adalah entitas digital, sistem yang mendukungnya tetap berwujud fisik dan membutuhkan energi dalam jumlah besar. Untuk mengoperasikan ChatGPT, misalnya, diperlukan ribuan server yang aktif tanpa henti di pusat data (data center) selama 24 jam setiap hari. Server ini menghasilkan panas dalam jumlah besar akibat proses komputasi intensif sehingga membutuhkan pendinginan konstan. Air memegang peranan krusial dalam menjaga suhu pusat data, baik digunakan secara langsung melalui sistem pendingin evaporatif maupun melalui sistem HVAC (pemanas, ventilasi, dan pendingin udara) yang menggunakan cairan sebagai media pendingin.

Dengan kata lain, meski AI hanya terlihat sebagai rangkaian teks di layar, dampaknya terhadap lingkungan sungguh nyata. Air kini tak hanya menjadi sumber kehidupan, tetapi juga telah menjelma sebagai “energi tersembunyi” yang menopang roda ekonomi digital masa kini. Semakin banyak orang menggunakan AI seperti ChatGPT, semakin besar pula kebutuhan air yang tersembunyi di balik layar sebagai penyeimbang panas, sebagai pelumas infrastruktur, dan sebagai simbol bahwa dunia digital tetap tidak bisa lepas dari dunia fisik. Inilah kenyataan ironis di era sekarang, di mana teknologi yang tampaknya tak berwujud ternyata tetap menuntut konsumsi sumber daya alam yang besar.

3. Apakah klaim ini akurat atau sekadar berdasar asumsi?

ilustrasi sendok teh (unsplash.com/Mark Owen Wilkinson Hughes)

Pernyataan Altman tentang penggunaan seperlima belas sendok teh air per satu kueri memang terdengar presisi. Namun, sayangnya pernyataan itu tidak disertai dengan sumber atau metodologi pengukuran yang jelas. Ini memunculkan pertanyaan besar soal apakah angka tersebut berasal dari riset internal OpenAI, estimasi berbasis data operasional pusat data, atau sekadar narasi simbolik untuk menenangkan kekhawatiran publik? Dalam dunia sains dan teknologi, transparansi metodologis sangat krusial terutama jika data tersebut digunakan untuk memperkuat klaim tentang efisiensi dan keberlanjutan teknologi mutakhir seperti AI.

Sebagai perbandingan, laporan investigatif The Washington Post menyebut bahwa membuat email sepanjang 100 kata dengan GPT-4 bisa menghabiskan air setara satu botol penuh. Estimasi tersebut jauh lebih besar dibanding klaim Altman sejakigus menunjukkan bahwa konsumsi air AI bisa sangat bergantung pada berbagai faktor. Mulai dari lokasi pusat data, jenis teknologi pendingin yang digunakan, hingga seberapa intens beban kerja model yang sedang dijalankan. Ketidaksamaan data ini mempertegas bahwa klaim tentang efisiensi sumber daya AI perlu dilihat secara hati-hati dan tidak bisa digeneralisasi begitu saja.

Mungkin niat Sam Altman adalah memberi gambaran ringan tentang efisiensi AI agar publik tidak terlalu cemas. Namun, justru angka yang terlalu kecil berisiko menimbulkan skeptisisme. Di era digital yang makin tak kasat mata, publik butuh lebih dari sekadar angka impresif. Mereka juga butuh kejelasan soal transparansi data, akuntabilitas perusahaan, dan pemahaman secara komprehensif tentang bagaimana AI bekerja menjadi kunci agar masyarakat bisa menilai secara objektif dampak lingkungan teknologi yang mereka gunakan setiap hari. Kita tak sedang bicara soal sendok teh semata, tetapi tentang keberlanjutan digital dalam skala global.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Kidung Swara Mardika
EditorKidung Swara Mardika
Follow Us