Pilih Jalan dari Google Maps atau Saran Penduduk Lokal? Ada Plus Minus

- Mobil BMW terjun dari tol Krian-Gresik karena pengemudi mengikuti arahan Google Maps
- Google Maps menyediakan alternatif rute, tapi tidak menjamin keamanan dan kenyamanan berkendara
- Kombinasi petunjuk digital dan intuisi manual serta saran penduduk lokal dapat meminimalisir risiko kesalahan arah
Baru-baru ini, sebuah peristiwa mengejutkan terjadi di ruas Tol Krian–Gresik (KLBM), Jawa Timur. Sebuah mobil BMW dilaporkan terjun dari ujung tol yang belum tersambung, diduga karena sang sopir mengikuti petunjuk dari aplikasi Google Maps. Peristiwa ini terjadi pada Sabtu (5/4/2025) pukul 22.00 WIB yang mana penumpang mobil BMW itu adalah warga Sememi dan Wiyung, Surabaya yaitu MRH (62) dan ESW (48). Beruntung, dua penumpang di dalam mobil tersebut selamat meski mengalami luka ringan.
Dikutip Suara Surabaya, Kanit Kamsel Satlantas Polres Gresik, Ipda Andreas Dwi Anggoro, menjelaskan bahwa kendaraan datang dari arah selatan, hendak keluar melalui exit tol Bunder. Namun, pengemudi diduga salah jalur setelah mengikuti arahan dari Google Maps, yang justru mengarahkannya ke ruas tol KLBM yang belum selesai pengerjaannya. Alhasil, kendaraan masuk ke jalur yang salah.
Andreas menambahkan, meskipun ruas tol yang belum tersambung tersebut telah ditutup dengan water barrier beton, masih terdapat celah kecil yang biasa digunakan oleh kendaraan operasional tol. “Kemungkinan karena mengikuti arahan Google Maps, pengemudi memaksakan untuk masuk ke ruas tol yang belum selesai ini,” ujarnya.
Melansir CNN Indonesia, Kasat Lantas Polres Gresik, AKP Rizki Julianda menambahkan keterangan bahwa mobil tersebut kemudian menerobos barrier karena diarahkan Google Maps untuk terus lurus. Padahal ujung tol itu belum terhubung dan seharusnya tidak dilewati. Akibatnya, mobil terjun sejauh 12 meter dan melewati dua ruas jalan di bawahnya.
Kasus kecelakaan di ruas Tol Krian–Gresik (KLBM) benar-benar membuka mata soal sekelumit pertanyaan yang sering pengemudi hadapi di jalan. Apakah harus mengikuti jalan dari Google Maps atau saran penduduk lokal? Jawabannya tak sesederhana memilih salah satu. Pasti ada plus dan minusnya. Yuk, mari dibahas satu persatu!
1. Google Maps biasanya menawarkan beberapa pilihan rute termasuk jalur tercepat dan terpendek

Saat menggunakan Google Maps, pengguna sering kali disuguhkan dengan beberapa alternatif rute yang bisa dipilih sesuai kebutuhan. Ada yang disarankan karena waktu tempuhnya paling cepat, ada pula yang menempuh jarak paling pendek, meskipun kadang lebih padat. Fitur ini sangat berguna, terutama bagi pengemudi yang sedang terburu-buru atau ingin menghindari jalur macet. Bahkan, Google Maps biasanya menyematkan informasi tentang estimasi waktu sampai ke tujuan, jarak tempuh, dan warna indikator lalu lintas yang membantu pengambilan keputusan.
Namun, pilihan yang beragam ini tidak selalu menjamin pengalaman berkendara yang aman atau nyaman. Misalnya, rute tercepat kadang justru melewati jalan sempit, permukiman, atau jalur yang kurang familiar bagi pengemudi dari luar daerah. Rute terpendek juga tidak selalu berarti yang terbaik, karena bisa saja melewati jalan rusak, tergenang air, atau rawan kecelakaan. Maka dari itu, penting bagi pengguna untuk tidak hanya mengandalkan saran sistem, tetapi juga mempertimbangkan aspek lain seperti keamanan dan kondisi fisik jalan.
2. Sayangnya, Google Maps tidak selalu update terhadap kondisi di lapangan

Meskipun Google Maps dikenal memiliki teknologi pemetaan dan pelacakan yang canggih, namun aplikasi ini tetap memiliki keterbatasan dalam memperbarui informasi secara real-time. Dalam beberapa kasus, seperti jalan yang ditutup sementara karena proyek pembangunan, atau ruas tol yang belum rampung sepenuhnya, Google Maps bisa saja belum mengakomodasi perubahan tersebut. Akibatnya, pengguna bisa diarahkan ke jalan yang secara teknis tidak bisa dilalui atau bahkan berbahaya.
Keterlambatan pembaruan ini menjadi risiko tersendiri, terutama di wilayah yang infrastruktur jalannya masih dalam proses atau sering berubah. Kejadian mobil BMW yang terjun dari ujung Tol Krian–Gresik merupakan salah satu contoh nyata ketika navigasi digital gagal menyesuaikan diri dengan kondisi sebenarnya. Hal ini menjadi pengingat bahwa seakurat apa pun aplikasi navigasi tetap membutuhkan validasi dari pengamatan langsung di lapangan.
3. Banyak pengguna terlalu bergantung hingga mengabaikan insting seperti barrier atau papan penunjuk jalan

Di era serba digital ini, banyak pengendara cenderung terlalu percaya pada petunjuk yang diberikan aplikasi navigasi. Mereka mengikuti instruksi suara atau panah di layar tanpa mempertimbangkan tanda-tanda fisik di jalan, seperti barrier beton, papan rambu, atau bahkan kondisi jalan yang jelas tidak layak dilewati. Ketika terlalu fokus pada layar Google Maps, pengemudi bisa melewatkan hal-hal penting yang justru menjadi penentu keselamatan.
Kebergantungan ini kadang menciptakan situasi yang tidak logis namun tetap diikuti, seperti menembus pembatas jalan hanya karena "Google Maps bilang lurus terus." Padahal, jika insting dan pengamatan digunakan secara bersamaan, keputusan seperti itu bisa dihindari. Navigasi digital memang membantu, tetapi tetap butuh keseimbangan antara kewaspadaan manual dan logika berkendara.
4. Penduduk lokal tahu jalan pintas dan kondisi lapangan yang sebenarnya

Berbeda dengan teknologi yang mengandalkan data satelit dan algoritma, penduduk lokal mengandalkan pengalaman langsung dan pemahaman kontekstual. Mereka tahu persis mana jalan yang sering macet saat jam-jam tertentu, mana jalan pintas yang bisa dilewati untuk menghindari perempatan padat, bahkan mana jalan yang sebaiknya dihindari saat hujan deras. Pengetahuan seperti ini tidak selalu bisa ditangkap oleh sistem digital.
Keunggulan lain dari penduduk lokal adalah mereka tahu nuansa kecil yang kadang luput dari peta. Misalnya, tahu bahwa di tikungan tertentu sering terjadi kecelakaan, atau bahwa ada pos penjagaan yang tidak bisa dilalui kendaraan tertentu. Ketika bertanya langsung, biasanya mereka juga mempertimbangkan jenis kendaraan yang digunakan dan keperluan pengemudi, sehingga arahannya lebih spesifik.
5. Risiko salah dengar dan kendala dialek menjadi penghalang karena bisa saja pengemudi salah menangkap arah yang dimau Google Maps

Saat menggunakan Google Maps menggunakan mode suara, kadang terjadi miskomunikasi antara pengguna dan instruksi yang diberikan aplikasi. Suara "belok kiri" bisa terdengar seperti "lurus terus" jika kondisi di sekitar bising atau volume terlalu rendah. Apalagi kalau pengemudi sudah merasa panik atau tergesa-gesa, potensi salah tangkap arah semakin besar. Hal ini juga bisa terjadi saat menafsirkan tampilan visual di layar, terutama di jalan bercabang atau bundaran.
Masalah yang sama juga bisa muncul saat bertanya pada warga lokal, terlebih jika terdapat perbedaan dialek yang signifikan. Penjelasan lisan kadang tidak mudah ditangkap atau membingungkan, terutama jika menggunakan istilah lokal atau penunjuk arah non-standar seperti "belok di pohon mangga, lurus sampai ketemu warung bu Rini." Jika pengemudi tidak familier dengan konteks tersebut, maka arah yang dimaksud bisa disalahartikan dan membuat semakin nyasar.
6. Tidak semua penduduk lokal familiar sama rute yang diberikan oleh Google Maps

Meskipun penduduk lokal memiliki pemahaman tentang wilayah sekitar, tidak semuanya paham terhadap cara Google Maps menentukan rute. Kadang mereka bingung saat pengemudi menunjukkan jalur di aplikasi yang tampak asing bagi mereka. Bisa jadi jalur tersebut memang tidak umum digunakan warga sekitar karena dinilai tidak praktis atau malah berbahaya, tetapi aplikasi tetap menampilkannya sebagai jalur tercepat.
Selain itu, penduduk lokal biasanya hanya mengetahui area yang sering mereka lewati, bukan seluruh wilayah secara menyeluruh. Maka ketika dimintai bantuan arah menuju lokasi yang cukup jauh atau terpencil, mereka bisa saja tidak tahu atau justru memberikan arah seadanya. Ini bukan karena mereka tidak ingin membantu, tapi memang keterbatasan pengetahuan lokal tetap ada, apalagi jika rute yang ditanya tidak biasa dilewati warga setempat.
Melalui penjelasan di artikel ini, baik jalan dari Google Maps atau saran penduduk lokal, idealnya pengemudi tidak hanya bergantung sepenuhnya pada aplikasi navigasi seperti Google Maps, tetapi juga mengimbanginya dengan kepekaan terhadap kondisi di lapangan serta mempertimbangkan saran dari warga sekitar. Gunakan Google Maps sebagai panduan utama, tapi tetap waspada terhadap kondisi jalan dan rambu-rambu di sekitar. Bila ragu, jangan malu untuk bertanya ke penduduk lokal. Apalagi, di daerah yang belum sering kita lewati.
Kombinasi antara petunjuk digital dan intuisi manual akan membantu meminimalisir risiko kesalahan arah yang bisa berujung pada kecelakaan atau kejadian yang tak diinginkan. Jangan biarkan aplikasi mengalahkan naluri keselamatan kita. Kalau terlihat berbahaya, lebih baik berhenti sejenak dan cari jalur lain yang lebih aman. Kalau kamu pernah punya pengalaman unik atau nyasar karena Google Maps, boleh banget share di kolom komentar, ya!