10 Culture Shock Orang Jawa Liburan ke Bali, Kamu juga Merasakan?

Liburan ke Bali memang menjadi impian banyak orang, termasuk yang berasal dari Pulau Jawa. Meski masih sama-sama di Indonesia dan lokasi pulaunya berdekatan, ada beberapa hal di Bali yang bikin orang Jawa mengalami culture shock. Pengalaman seru inilah yang membuat liburan ke Bali makin berkesan dan penuh cerita.
Perbedaan budaya ini tak selalu membuat bingung, justru menjadi bagian dari petualangan baru. Kalau kamu orang Jawa yang baru pertama kali ke Bali, siap-siap merasakan sensasi yang berbeda dari biasanya. Berikut beberapa culture shock yang sering dirasakan orang Jawa saat liburan ke Bali.
1. Banyak anjing bebas berkeliaran

Saat menginjakkan kaki di Bali, kamu pasti sering melihat anjing-anjing berkelian bebas di banyak tempat, termasuk di jalanan, kawasan rumah warga, pantai-pantai, dan berbagai tempat wisata.
Tak perlu takut, karena sebagian besar anjing-anjing di Bali sudah terbiasa dengan kehadiran manusia dan tak akan mengikutimu ke mana pun kamu pergi. Anjing-anjing liar di Bali pun terlihat berbeda dari anjing dengan ras tertentu.
Hal ini disebabkan karena banyaknya perkawinan ras yang terjadi antar anjing liar. Hal ini seringkali bikin orang shock, karena pemandangan ini tak akan dijumpai atau jarang dijumpai di Jawa.
Pasalnya, penduduk Jawa mayoritas muslim. Anjing yang keluar dari rumah harus bersama pemiliknya, tidak dibiarkan berkeliaran sendiri seperti di Bali.
2. Suara azan

Berbeda dengan Jawa, kamu akan jarang mendengar suara azan di Bali. Tentu saja hal ini disebabkan karena mayoritas masyarakat Bali memeluk agama Hindu.
Namun, bukan berarti suara azan tak ada sama sekali. Di beberapa area yang penduduknya mayoritas Islam, masih akan terdengar suara azan.
Mengutip dari situs resmi Kementerian Agama, terdapat beberapa kampung Islam di Bali, yakni Kampung Gelgel di Klungkung, Kampung Loloan di Jembrana, Kampung Pegayaman di Buleleng, dan Kampung Kecicang Islam di Karangasem.
Masyarakat Bali terkenal menjunjung tinggi toleransi beragama. Saat Idulfitri, biasanya pecalang ikut membantu menjaga tertibnya Salat Id. Sebaliknya, setelah Nyepi, umat muslim biasanya mengantarkan makanan sebagai ungkapan berbahagia.
3. Alkohol dijual bebas

Di Bali, kamu akan menemukan alkohol dengan mudah di mana pun. Mulai dari warung kecil di pinggir jalan, minimarket, supermarket, restoran, kafe, bar, pub, club, hingga beach club.
Terdapat beberapa alasan terkait hal tersebut. Selain karena tingginya wisatawan domestik dan mancanegara, masyarakat Bali juga punya budaya minum yang cukup kuat. Terutama saat ada acara adat atau istimewa lainnya.
Mantan Gubernur Bali, I Wayan Koster, pun pernah mengeluarkan aturan yang melegalkan minuman fermentasi khas Bali, seperti tuak, arak, dan brem, pada 2020. Menurut dia, kebijakan tersebut dikeluarkan, karena komoditas minuman fermentasi khas Bali ini dianggap bagian dari sumber keragaman budaya yang patut dilindungi.
4. Tempat hiburan lebih beragam

Bukan Bali namanya kalau tak punya berbagai jenis tempat hiburan malam. Salah satu tempat hiburan yang jarang ada di Jawa adalah beach club. Bali dikelilingi pantai cantik, sehingga mendukung pertumbuhan beach club di beberapa wilayah, seperti di Seminyak, Canggu, Kuta, Jimbaran, hingga Uluwatu.
Tak main-main, beach club di Bali pun kerap mengundang DJ internasional atau penyanyi papan atas untuk memeriahkan tempat mereka. Di Jawa, sih, masih jarang banget, ya.
5. Suasananya lebih gelap saat malam hari

Meski banyak tempat hiburan malam, tetapi jalanan beberapa kawasan di Bali terlihat gelap saat malam hari. Sebab, lampu penerangan jalan umum di Bali tak sebanyak dan seterang di Jawa.
Apalagi di wilayah yang tidak terlalu ramai turis, seperti di kawasan Bali Utara. Alasannya karena perkembangan wisata di Bali masih terpusat di bagian selatan, sehingga masih belum banyak pembangunan di bagian utara.
6. Adat dan tradisi agama

Bali dikenal dengan agama dan tradisi Hindu yang sangat kuat, tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Setiap hari, masyarakat Bali melakukan ritual persembahan yang dikenal sebagai "canang sari," yang dipersembahkan di pura, rumah, dan tempat umum lainnya.
Bagi orang Jawa yang mayoritas beragama Islam, pemandangan ini mungkin sangat berbeda dari tradisi keagamaan yang mereka biasa lakukan, seperti salat berjamaah di masjid. Selain itu, orang Jawa mungkin merasa terkejut melihat banyaknya upacara keagamaan yang diadakan secara rutin di Bali, termasuk Galungan, Kuningan, dan Nyepi yang semuanya melibatkan prosesi besar dan libur nasional.
Upacara-upacara keagamaan ini juga bisa mempengaruhi kehidupan sehari-hari di Bali, seperti penutupan jalan untuk prosesi keagamaan atau pelarangan aktivitas pada Hari Nyepi. Meski demikian, pengalaman ini juga bisa menjadi momen pembelajaran bagi mereka untuk lebih memahami dan menghargai keunikan tradisi Hindu Bali yang kaya akan nilai spiritual dan kearifan lokal.
7. Bahasa

Bahasa menjadi salah satu aspek yang membedakan budaya Bali dan Jawa. Meskipun masyarakat Bali fasih berbahasa Indonesia, terutama di daerah pariwisata, tetapi Bahasa Bali tetap menjadi bahasa yang dominan dalam percakapan sehari-hari.
Bagi orang Jawa yang terbiasa menggunakan Bahasa Jawa atau Bahasa Indonesia, mendengar bahasa Bali yang memiliki intonasi dan kosakata berbeda bisa menjadi pengalaman yang menarik.
Bahasa Bali juga digunakan dalam upacara-upacara keagamaan, membuat orang Jawa yang menyaksikan upacara tersebut merasa lebih sulit memahami maknanya. Namun, meskipun ada perbedaan bahasa daerah, orang Bali dikenal ramah dan terbuka terhadap siapa pun.
8. Pakaian dan upacara

Di Bali, pakaian adat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, terutama saat upacara-upacara keagamaan. Orang Bali sering mengenakan kain sarung dan kebaya saat beraktivitas, terutama ketika mereka berkunjung ke pura atau menghadiri upacara adat.
Bagi orang Jawa yang tidak terbiasa mengenakan pakaian adat dalam aktivitas sehari-hari, pemandangan ini bisa menjadi pengalaman yang berbeda sekaligus menarik. Selain itu, frekuensi upacara adat di Bali yang sering juga bisa menjadi hal yang mengejutkan.
Upacara-upacara adat di Bali seringkali berlangsung di tempat-tempat umum, sehingga dapat mempengaruhi aktivitas masyarakat luas. Misalnya, penutupan jalan untuk prosesi keagamaan, atau pemandangan masyarakat yang melaksanakan upacara di pinggir jalan bisa membuat orang Jawa merasa terkejut.
Meski demikian, hal ini juga bisa memberikan kesempatan bagi mereka untuk menyaksikan secara langsung kekayaan budaya Bali dan pentingnya peran agama dalam kehidupan masyarakat setempat.
9. Kuliner

Salah satu perbedaan yang cukup mencolok adalah kuliner. Makanan khas Bali seringkali menggunakan bahan dasar babi, yang tidak umum atau bahkan dihindari mayoritas orang Jawa yang beragama Islam.
Bagi orang Jawa, terutama yang terbiasa dengan kuliner halal, keberadaan hidangan berbahan babi ini bisa menjadi tantangan tersendiri. Mereka mungkin harus lebih berhati-hati dalam memilih tempat makan atau mencari restoran yang menyediakan makanan halal selama berlibur di Bali.
Namun, Bali juga memiliki banyak restoran dan warung makan yang menyajikan makanan halal, terutama di daerah dengan banyak wisatawan muslim, seperti Kuta, Ubud, atau Denpasar.
Meski harus sedikit berusaha mencari tempat yang sesuai, pengalaman ini bisa menjadi kesempatan bagi orang Jawa untuk mengeksplorasi ragam kuliner Bali lainnya. Di antaranya seperti sate lilit, ayam betutu, atau nasi campur khas Bali yang menggunakan bahan-bahan halal.
10. Lingkungan dan arsitektur bangunan

Bali memiliki lingkungan yang kaya dengan pura-pura dan bangunan berornamen Hindu yang khas. Di sepanjang jalan, sering terlihat pura kecil hingga besar dengan patung-patung dewa, serta sesajen yang ditempatkan di berbagai sudut, seperti di depan rumah, toko, maupun kantor.
Pemandangan ini tentu berbeda dengan di Jawa, di mana masjid dan musala lebih dominan, dan patung serta sesajen mungkin tidak lazim terlihat di tempat umum. Orang Jawa yang pertama kali berkunjung ke Bali mungkin merasa terkejut dengan kehadiran patung-patung dan sesajen ini, yang merupakan bagian penting dari kehidupan spiritual masyarakat Bali.
Tak hanya itu, arsitektur bangunan di Bali yang penuh dengan ukiran dan ornamen tradisional juga menjadi daya tarik tersendiri. Banyak bangunan di Bali, termasuk hotel, restoran, dan pusat perbelanjaan, dirancang dengan estetika tradisional yang menggabungkan unsur-unsur alam dan budaya lokal.
Bagi orang Jawa yang terbiasa dengan arsitektur modern atau gaya tradisional Jawa, lingkungan ini mungkin terasa sangat unik dan menambah pengalaman tersendiri dalam perjalanan mereka di Bali.
Culture shock memang menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan ke tempat baru, termasuk saat orang Jawa ketika liburan ke Bali. Namun, justru inilah yang membuat liburan semakin seru dan membuka wawasan baru. Setiap perbedaan budaya yang dirasakan bisa menjadi pelajaran berharga dan pengalaman tak terlupakan.