Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenapa Banyak Pendaki Mengalami Post Climb Blues?

ilustrasi pendaki di puncak gunung
ilustrasi pendaki di puncak gunung (pexels.com/Dziana Hasanbekava)
Intinya sih...
  • Kehilangan adrenalin dan tantangan selama pendakian membuat pendaki merasa bosan dan gelisah setelah turun gunung.
  • Suasana tenang di gunung sulit tergantikan oleh kehidupan perkotaan yang bising dan sibuk, membuat pendaki merasa kehilangan kedamaian batin.
  • Bonding kuat dengan teman seperjalanan membuat pendaki merasa kosong setelah kembali ke rutinitas sehari-hari yang tidak menawarkan solidaritas seperti saat mendaki.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Kalau kamu seorang pendaki, mungkin kamu pernah merasakan sensasi aneh setelah turun dari gunung, semacam rasa hampa, sedih, atau bahkan kehilangan semangat. Padahal, baru saja menikmati keindahan alam dari ketinggian.

Fenomena ini dikenal sebagai post climb blues, yaitu kondisi emosional yang dialami pendaki setelah petualangan berakhir. Sama seperti post travel blues pada wisatawan, pendaki juga bisa merasakan kekosongan setelah momen berharga di gunung selesai.

Nah, biar kamu bisa lebih paham kenapa hal ini bisa terjadi, berikut tujuh alasan utama kenapa banyak pendaki mengalami post-climb blues. Yuk, simak!

1. Kehilangan adrenalin dan tantangan

ilustrasi mendaki bersama guide
ilustrasi mendaki bersama guide (unsplash.com/Giancarlo Haeffener)

Selama pendakian, tubuh kamu terus terpacu adrenalin dari mempersiapkan peralatan, menaklukkan jalur terjal, sampai menghadapi cuaca yang berubah-ubah. Semua momen itu menciptakan sensasi menegangkan sekaligus memuaskan.

Namun, begitu pendakian selesai dan kamu kembali ke rutinitas sehari-hari, semua tantangan itu lenyap. Otak yang sebelumnya aktif dan fokus kini kehilangan “bahan bakar”.

Kamu mungkin mulai merasa bosan atau bahkan gelisah, karena tidak ada lagi situasi yang memacu semangat. Inilah kenapa banyak pendaki merasa hidupnya “datar” setelah turun gunung, kehilangan dorongan yang sebelumnya membuat mereka hidup sepenuhnya di alam bebas.

2. Suasana tenang di gunung sulit tergantikan

ilustrasi pendaki di puncak gunung
ilustrasi pendaki di puncak gunung (pixabay.com/Alex Aparicio)

Gunung menawarkan ketenangan yang jarang kamu dapatkan di kehidupan modern. Bayangkan, udara segar, suara serangga dan burung, pemandangan hijau yang menyejukkan mata, semua itu menciptakan suasana damai yang sulit dijelaskan. Begitu kembali ke kota, kamu langsung disambut bising kendaraan, pekerjaan yang menumpuk, dan notifikasi yang gak ada habisnya.

Kontras yang begitu besar ini bisa membuat kamu merasa kehilangan kedamaian batin. Banyak pendaki yang bahkan jadi rindu aroma tanah basah, suara gemericik air, atau bahkan dinginnya malam di tenda. Karena sejatinya, alam memberi ketenangan yang tak bisa digantikan oleh suasana perkotaan.

3. Karena bonding kuat dengan teman seperjalanan

ilustrasi dua pendaki wanita
ilustrasi dua pendaki wanita (pexels.com/Alex P)

Mendaki bukan cuma soal menaklukkan puncak, tapi juga tentang kebersamaan. Saat mendaki, kamu dan tim sama-sama berjuang, saling bantu membawa beban, berbagi makanan, atau sekadar tertawa saat hujan mengguyur.

Ikatan yang terbentuk di tengah perjuangan itu terasa sangat tulus dan dalam. Namun, setelah pendakian selesai, semua orang kembali ke kesibukan masing-masing. Rasa kehilangan terhadap momen kebersamaan itu bisa terasa berat. Banyak pendaki yang merasa “kosong” karena suasana hangat dan solidaritas selama pendakian sulit ditemukan di kehidupan sehari-hari.

4. Tubuh masih kelelahan, tapi hati pengin naik gunung lagi

ilustrasi pendaki menggunakan trekking pole
ilustrasi pendaki menggunakan trekking pole (pexels.com/Mario Tutic)

Ini paradoks yang sering banget dialami pendaki. Badan pegal, kaki nyeri, tapi hati justru ingin naik gunung lagi. Secara fisik, tubuhmu masih butuh waktu untuk pulih dari kelelahan ekstrem, tapi secara emosional, kamu masih terbawa suasana petualangan dan euforia saat berada di alam terbuka.

Kondisi ini sering bikin perasaan campur aduk, di satu sisi ingin istirahat, tapi di sisi lain merasa gelisah karena rindu suasana pendakian. Akibatnya, muncul rasa tidak puas yang bisa memperkuat efek post climb blues.

5. Kembali ke rutinitas terasa membosankan

ilustrasi pendaki gunung
ilustrasi pendaki gunung (pexels.com/Robert Forever Ago)

Pendakian memberi kamu rasa bebas, tanpa jadwal, tanpa tekanan pekerjaan, dan tanpa rutinitas yang membatasi. Kamu hidup sepenuhnya di alam, mengikuti ritme langkah dan cahaya matahari.

Namun, begitu kembali ke kehidupan normal, semuanya terasa membosankan. Rutinitas kerja, kuliah, atau tugas rumah seolah gak ada habisnya.

Perbedaan antara suasana petualangan yang penuh semangat dan rutinitas yang monoton bisa bikin kamu merasa kehilangan makna. Banyak pendaki yang akhirnya mencari “pelarian baru” hanya untuk merasakan kembali sensasi hidup yang mereka dapat di gunung.

6. Pendakian adalah bentuk pelarian

ilustrasi mendaki gunung sendirian
ilustrasi mendaki gunung sendirian (pexels.com/Luke Miller)

Bagi sebagian orang, mendaki bukan cuma soal petualangan, tapi juga bentuk pelarian dari tekanan hidup. Di gunung, kamu bisa melepaskan stres, menjauh dari masalah, dan merasakan kebebasan penuh.

Namun, setelah pendakian selesai, semua realitas itu kembali. Masalah yang sebelumnya kamu tinggalkan kini muncul lagi, bahkan terasa lebih berat karena kontras dengan ketenangan yang baru kamu alami. Inilah alasan paling emosional di balik post climb blues, bukan karena lelah, tapi karena gunung memberi rasa damai yang susah didapatkan di dunia nyata.

7. Jadi, bagaimana cara mengatasi post climb blues?

ilustrasi pendaki di gunung berkabut
ilustrasi pendaki di gunung berkabut (pexels.com/Ds babariya)

Kabar baiknya, post climb blues bukan hal yang berbahaya dan bisa kamu atasi dengan beberapa cara sederhana. Cobalah tetap aktif dengan olahraga ringan, bergabung dengan komunitas pendaki, atau mulai merencanakan pendakian berikutnya.

Kamu juga bisa menulis pengalaman pendakianmu sebagai bentuk refleksi, supaya kenangan itu tetap hidup tanpa harus merasa kehilangan.

Ingat, perasaan ini wajar banget. Justru tandanya kamu benar-benar terhubung dengan alam dan menemukan makna mendalam dari setiap langkah di jalur pendakian. Mungkin tubuhmu sudah kembali ke rumah, tapi hatimu masih tertinggal di puncak gunung, dan itu gak apa-apa.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Naufal Al Rahman
EditorNaufal Al Rahman
Follow Us

Latest in Travel

See More

Gunung Rinjani Terkenal karena Apa?

09 Nov 2025, 20:30 WIBTravel