Benarkah Pabrikan Jepang Mengerem Perkembangan Mobil Listrik?

- Pabrikan Jepang fokus pada mobil hybrid dan hidrogen, bukan mobil listrik.
- Toyota, Honda, Mitsubishi, Suzuki, dan Daihatsu percaya mobil hybrid lebih realistis untuk mengurangi emisi.
- Jepang menunggu pasar matang sebelum beralih ke mobil listrik dan mempersiapkan infrastruktur yang diperlukan.
Ketika pabrikan otomotif asal China berlomba memproduksi mobil listrik dan mengekspornya ke berbagai negara, pabrikan asal Jepang justru terlihat tak bergeliat. Mereka, alih-alih bersaing dengan pabrikan China, justru lebih fokus menggarap mobil hybrid dan hidrogen.
Apa yang membuat pabrikan Jepang, seperti Toyota, Honda, Mitsubishi, Suzuki, hingga Daihatsu seolah mengerem mengembangkan mobil listrik? Padahal, pabrikan Jepang yang telah bergelut di dunia otomotif selama puluhan tahun, pasti bisa kompetitif kalau saja mereka mau.
1. Pabrikan Jepang fokus pada teknologi hybrid dan hidrogen

Kalau kita perhatikan, pabrikan Jepang sejak lama lebih fokus pada teknologi hybrid ketimbang mobil listrik murni. Toyota dengan Prius-nya bahkan sudah memulai tren hybrid sejak tahun 1997. Sampai sekarang pun, mereka tetap percaya bahwa mobil hybrid adalah solusi yang lebih realistis untuk mengurangi emisi dibandingkan beralih penuh ke mobil listrik.
Selain itu, Jepang juga serius mengembangkan teknologi hidrogen, seperti mobil Toyota Mirai. Mereka yakin bahwa masa depan tidak hanya soal mobil listrik berbasis baterai, tapi juga kendaraan berbahan bakar hidrogen. Karena itu, mereka tidak terlalu agresif “menyebur” ke tren EV seperti pabrikan dari China, Korea, atau Eropa. Mereka memilih jalan sendiri: menunggu pasar lebih matang sambil terus mengembangkan alternatif lain.
2. Hype mobil listrik tidak sebesar di media

Alasan lainnya adalah soal kesiapan infrastruktur. Mobil listrik butuh jaringan charging station yang luas dan cepat. Di banyak negara, termasuk Jepang sendiri, infrastruktur pengisian baterai belum benar-benar memadai untuk mendukung mobil listrik dalam jumlah besar.
Selain itu, pabrikan Jepang melihat bahwa permintaan konsumen untuk EV murni masih belum sebesar hype yang ada di media. Banyak konsumen, terutama di pasar utama seperti Asia Tenggara dan Amerika Utara, masih lebih nyaman dengan mobil bensin atau hybrid. Mobil listrik dianggap mahal, jarak tempuhnya terbatas, dan waktu pengisian baterai terlalu lama dibandingkan isi bensin yang cuma butuh beberapa menit.
Jadi, daripada buru-buru produksi massal EV lalu rugi karena kurang laku, pabrikan Jepang memilih bermain aman: tetap kembangkan EV, tapi tanpa meninggalkan teknologi bensin dan hybrid yang sudah terbukti diminati pasar.
3. Filosofi kaizen masih dipegang teguh

Ada juga faktor budaya perusahaan Jepang yang berpengaruh besar. Pabrikan seperti Toyota, Honda, dan Nissan dikenal memegang prinsip kaizen, yaitu perubahan bertahap yang konsisten. Mereka lebih suka memastikan semua aspek, dari keamanan, kualitas, hingga daya tahan mobil, benar-benar sempurna sebelum meluncurkan produk baru.
Dalam pandangan mereka, lebih baik lambat asal selamat, daripada buru-buru merilis EV yang akhirnya punya banyak masalah di kemudian hari. Apalagi, reputasi brand Jepang sangat bergantung pada ketahanan produk. Sebuah kesalahan besar dalam era baru mobil listrik bisa berdampak buruk terhadap citra mereka yang sudah dibangun puluhan tahun.
Karena itu, meski terlihat “setengah hati”, sebenarnya pabrikan Jepang sedang menyiapkan lompatan yang lebih matang dan terarah. Kita bisa lihat belakangan ini, Toyota, Honda, dan Nissan mulai memamerkan konsep mobil listrik generasi baru mereka yang jauh lebih siap bersaing.