Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Perang Dagang AS-China, Terpanas dalam Tiga Dekade Terakhir

Ilustrasi pabrik mobil (Daihatsu Astra Motor)
Intinya sih...
  • Tarif tinggi AS dan UE terhadap mobil listrik China menciptakan tantangan besar bagi produsen otomotif global.
  • China sebagai eksportir komponen EV dapat membalas dengan pembatasan ekspor bahan baku, mengganggu industri otomotif di Eropa dan AS.
  • Kebijakan proteksionis ini bisa menyebabkan harga mobil naik, kendaraan ramah lingkungan terbatas, dan stagnasi industri otomotif global.

CEO Mercedes-Benz, Ola Kallenius, mengatakan tarif tinggi yang diberlakukan Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) terhadap kendaraan listrik (EV) buatan China telah menciptakan tantangan terbesar dalam tiga dekade terakhir. Ia menilai kebijakan ini tidak hanya mengacaukan peta perdagangan, tapi juga memperumit rantai pasok global dan strategi bisnis para produsen otomotif dunia.

“Aku rasa, selama 32 tahun aku bekerja di industri ini, belum pernah mengalami situasi yang serumit ini,” kata Ola Kallenius kepada para wartawan yang hadir di pameran otomotif Shanghai yang banyak diperhatikan publik, seperti dikutip dari Financial Times.

Seperti diketahui, AS dan UE sama-sama menerapkan tarif yang sangat tinggi untuk mobil listrik asal China, AS bahkan menerapkan tarif hingga 145 persen. Alasannya, untuk melindungi industri dalam negeri dari banjir mobil murah asal China.

Namun, langkah ini dianggap sebagai senjata bermata dua: satu sisi bisa melindungi pasar lokal, tapi di sisi lain justru menambah beban operasional dan membuka risiko retaliasi dagang dari China.

1. Pembalasan China bisa sangat memukul

Ilustrasi pengisian daya listrik Tesla (Pexels/Enes Haciabbasoglu)

Pernyataan Ola Kallenius muncul di tengah kekhawatiran besar bahwa China tidak akan diam saja. Sebab, sebagai negara eksportir utama komponen kendaraan listrik, mulai dari baterai, chip, hingga motor listrik, China punya banyak cara untuk membalas. Jika Beijing memutuskan untuk membatasi ekspor bahan baku penting seperti lithium, grafit, atau rare earth, maka industri otomotif di Eropa dan Amerika bisa langsung terguncang.

Hal ini menjadi momok tersendiri bagi produsen besar seperti Mercedes-Benz, BMW, hingga Tesla yang memiliki pabrik dan jaringan suplai global. Apalagi banyak dari komponen EV saat ini masih berasal dari Tiongkok atau negara yang terhubung dalam jaringan produksinya. Retaliasi juga bisa berupa pembatasan penjualan mobil dari Eropa dan AS di pasar China yang merupakan salah satu pasar terbesar dunia.

2. Perang dagang paling kompleks

ilustrasi overthinking (unsplash.com/malachicowie)

Menurut Kallenius, dalam 30 tahun terakhir, dunia otomotif mengalami banyak tantangan, mulai dari krisis keuangan global, kelangkaan chip semikonduktor, hingga pandemi. Namun, dampak tarif dan ketegangan dagang saat ini disebut sebagai yang paling kompleks dan mengganggu, karena menyentuh akar utama bisnis otomotif global, yaitu rantai pasok dan akses pasar.

Industri otomotif modern sudah tidak bisa berdiri sendiri di satu negara. Produksi mobil zaman sekarang melibatkan banyak negara, mulai dari komponen mesin di Jerman, baterai di Tiongkok, hingga perakitan di Meksiko atau Thailand. Jika satu mata rantai terganggu akibat kebijakan proteksionis, maka seluruh sistem bisa macet.

Yang paling dirugikan dalam kondisi ini adalah konsumen, karena harga mobil bisa naik tajam dan pilihan kendaraan ramah lingkungan jadi semakin terbatas. Tanpa kerja sama global yang solid, transisi menuju kendaraan listrik yang lebih bersih dan efisien bisa terhambat.

Dengan kondisi yang makin kompleks ini, para pemimpin industri menyerukan perlunya kebijakan dagang yang lebih rasional dan kolaboratif, bukan saling balas tarif. Jika tidak, risiko stagnasi industri otomotif global bukan sekadar kekhawatiran, melainkan kenyataan yang tinggal menunggu waktu.

3. Perang dagang memanas

Ilustrasi pengisian daya listrik Tesla (Pexels/Charles Criscuolo)

Dalam beberapa minggu terakhir, ketegangan perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok kembali memanas, khususnya di sektor otomotif. AS telah menaikkan tarif impor hingga 145 persen untuk kendaraan listrik asal Tiongkok, sebagai upaya melindungi produsen domestik dari banjir mobil murah.

Langkah ini mendapat reaksi keras dari Beijing, yang mengancam akan membalas tarif tersebut dengan menaikkan bea masuk terhadap produk otomotif AS, termasuk kendaraan dan komponen elektronik buatan Tesla.

Situasi ini membuat Tesla berada di posisi sulit, terutama karena mereka memiliki pabrik besar di Shanghai dan menjual banyak unit ke pasar global. Jika tarif dan hambatan ekspor terus meningkat, biaya produksi Tesla bisa ikut naik, dan strategi penurunan harga jadi lebih sulit untuk diterapkan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwi Agustiar
EditorDwi Agustiar
Follow Us