6 Hal yang Menjadi Biang Kerok Krisis Ekonomi Parah di Sri Lanka

Jakarta, IDN Times - Sejak Maret 2022 lalu, berbagai kalangan masyarakat Sri Lanka menggelar protes dan demonstrasi besar-besaran. Mereka menuntut Presiden Gotabaya Rajapaksa turun dari kursi kekuasaan.
Financial Times melaporkan bahwa kondisi negara yang terus kisruh membuat lebih dari 40 orang pejabat negara mengundurkan diri dari jabatan mereka, termasuk Menteri Keuangan Ali Sabry yang baru menduduki jabatan selama satu hari, juga Gubernur Bank Sentral Ajith Nivard Cabraal.
Salah satu penyebab masyarakat Sri Lanka turun ke jalan adalah keadaan ekonomi negara yang terus memburuk selama beberapa periode belakangan, tulis CNN. Harga bahan makanan terus meningkat, dan kini banyak anggota masyarakat harus mengantri jatah bahan makanan selama berjam-jam.
Banyak orang kesulitan mendapatkan minyak untuk memasak, dan lebih banyak lagi orang yang tidak mendapatkan bahan bakar meskipun pekerjaan mereka bergantung pada operasional kendaraan bermotor. Mati listrik juga semakin sering terjadi.
Krisis ekonomi ini merupakan imbas dari berbagai peristiwa yang telah menimpa Sri Lanka sebelumnya. Adanya beberapa kebijakan yang meleset dari eskpektasi juga semakin memperparah keadaan. Apa saja itu?
1. Krisis konstitusi pada 2018

Pada 26 Oktober 2018, sebagaimana diberitakan Reuters, Maithripala Sirisena yang pada saat itu menjabat sebagai presiden tiba-tiba menunjuk Mahinda Rajapaksa sebagai perdana menteri. Padahal, Ranil Wickremesinghe masih menduduki jabatan sebagai perdana menteri terpilih.
Tindakan Presiden Sirisena tersebut memecah kabinet, dimana sebagian menteri menganggap penunjukan tersebut tidak konstitusional sementara beberapa lainnya memihak kepada pemerintahan Mahinda Rajapaksa. Wickremesinghe menolak untuk melepaskan jabatannya, sementara Rajapaksa membentuk kabinetnya sendiri, sehingga terdapat dua pemerintahan yang menjabat di Sri Lanka.
Krisis tersebut mengakibatkan anjloknya nilai mata uang Sri Lanka. Dilansir dari The Sunday Times Sri Lanka, kerugian ekonomi yang terjadi mencapai 102 miliar Rupee. Amerika Serikat dan Jepang membekukan dana bantuan senilai miliaran dolar AS, dan Uni Eropa memberi peringatan bahwa apabila rekonsiliasi tidak segera dilakukan, kebijakan bebas bea cukai atas produk-produk ekspor dari Sri Lanka akan dihapuskan.
Kemudian, selama November 2018, produksi berbagai industri di Sri Lanka juga mengalami penurunan sebesar 3,7 persen, yang merupakan penurunan terendah sejak 2016. Untungnya, pada 13 Desember 2018, Mahkamah Agung Sri Lanka menyatakan bahwa pemerintahan Perdana Menteri Wickremesinghe tidak bisa dibubarkan begitu saja dan harus berjalan hingga masa jabatannya berakhir, sebagaimana diberitakan oleh BBC.
Pada 16 Desember 2018 Wickremesinghe kembali dilantik secara resmi sebagai perdana menteri yang menjabat. Namun, Sri Lanka masih harus memperbaiki kondisi ekonomi negara yang terlanjur mengalami kerugian.
2. Aksi terorisme Paskah 2019

Di hari Paskah pada 21 April 2019, terjadi delapan aksi bom bunuh diri di beberapa titik di Sri Lanka. Dilansir CNN, tiga di antaranya terjadi di gereja yang sedang melaksanakan ibadah Paskah, tiga lainnya di hotel-hotel mewah di kota Colombo, dan dua sisanya di area perumahan Dematagoda serta Dehiwala.
Aksi ini menyebabkan 269 korban meninggal, termasuk 45 warga asing dan tiga orang polisi, serta sebanyak 500 orang mengalami luka-luka. Kejadian tersebut berdampak sangat negatif terhadap perekonomian Sri Lanka yang sebagian besar cadangan devisanya berasal dari sektor pariwisata.
Dilansir dari Financial Times Sri Lanka, Asosiasi Perhotelan di Sri Lanka memperkirakan kerugian hingga 1,5 miliar dolar AS akibat adanya isu keamanan. Kemudian, Bank Sentral Sri Lanka juga mengklaim kerugian sebesar 26 miliar Rupee akibat turunnya penerimaan pajak, sebagaimana diberitakan Daily Mirror.
Tak hanya itu, penerimaan negara dari beberapa investasi asing juga harus tertunda. Kerugian tersebut memperparah kondisi perekonomian Sri Lanka yang belum sepenuhnya berhasil dipulihkan setelah krisis konstitusi 2018.
3. Pandemik COVID-19

Sejak meningkatnya kasus pandemi virus COVID-19 pada 2020, Sri Lanka mengalami krisis ekonomi ekstrem. Mengutip WION News, Bank Dunia melaporkan bahwa krisis tersebut disebabkan oleh hilangnya lapangan pekerjaan, inflasi harga bahan makanan, serta berkurangnya cadangan devisa negara.
WION News juga melaporkan World Bank menyatakan jumlah penduduk dalam kemiskinan di Sri Lanka meningkat sebesar 11,7 persen sejak pandemi dimulai. Kurang lebih sebanyak 500 ribu orang penduduk jatuh dalam status miskin. Jumlah tersebut disinyalir membutuhkan waktu selama lima tahun untuk dipulihkan kembali.
4. Kebijakan larangan penggunaan pupuk kimia

Menurut Reuters, pada April 2021, pemerintah Sri Lanka memberlakukan larangan terhadap impor dan penggunaan pupuk berbahan kimia sebagai bagian dari kampanye pemerintah untuk mendorong pangan sehat dan organik. Sayangnya, kebijakan tersebut tidak didahului dengan langkah-langkah persiapan yang memadai untuk para petani yang selama bertahun-tahun bergantung pada produk pupuk kimia.
Akibatnya, terjadi penurunan jumlah panen yang sangat signifikan. Sri Lanka menghadapi ancaman kelangkaan pangan yang kemudian menyebabkan peningkatan harga bahan pangan. Harga beras, misalnya, mengalami kenaikan sebesar hampir 30 persen dari tahun sebelumnya. Sedangkan harga beberapa sayuran seperti tomat dan wortel meningkat hingga lima kali lipat.
5. Kebijakan keringanan pajak

Untuk menstimulasi dan menumbuhkan geliat perekonomian, pemerintahan Presiden Gotabaya Rajapaksa memberlakukan keringanan atas pajak yang dipungut dari masyarakatnya. Dilansir Financial Times, pemerintah Sri Lanka menurunkan tarif beberapa jenis pajak dan menghapus beberapa jenis pajak lainnya. Kebijakan tersebut diberlakukan dalam beberapa tahap sejak 2019 hingga 2020.
Kebijakan pajak tersebut menyebabkan penurunan drastis pada penerimaan negara. Menurut pemberitaan Financial Times, turunnya pendapatan negara tersebut merupakan salah satu faktor yang membuat peringkat kredit Sri Lanka terjun bebas, hingga negara tersebut kesulitan memperoleh pinjaman luar negeri.
6. Tunggakan pinjaman dan penurunan cadangan devisa

Diberitakan CNN, selama beberapa tahun ke belakang, Sri Lanka telah banyak meminjam dana asing. Pinjaman tersebut digunakan untuk menanggulangi berbagai bencana alam, mengadakan pembangunan, serta menyelenggarakan layanan pemerintahan.
Financial Times menyebut bahwa turunnya peringkat kredit Sri Lanka menyebabkan negara tersebut kesulitan mendapat suntikan dana asing di tengah anjloknya perekonomian dalam negeri. Utang-utang negara terpaksa harus dibiayai oleh cadangan devisa negara yang lama-kelamaan jumlahnya terus menurun. Menurut IMF, cadangan devisa yang tersisa hanya akan bertahan selama satu bulan mendatang.
Saat ini, Sri Lanka sedang mengupayakan langkah-langkah perbaikan agar dapat memenuhi persyaratan pinjaman IMF serta sumber-sumber asing lainnya, sebagaimana diberitakan CNN.