Awal Tahun, BI Putuskan Turunkan Suku Bunga Acuan Jadi 5,75 Persen

- Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan ke level 5,75 persen dalam RDG BI 14-15 Januari 2025.
- Penurunan ini merupakan yang pertama sejak September 2024 dari posisinya di level 6 persen, konsisten dengan perkiraan inflasi terkendali.
Jakarta, IDN Times - Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan atau BI-Rate sebesar 25 basis poin (bps) ke level 5,75 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI 14-15 Januari 2025. Bukan hanya suku bunga acuan, suku bunga deposit facility juga diturunkan ke level 5,00 persen, dan suku bunga lending facility dipertahankan pada level 6,5 persen.
"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 14 dan 15 Januari 2025 memutuskan untuk tetap menurunkan BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,75 persen," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers RDG BI, Rabu (15/1/2025).
Adapun penurunan suku bunga acuan ini merupakan yang pertama sejak September 2024 dari posisinya di level 6 persen.
1. Alasan BI rate turun

Perry mengatakan, keputusan menurunkan BI rate 5,75 persen ini konsisten dengan tetap rendahnya perkiraan inflasi 2025 dan 2026 yang terkendali dalam sasaran 2,5 persen plus minus 1 persen
“Serta terjaganya nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamental untuk pengendalian inflasi dengan sasarannya dan perlunya upaya untuk turut mendorong pertumbuhan ekonomi,” tutur Perry.
Perry menambahkan, ke depan BI akan terus mengarahkan kebijakan moneter untuk menjaga inflasi dalam sasarannya, serta menstabilkan nilai tukar sesuai fundamental, dengan tetap mencermati ruang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sesuai dinamika yang terjadi baik global maupun nasional.
2. Kebijakan makroprudensial longgar tetap ditempuh BI

Sementara itu, kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran terus diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Kebijakan makroprudensial longgar terus ditempuh untuk mendorong kredit/pembiayaan perbankan kepada sektor-sektor prioritas pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja, termasuk UMKM dan ekonomi hijau, melalui penguatan strategi Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM), dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.
"Kebijakan sistem pembayaran juga diarahkan untuk turut mendorong pertumbuhan, khususnya sektor perdagangan dan UMKM, dengan memperkuat keandalan infrastruktur dan struktur industri sistem pembayaran, serta memperluas akseptasi digitalisasi sistem pembayaran," ungkapnya.
3. Ekonomi AS diproyeksi tumbuh lebih kuat dari perkiraan

Perry mengakui divergensi pertumbuhan ekonomi dunia melebar dan ketidakpastian pasar keuangan global berlanjut. Perekonomian Amerika Serikat (AS) tumbuh lebih kuat dari perkiraan didukung oleh stimulus fiskal yang meningkatkan permintaan domestik dan kenaikan investasi di bidang teknologi peningkatan produktivitas.
"Sebaliknya, ekonomi Eropa, China dan Jepang masih lemah dipengaruhi oleh menurunnya keyakinan konsumen dan tertahannya produktivitas, sementara ekonomi India masih tertahan akibat sektor manufaktur yang terbatas," ucapnya.
Sejalan dengan itu, prospek pertumbuhan ekonomi dunia 2025 diperkirakan lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya menjadi 3,2 persen. Di sisi lain, arah kebijakan pemerintah dan bank sentral AS berpengaruh pada ketidakpastian pasar keuangan global.
Kuatnya ekonomi AS serta dampak kebijakan tarif menahan proses disinflasi di AS dan berdampak pada menguatnya ekspektasi penurunan Fed Funds Rate (FFR) yang lebih terbatas.
Kebijakan fiskal AS yang lebih ekspansif mendorong yield US Treasury tetap tinggi, baik pada tenor jangka pendek maupun jangka panjang.
"Bersamaan dengan ketegangan geopolitik yang meningkat, perkembangan tersebut menyebabkan makin besarnya preferensi investor global untuk memindahkan portofolionya ke AS. Indeks mata uang dolar AS naik tinggi makin menambah tekanan pelemahan berbagai mata uang dunia," tutur Perry.