Bank Dunia Desak Transparansi Utang untuk Cegah Krisis Global

- Utang tersembunyi berpotensi memicu krisis keuangan global
- Dorongan reformasi regulasi untuk mewajibkan transparansi utang sejak tahap awal kontrak pinjaman
Jakarta, IDN Times - Bank Dunia menyerukan penerapan transparansi utang yang radikal bagi negara-negara berkembang dan para kreditur guna mencegah krisis keuangan di masa depan. Seruan ini tertuang dalam laporan terbaru dirilis Jumat (20/6/2025), yang menyoroti lonjakan risiko akibat utang tersembunyi di tengah ketidakstabilan pasar global.
Laporan tersebut menekankan pentingnya pengungkapan utang yang lebih rinci, terutama karena banyak transaksi pinjaman dilakukan di luar anggaran negara. Transparansi dianggap vital untuk menjaga stabilitas ekonomi dan mencegah dampak negatif dari utang yang tidak tercatat.
1. Ancaman utang tersembunyi
Bank Dunia memperingatkan utang yang tidak dilaporkan secara transparan berpotensi memicu krisis.
“Saat utang tersembunyi terkuak, akses pembiayaan menyempit dan kondisi pinjaman memburuk,” ujar Axel van Trotsenburg, Direktur Pelaksana Senior Bank Dunia, dikutip dari Yahoo Finance.
Ia menegaskan, transparansi yang akurat dan tepat waktu adalah kunci untuk memutus siklus krisis.
Contoh kasus muncul di Senegal dan Nigeria, di mana penggunaan utang swasta dan kontrak kompleks menyulitkan pelaporan. Kurangnya data membuat investor dan pengambil kebijakan sulit menilai risiko, serta membuka celah bagi korupsi dan pengelolaan keuangan yang buruk, dilansir Investing.
Meski jumlah negara berpenghasilan rendah yang melaporkan data utang meningkat dari 60 persen pada 2020 menjadi lebih dari 75 persen, hanya 25 persen yang mengungkapkan hingga tingkat pinjaman individu.
Dilansir World Bank, kesenjangan data ini memperparah kerentanan fiskal, terutama saat biaya pinjaman melonjak akibat ketegangan geopolitik.
2. Dorongan reformasi regulasi

Bank Dunia mendorong adanya reformasi hukum dan pengawasan yang mewajibkan transparansi sejak tahap awal kontrak pinjaman. Termasuk di dalamnya audit berkala, keterbukaan isi kontrak restrukturisasi, serta pencatatan jaminan dan utang secara publik.
“Transparansi bukan hanya kewajiban negara peminjam, tetapi juga kreditur. Keduanya harus bekerja sama untuk memastikan data utang akurat,” ujar Haishan Fu, Kepala Statistik Bank Dunia, dilansir World Bank.
Ia menyebut, sistem pelaporan global saat ini masih bergantung pada data yang tidak seragam, menyebabkan kesenjangan hingga 30 persen dari PDB di beberapa negara.
Senegal misalnya, menghadapi negosiasi dengan IMF akibat data utang yang tidak akurat, sementara Angola terpaksa membayar margin call sebesar 200 juta dolar AS (Rp3,2 triliun) setelah obligasinya anjlok. Kasus-kasus ini mempertegas pentingnya pengawasan dan pelaporan yang transparan.
3. Kerja sama global tingkatkan akurasi

Bank Dunia telah bekerja sama dengan negara-negara G7 dan Paris Club untuk meningkatkan transparansi melalui pertukaran data. Pada 2023, 94 persen data utang negara berkembang cocok dengan catatan para kreditur, menandai kemajuan besar dalam akurasi laporan.
“Kerja sama dengan kreditur telah menjadi langkah krusial dalam verifikasi data utang negara peminjam,” ungkap seorang pejabat Bank Dunia yang enggan disebut namanya.
Langkah ini memungkinkan rekonsiliasi utang yang lebih akurat dan mendukung analisis keberlanjutan fiskal. Meski begitu, masih banyak negara menggunakan instrumen keuangan kompleks seperti swap bank sentral atau utang dengan jaminan, yang sulit dideteksi.
Bank Dunia berencana memperluas kerja sama dengan kreditur lainnya, termasuk negara-negara G20, untuk memperkuat pelaporan dan mendukung pembangunan berkelanjutan.