Bank Dunia Tidak Serius Tangani Krisis akibat Perubahan Iklim

Jakarta, IDN Times - World Bank atau Bank Dunia bakal menghadapi ujian terbesar dalam sejarahnya. Hal itu karena para eksekutif Bank Dunia bakal menghadiri Cop26 Global Climate Summit di Glasgow, Skotlandia pekan depan.
Di sana bakal ditentukan keputusan-keputusan kunci untuk menyelamatkan dunia dari krisis perubahan iklim. Jika Bank Dunia ingin merealisasikan tujuannya dalam menghapuskan kemiskinan dan membangun kemakmuran bersama maka Cop26 Global Climate Summit adalah momen dan waktu yang tepat.
Hal itu lantaran pemanasan global dan perubahan iklim bisa menjadi sumber terbesar yang dapat meningkatkan kemiskinan di dunia dalam kurun waktu beberapa tahun mendatang.
Terkait hal tersebut, peneliti yang bekerja di Bank Dunia, Jake Hess dalam opininya di The Guardian mengatakan bahwa Bank Dunia akan gagal dalam menjalankan ujian tersebut.
1. Bank Dunia masih mendanai proyek bahan bakar fosil

Dalam opininya tersebut Jake menuliskan bahwa Bank Dunia tidak konsisten dalam upaya menangani pemanasan global dan perubahan iklim.
"Di saat dunia butuh untuk pindah dari energi kotor sesegera mungkin, Bank Dunia justru menghabiskan lebih dari 12 miliar dolar Amerika Serikat (AS) untuk pembiayaan proyek bahan bakar fosil sejak Paris Agreement pertama kali disepakati," kata Jake, seperti dikutip dari The Guardian, Minggu (31/10/2021).
Jake bahkan menyebut kredibilitas Bank Dunia untuk terlibat dalam penanganan perubahan iklim saat ini lebih lemah ketimbang beberapa waktu silam, apalagi setelah munculnya skandal manipulasi data oleh pejabat senior di sana.
2. Bank Dunia masih berperan dalam pengembangan PLTU di Indonesia

Dalam tulisannya, Jake juga menyatakan bahwa Bank Dunia sejatinya telah membuat kemajuan perihal penanganan perubahan iklim.
Salah satunya adalah dengan menghentikan pembiayaan langsung pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan batu bara.
Namun, kata Jake, yang menjadi masalah adalah Bank Dunia masih memberikan dukungan terhadap industri tersebut melalui backdoor channels atau saluran pintu belakangnya.
"Lengan pemberi pinjaman sektor swasta Bank Dunia masih secara tidak langsung memberikan dukungan terhadap pembangkit listri tenaga batu bara melalui klien bank komersialnya, seperti yang terjadi di Indonesia," ujar Jake.
Bagi Jakes, tindakan tersebut menunjukkan kalau Bank Dunia tidak serius dalam komitmen menghadapi perubahan iklim.
3. Dukungan Bank Dunia ke PLTU di Indonesia terungkap dalam CPF

Tudingan Jake bahwa dukungan tak langsung Bank Dunia terhadap PLTU berbahan batu bara di Indonesia berdasarkan The Indonesia World Bank Country Partnership Framework (CPF) atau Kerangka Kerja Kemitraan Indonesia-Bank Dunia 2021-2024 yang dirilis pada Mei silam.
Sebanyak 12 organisasi di Indonesia termasuk Trend Asia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Greenpeace, dan Pena Masyarakat yang tergabung dalam Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia (CSO) telah meninjau CPF untuk mengidentifikasi adanya kemungkinan dukungan Bank Dunia terhadap penggunaan bahan bakar fosil di Indonesia.
Dalam sebuah pernyataan yang dikirimkan ke Bank Dunia di Indonesia, CSO mencatat bahwa Bank Dunia tengah memberikan insentif untuk penggunaan gas dan biogas sebagai bahan bakar transisi di Indonesia.
Selain itu, CSO juga mencatat adanya bantuan teknis dan Development Policy Loans yang dijadwalkan guna mendukung PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang masih berencana membangun 33.000 MW PLTU berbahan bakar batu bara dan gas.
"Oleh karenanya, CPF ini bertentangan dengan World Bank's New Climate Change Action Plan yang bertujuan untuk selaras dengan Paris Agreement melalui penyediaan dukungan kepada klien dalam sebuah cara yang konsisten dengan jalur pembangunan rendah karbon dan ramah iklim," tulis CSO dalam laporannya seperti dikutip dari brettonwoodsproject.org.
4. Keterlibatan MIGA dan IFC dalam mendukung PLN di Indonesia

Terkait batu bara, Indonesia menargetkan adanya peningkatan produksi sumber daya alam tersebut pada tahun ini. Hal tersebut merupakan implementasi dari Undang Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang baru atau Undang Undang Nomor 3 Tahun 2020.
Indonesia menargetkan untuk memproduksi 625 juta ton batu bara tahun ini. Angka tersebut merupakan target produksi nasional tertinggi sepanjang sejarah.
Batu bara Indonesia sendiri banyak diekspor ke India dan China. Pada 2020, tercatat ekspor batu bara Indonesia ke kedua negara tersebut melebihi 160 juta ton.
Dalam konteks tersebut, posisi Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) yang merupakan badan asuransi risiko swasta Bank Dunia sebagai penjamin utang PLN tidak konsisten dengan komitmen Bank Dunia untuk mengakhiri penggunaan batu bara.
"CSO khawatir jaminan MIGA atas utang PLN sebesar Rp500 triliun atau 35 miliar dolar AS akan berkontribusi pada kapasitas PLN untuk membangun lebih banyak pembangkit listrik tenaga batu bara. Pembangkit ini tidak perlu mengingat Indonesia sudah mengalami kelebihan pasokan listrik hampir 50 persen," tulis CSO.
Bukan hanya itu, CSO juga menemukan bahwa The International Finance Corporation (IFC) yang merupakan badan investasi swasta Bank Dunia terimplikasi mendukung Proyek Jawa 9 dan 10.
Proyek Jawa 9 dan 10 merupakan PLTU dengan kapasitas 2.000 MW di Banten dan merupakan satu dari kompleks PLTU terbesar di dunia.
"Proyek Jawa 9 dan 10 didukung IFC melalui perantara keuangannya, Hana Bank Indonesia yang memberikan pinjaman pada Juli 2020 silam," kata CSO.
Hal tersebut bak anomali lantaran Hana Bank diketahui mendukung Pendekatan Ekuitas Hijau oleh IFC. Pendekatan tersebut padahal dikembangkan dengan tujuan agar klien IFC yang ada di berbagai negara bisa beralih dari ketergantungan penggunaan batu bara hingga 50 persen pada 2025 dan menjadi 0 persen pada 2030 mendatang.