Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Bayang-bayang Resesi di Depan Mata, Apa Saja Faktanya saat Ini?

Ilustrasi Grafik Penurunan (IDN Times/Arief Rahmat)

Jakarta, IDN Times - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan Indonesia bakal terancam resesi pada tahun ini. Sebab, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II da kuartal III diprediksi akan negatif.

"Proyeksinya akan negatif secara full year minus 4 sampai minus 7 persen," katanya kepada IDN Times, Senin (20/7/2020).

Dia mengatakan ada beberapa gambaran yang mencerminkan bahwa Indonesia bakal resesi di tahun ini. Apa saja ya?

1. Konsumsi dan penyerapan belanja yang rendah

Ilustrasi pertumbuhan PAD (IDN Times/Arief Rahmat)

Bhima mengatakan faktor utamanya karena adanya tekanan pada seluruh aktivitas ekonomi. Dia menyebut konsumsi yang menurun karena daya beli tergerus PHK massal, penyerapan belanja yang rendah, kinerja investasi masih wait and see, dan ekspor menunggu pemulihan permintaan secara global.

"Situasinya jauh lebih buruk dari 1998. Kita menghadapi tantangan kesehatan dan ekonomi sekaligus," ujarnya.

Perlu diketahui, konsumsi rumah tangga tercatat tumbuh 2,84 persen secara year on year di kuartal I-2020. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan tersebut menurun dari kuartal I-2019 yang mencapai 5,02 persen secara year on year (yoy).

Sementara, realisasi belanja negara pada Mei 2020 mencapai Rp 843,9 triliun, atau 32,3 persen dari target sebesar Rp 2.613,8 triliun. Pertumbuhan realisasi belanja ini mengalami kontraksi sebesar 1,4 persen dibandingkan tahun lalu.

2. Pertumbuhan kredit perbankan melambat, IKK BI dibawah 100 persen dan impor bahan baku menurun

Ilustrasi credit (IDN Times/Arief Rahmat)

Selain pertumbuhan ekonomi, indikator lainnya ialah pertumbuhan kredit perbankan per Mei 2020 yang melambat menjadi 3,04 persen. Angka itu melambat, jika dibandingkan Mei 2019 yang mencapai 11,05 persen.

Indikator berikutnya kepercayaan konsumen yang terlihat dari IKK BI (Indeks Kepercayaan Konsumen) berada di level 83,8 atau di bawah angka 100 alias konsumen masih pesimistis.

Kemudian, impor bahan baku dan barang modal masing-masing turun tajam sebesar 15 persen dan turun 16,8 persen sepanjang Januari-Juni 2020 dibandingkan posisi tahun lalu.

"Artinya baik industri maupun konsumen sedang rem besar-besaran," ucapnya.

3. Data PMI Juni di bawah angka 50, bisa menyebabkan PHK massal yang bisa mempengaruhi ekonomi

(Ilustrasi ekonomi) IDN Times/Arief Rahmat

Selain itu, kondisi manufaktur serapan tenaga kerja cukup besar belum menunjukkan tanda-tanda adanya rebound dengan PMI masih di bawah angka 50. "Ini akan berdampak pada gelombang PHK massal jilid 2 pada akhir 2020. Jika terlambat diantisipasi lonjakan kemiskinan pun akan meningkat tajam," ujarnya.

Berdasarkan data PMI manufaktur Indonesia periode Juni 2020, indeks ini berada di level 39,1. Angka itu naik 36 persen dibanding bulan sebelumnya. Namun indeks tersebut masih di bawah level 50.

Terlepas dari itu, Bhima juga mengatakan prospek ekonomi hingga 2021, diperkirakan masih mengalami resesi yang cukup dalam. "Kurva pemulihan sulit berbentuk V shaped, alias sulit pulih dalam waktu singkat.

"Paling realistis kurva pemulihan akan berbentuk huruf U atau L yang artinya tekanan ekonomi pasca-2020 menyulitkan ekonomi tumbuh di atas 5 persen. Butuh waktu setidaknya 3-5 tahun untuk recovery," ujarnya.

4. Sri Mulyani mewanti-wanti agar Indonesia perlu waspada terkait resesi

Menkeu, Sri Mulyani (IDN Times/Auriga Agustina)

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mewanti-wanti Indonesia perlu waspada. Karena mesin pertumbuhan Indonesia ada pada sektor konsumsi, investasi dan ekspor. Untuk itu pemerintah akan melakukan sejumlah cara menekan resesi tidak terjadi di Indonesia.

“Hari ini pemerintah akan menggunakan seluruh mekanisme anggarannya untuk menjadi salah satu untuk substitusi di sisi konsumsi dan di sisi investasi maupun ekspor,” kata dia.

Pada kuartal II ini ia menyebut terjadi penurunan cukup tajam terhadap sektor perdagangan, manufaktur, pertambangan dan transportasi.

“Transportasi ternyata walaupun sudah ada relaksasi tidak pulih karena orang tidak melakukan travelling meskipun terjadi masih sangat kecil pemulihannya. Sehingga kontraksi di sektor transportasi dan pertambangan berkontribusi negative growth yang cukup dalam di kuartal II,” ujarnya.

Sri Mulyani mengingatkan, langkah-langkah subsitusi tersebut tidak bisa bisa cuma mengandalkan APBN saja. Untuk itu ia berharap sektor perbankan bisa segera pulih. Salah satu tujuannya agar UMKM sebagai salah satu penggerak dan penyumbang perekonomian terbesar Indonesia bisa bangkit kembali.

“Makanya kita gunakan penempatan dana pemerintah di perbankan, kita luncurkan kredit penjaminan sehingga antara bank dan korporasi dan usaha terutama UMKM bisa pulih kembali,” ucapnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
Auriga Agustina
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us