China Cabut Larangan Pengiriman Pesawat Boeing

- China mengakhiri larangan pengiriman pesawat Boeing setelah kesepakatan dagang sementara dengan AS
- Kesepakatan ini mencakup pemangkasan tarif impor selama 90 hari dan diharapkan mempercepat normalisasi hubungan dagang kedua negara
- Pencabutan larangan memberi keuntungan besar bagi Boeing, meski masih ada ketidakpastian atas masa depan kesepakatan ini
Jakarta, IDN Times – China telah mengakhiri larangan sebulan terhadap pengiriman pesawat Boeing, menyusul kesepakatan dagang sementara dengan Amerika Serikat (AS). Otoritas China mulai memberi tahu maskapai milik negara dan badan aviasi pada pekan ini untuk melanjutkan pengiriman pesawat buatan AS.
Maskapai diberi kebebasan mengatur waktu dan logistik pengiriman secara mandiri. Keputusan ini menjadi angin segar bagi Boeing, yang sebelumnya terhambat oleh masalah keamanan, produksi, dan sengketa dagang global. Sekitar 50 pesawat Boeing dijadwalkan dikirim ke China pada 2025.
Langkah ini diharapkan mempercepat pemenuhan kebutuhan armada maskapai China, sekaligus menandakan upaya normalisasi hubungan dagang antara kedua negara.
1. AS dan China pangkas tarif impor sementara

Kedua negara sepakat memangkas tarif impor untuk 90 hari sebagai bagian dari distensi dagang. AS menurunkan tarif atas impor China dari 145 persen menjadi 30 persen, sementara China memangkas bea masuk barang AS dari 125 persen menjadi 10 persen. China juga menangguhkan sejumlah tindakan balasan.
Kebijakan ini mencakup produk seperti perangkat medis, bahan kimia, dan sewa aviasi. Tanda-tanda distensi ini mulai muncul sejak akhir April 2025, ketika China menyatakan kesiapan untuk menormalkan hubungan dagang dengan perusahaan AS. Meski begitu, kesepakatan ini bersifat sementara dan bisa berakhir jika perundingan jangka panjang gagal.
Langkah ini menunjukkan upaya kedua negara untuk meredakan ketegangan dagang yang telah memengaruhi industri global, termasuk aviasi.
2. Boeing nikmati dampak positif dari kebijakan baru

Pencabutan larangan ini memberi keuntungan besar bagi Boeing, yang tengah menghadapi krisis kualitas dan produksi. Dengan pengiriman ke China kembali berjalan, Boeing terhindar dari biaya mencari pembeli baru dan mendapat pembayaran signifikan saat pesawat diserahkan.
Dilansir dari The Times of India, Selasa (13/5/2025), China diproyeksikan menyumbang 20 persen permintaan pesawat global dalam 20 tahun ke depan, menjadikannya pasar strategis bagi Boeing dan pesaingnya, Airbus. Pada 2018, seperempat produksi Boeing dikirim ke China sebelum hubungan memburuk akibat perang tarif. Setelah larangan pengiriman diberlakukan, beberapa pesawat dikembalikan ke AS, mendorong Boeing untuk mengeksplorasi pasar alternatif seperti India, Malaysia, dan Arab Saudi.
Analis industri menyatakan optimisme terhadap potensi pasar China bagi Boeing, yang kini berfokus memperkuat posisinya di wilayah tersebut.
3. Ketidakpastian lanjutan hantui kesepakatan dagang

Meski ada kemajuan, ketidakpastian masih membayangi kesepakatan ini. Reprieve tiga bulan bisa berakhir jika negosiasi gagal mencapai resolusi permanen. Belum ada pernyataan resmi dari otoritas aviasi China, dan juru bicara Boeing menolak berkomentar. Waktu pengiriman pesawat ke maskapai China juga belum jelas.
Menurut laporan The Straits Times yang mengutip Bloomberg, Boeing kini menghadapi tantangan lain, seperti krisis kualitas setelah insiden kegagalan komponen pintu 737 Max pada Januari 2024. Sejarah menunjukkan China pernah menjadi negara pertama yang menghentikan operasional 737 Max pada 2019 setelah dua kecelakaan fatal, menandakan kehati-hatian mereka terhadap produk Boeing.
4. Persaingan dengan Airbus dan kesepakatan dagang lain

Sengketa dagang dengan pemerintahan Trump dan Biden menyebabkan maskapai China cenderung memesan pesawat dari Airbus, pesaing utama Boeing. Larangan pengiriman Boeing semakin memperkuat posisi Airbus di pasar China, yang merupakan salah satu pasar aviasi terbesar di dunia.
Di sisi lain, Boeing mendapat dorongan dari kesepakatan dagang terpisah. Pekan lalu, Gedung Putih mengumumkan pakta dagang dengan Inggris, termasuk kesepakatan senilai 10 miliar dolar AS (sekitar Rp166 triliun) untuk penjualan 32 pesawat Boeing 787-10 Dreamliner kepada British Airways. Kesepakatan ini menunjukkan peran Boeing yang semakin politis dalam dinamika perdagangan global.