Ekonom Ungkap Keinginan Driver Online, Bukan Sekadar Komisi Besar

- Kehadiran layanan on demand seperti ojek online, taksi online, dan kurir online menjadi tulang punggung ekonomi digital.
- Hasil survei menunjukkan mayoritas pengemudi lebih memilih potongan komisi 20 persen dengan insentif dan promo yang berarti orderan lebih terjamin tinggi.
- Isu utama transportasi online bukan sekadar angka potongan, melainkan bagaimana komisi itu dikelola dan dikembalikan dalam bentuk manfaat nyata.
Jakarta, IDN Times - Industri digital Indonesia kini menjadi penopang utama perekonomian nasional. Pemerintah bahkan memproyeksikan dalam lima tahun ke depan nilai ekonomi digital bakal tumbuh empat kali lipat mencapai 210-360 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp5.800 triliun.
Ekonom Senior Prasasti, Piter Abdullah Redjalam, pun melihat beberapa faktor pendorong kuat untuk mencapai proyeksi tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah populasi besar, penetrasi internet yang masif, dukungan regulasi, serta lahirnya startup lokal yang bahkan sudah berstatus unicorn.
"Penelitian Prasasti menunjukkan, sektor digital lebih efisien dibanding sektor lain karena memiliki Incremental Capital Output Ratio (ICOR) lebih rendah, artinya setiap rupiah yang diinvestasikan menghasilkan pertumbuhan ekonomi lebih besar dibanding sektor tradisional," kata Piter dalam catatannya, dikutip Selasa (28/10/2025).
1. Kehadiran layanan on demand

Piter mengungkapkan, salah satu tulang punggung ekonomi digital adalah layanan on-demand seperti ojek online, taksi online, dan kurir online. Ekosistem ini bukan hanya menyambungkan pengemudi dengan konsumen, melainkan juga jutaan UMKM.
Pada 2023, kontribusi ride hailing terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai Rp382,62 triliun (dua persen PDB), sekaligus menyerap tenaga kerja di tengah badai pemutusan hubungan kerja (PHK) manufaktur.
Seiring tumbuhnya sektor ini, polemik soal besaran komisi aplikator terhadap pengendara terus mencuat. Pemerintah telah menetapkan batas maksimum komisi 20 persen, dengan kewajiban lima persen dialokasikan untuk program kesejahteraan pengendara.
Namun, di tengah pertumbuhan pesat sektor ini, masih muncul protes dari sebagian pengendara yang menyoroti besaran komisi. Bagi mereka, kebijakan aplikator dinilai belum sepenuhnya berpihak pada kesejahteraan pengemudi.
"Polemik ini penting dicermati, karena hanya dengan memahami aspirasi dan pengalaman para driver aktif, kita bisa menilai apakah isu yang kerap muncul di ruang publik tersebut benar mencerminkan kondisi riil," kata Piter.
2. Hasil survei terkait komisi pengemudi online

Untuk melihat isu tersebut secara riil, Piter menggunakan dua hasil survei dari dua lembaga, yakni Tenggara Strategics dan Paramadina Public Policy Institute (PPPI).
Survei pertama, dilakukan oleh Tenggara Strategics. Survei ini dilakukan pada September 2025 terhadap 1.052 pengendara aktif di Jabodetabek. Hasilnya menunjukkan, 82 persen pengendara lebih memilih potongan komisi 20 persen, tetapi orderan tinggi, ketimbang potongan 10 persen orderan sepi.
Masih terkait potongan komisi, hasil survei juga menunjukkan, dari sejumlah pengendara yang pernah mencoba platform dengan potongan 10 persen, 85 persen mengatakan penghasilan sama saja atau bahkan lebih rendah.
Sementara itu, terkait status hubungan aplikator dan pengendara, hasil survei menunjukkan mayoritas pengendara (85 persen) tidak keberatan dengan status mitra. Bagi mereka, fleksibilitas jam kerja merupakan hal yang utama. Mereka juga memahami, status pekerja justru bisa merugikan bagi pengendara.
"Secara umum hasil survei Tenggara Strategics menyimpulkan, bagi pengendara di wilayah metropolitan, kepastian order dan perlindungan tambahan lebih penting daripada sekadar besaran potongan. Hasil survei juga menunjukkan, potongan rendah tanpa jaminan order tidak otomatis meningkatkan kesejahteraan," tutur Piter.
Survei Paramadina ternyata memberikan hasil yang sejalan dengan Tenggara Strategic. Survei Paramadina dilakukan di enam kota besar dengan sampel 1.623 responden.
Hasilnya, 60,8 persen responden pengendara juga memilih potongan 20 persen dengan insentif dan promo (yang berarti orderan lebih terjamin tinggi) dibandingkan potongan 10 persen tanpa insentif yang bisa berarti orderan sepi.
Survei Paramadina juga mengungkap, 81 persen responden lebih mengutamakan stabilitas pendapatan harian dibandingkan margin per order. Mereka juga memahami potongan 20 persen yang dikenakan oleh aplikator akan kembali ke mereka dalam bentuk promo di luar biaya aplikasi.
Mereka juga mendapatkan insentif lainnya seperti diskon servis, paket data atau bahkan sembako. Bagi mereka, promo ke pelanggan sangat penting untuk menjaga kontinuitas orderan, terutama bagi pengendara yang full time (lebih dari delapan jam per hari)
Temuan Paramadina menegaskan, bagi mayoritas pengendara, komisi bukanlah isu utama dan yang lebih penting adalah bagaimana aplikator memastikan stabilitas penghasilan harian melalui promo pelanggan, insentif, dan dukungan fasilitas lain.
"Promo dan insentif dipandang krusial untuk menjaga kesinambungan order. Survei Paramadina juga mengungkap masih adanya kelompok driver yang belum sepenuhnya memahami bagaimana komisi dialokasikan. Inilah yang sesungguhnya memunculkan narasi yang tidak berimbang tentang aplikator mengeksploitasi driver," kata Piter.
3. Isu utama persoalan transportasi online

Dari hasil survei Tenggara Strategic dan Paramadina dapat disimpulkan, isu utama transportasi online bukan sekadar angka potongan, melainkan bagaimana komisi itu dikelola dan dikembalikan dalam bentuk manfaat nyata.
Dengan kata lain, keadilan dalam ekosistem ride hailing terletak pada kualitas ekosistem, bukan sekadar persentase. Di sisi lain, dapat dipahami aplikator juga menghadapi tekanan tersendiri yaitu biaya teknologi dan operasional yang tinggi, persaingan agresif antar platform, serta ekspektasi konsumen akan harga terjangkau.
Keberlanjutan model bisnis mereka bergantung pada keseimbangan antara investasi untuk inovasi, subsidi untuk pertumbuhan, dan profitabilitas jangka panjang.
"Di tengah dinamika ini, peran regulasi pemerintah memang penting untuk menjaga keseimbangan antara aplikator, driver, dan konsumen. Namun, ada risiko ketika aturan dibuat terlalu kaku atau berlebihan. Jika negara terlalu jauh masuk mengatur besaran komisi atau detail model usaha, ruang inovasi bisa terhambat. Padahal, fleksibilitas sangat dibutuhkan untuk merespons perubahan pasar digital yang cepat," tutur Piter.
Piter menambahkan, aturan yang berlebihan juga bisa berdampak sebaliknya bagi pengemudi maupun konsumen. Tanpa ruang bagi aplikator untuk berinvestasi dalam teknologi, promo, maupun insentif, ekosistem transportasi daring bisa kehilangan daya saing dan justru menurunkan kesejahteraan mereka yang terlibat di dalamnya.
"Oleh karena itu, regulasi sebaiknya menjadi pagar pengaman yang menjamin keadilan dan perlindungan, bukan belenggu yang menghambat pertumbuhan," kata dia.
4. Keinginan para pengemudi transportasi online

Lebih lanjut Piter menjelaskan, industri digital Indonesia adalah pilar ekonomi masa depan. Ride hailing dengan kontribusinya terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja tidak bisa dilepaskan dari keberhasilannya memberikan bantalan dan akses pendapatan kepada jutaan mitra pengemudi.
Sebanyak dua survei terbaru dari Tenggara Strategics dan PPPI justru menegaskan satu pesan, pengendara tidak sekadar menuntut potongan rendah, melainkan ekosistem stabil, adil, dan transparan. Mereka rela berbagi 20 persen selama aplikator memberi order yang stabil, promo efektif, dan perlindungan nyata.
"Di sinilah titik temu bisa dibangun, aplikator menjaga transparansi dan manfaat, pemerintah mengawal regulasi yang adil, dan driver memahami posisi mereka sebagai mitra mandiri. Jika jalan tengah ini dijalankan, industri digital Indonesia bukan hanya tumbuh besar, tapi juga berkelanjutan, inklusif, dan berkeadilan," tutur Piter.
"Saatnya tiga pihak, aplikator, pemerintah, dan asosiasi driver, duduk bersama untuk merancang blueprint keberlanjutan ekosistem digital. Bukan dialog reaktif saat konflik muncul, tapi dialog proaktif untuk membangun standar industri yang berkelanjutan," lanjutnya.












.jpg)



