GIMNI Ancam Keluar dari Program Minyak Goreng Curah Subsidi

Jakarta, IDN Times - Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mengancam akan keluar dari program minyak goreng curah bersubsidi usai Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan 3 pejabat perusahaan produsen minyak sawit jadi tersangka kasus dugaan korupsi fasilitas ekspor CPO.
Ketua Umum GIMNI, Sahat Sinaga mengatakan para produsen sudah bersusah payah mendukung pemerintah demi memastikan ketersediaan minyak goreng domestik. Oleh sebab itu, dia menilai penetapan 3 pejabat perusahaan minyak sawit sebagai tersangka tidak tepat.
Adapun program penyaluran minyak goreng curah bersubsidi itu sendiri dikoordinir oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
"Jadi artinya apa, mereka yang sudah betul-betul bekerja sesuai dengan regulasi, tapi malah itu yang menyakitkan. Dan saya WA (WhatsApp) ke Pak Dirjen Kementerian Perindustrian, Pak Putu, kalau begini, kami akan mengundurkan diri dari curah ini, karena kami yang ditangkapin. Akan dibereskan (kata Pak Putu)," kata Sahat kepada awak media kemarin, Selasa (19/4/2022) malam.
1. Produsen sudah penuhi kebijakan DMO dan DPO dari pemerintah
Adapun pejabat dari perusahaan produsen minyak sawit yang jadi tersangka adalah Komisaris Utama PT Wilmar Nabati Indonesia yang berinisial MPT, Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Grup (PHG) yang berinisial SMA, dan General Manager di bagian General Affair PT Musim Mas yang berinisial PTS.
Menurut Sahat, para pengusaha sudah memenuhi kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO). Dia mengatakan produsen sudah meyalurkan 419 ribu ton CPO untuk kebutuhan minyak goreng dalam negeri pada periode 12 Februari sampai 8 Maret 2022. Meski sudah memenuhi DMO, para produsen itu tidak langsung mengekspor CPO dalam jumlah besar.
"Jadi itulah yang kami protes ke Kemenperin. Tolong itu diselesaikan. Orang yang sudah bekerja keras begini dikenakan. Lebih baik kita gak usah ikut. Karena kalau kita ikut, kita ikut berlumuran lumpur," tutur Sahat.
2. Pengusaha tak bisa dapat izin ekspor CPO jika belum penuhi DMO dan DPO
Sahat menekankan, para pengusaha tak bisa mengantongi PE (persetujuan ekspor) apabila belum memenuhi kebijakan DMO dan DPO. Oleh sebab itu, dia menilai poin Kejagung terkait PE diperoleh tanpa memenuhi kewajiban itu tidak benar.
"Itu diselesaikan definisi bahwa mereka melakukan manipulasi PE itu di mana? Diperjelas. Jadi jangan dituduh tanpa ada bukti," kata Sahat.
3. Modus pihak swasta dalam kasus dugaan korupsi fasilitas ekspor CPO
Berdasarkan keterangan resmi, Kejagung menyebutkan perusahaan yang mengekspor CPO itu tidak memenuhi kebijakan DMO dan DPO sebagai dasar kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng di dalam negeri. Namun, para perusahaan eksportir tetap mendapatkan persetujuan ekpor dari pemerintah.
Setelah dilaksanakan pemeriksaan di penyidikan, penyidik telah mengumpulkan bukti-bukti yang terdiri dari keterangan saksi (19 orang), alat bukti surat dan alat bukti elektronik, keterangan ahli, dan barang bukti berupa 596 dokumen.
Jaksa Agung RI mengatakan para tersangka, termasuk Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Indrasari Wisnu Wardhana telah melakukan perbuatan melawan hukum berupa bekerja sama secara melawan hukum dalam penerbitan izin Persetujuan Ekspor (PE), dan dengan kerja sama secara melawan hukum tersebut, akhirnya diterbitkan PE yang tidak memenuhi syarat, yaitu mendistribusikan CPO atau RBD Palm Olein tidak sesuai dengan harga penjualan dalam negeri (DPO), dan tidak mendistribusikan CPO dan RBD Palm Olein ke dalam negeri sebagaimana kewajiban yang ada dalam DMO (20 persen dari total ekspor).
Perbuatan para tersangka disebut menimbulkan kerugian perekonomian megara yaitu kemahalan serta kelangkaan minyak goreng sehingga terjadi penurunan konsumsi rumah tangga dan industri kecil yang menggunakan minyak goreng dan menyulitkan kehidupan rakyat.