Harga TBS Tak Kunjung Pulih, Petani Mogok Panen

Jakarta, IDN Times - Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung membeberkan sekitar 30-40 persen dari jumlah petani sawit nasional memilih untuk berhenti panen.
Dia mengatakan, para petani hanya mendapatkan keuntungan kecil dari penjualan TBS ke pabrik kelapa sawit (PKS), karena tingginya biaya panen dan ongkos menjual ke PKS.
"Bayangkan saja dari mulai memanen sampai ke pabrik kami harus mengeluarkan paling tidak Rp500/kilogram (kg). Dari memanen sampai ke pabrik. Belum lagi upah-upah lain, katakan upah mandor, biaya pupuk. Ya tekor dong. Daripada tekor, ya mending tidak jadi memanen," kata Gulat kepada IDN Times, Senin (11/7/2022).
Berdasarkan data yang dihimpun Apkasindo, harga TBS kelapa sawit di 22 provinsi penghasil kelapa sawit yang dibeli dari petani swadaya per Sabtu (9/7/2022) lalu masih rendah, hanya Rp861/kg.
Tak hanya itu, harga TBS kelapa sawit di tingkat petani plasma/bermitra hanya Rp1.261/kg, alias masih di bawah harga Dinas Perkebunan (Disbun) dari 22 provinsi penghasil kelapa sawit tersebut.
"Artinya baik petani bermitra atau petani swadaya sama-sama masih di bawah harga penetapan Dinas Perkebunan. Atau pembelian pabrik masih di bawah harga Disbun," tutur Gulat.
1. Pohon kelapa sawit berpotensi rusak jika TBS tak dipanen

Meski begitu, petani tetap terancam kehilangan kebunnya jika tidak memanen. Sebab, jika TBS tak dipanen, buah yang membusuk bisa mengeluarkan enzim yang berpotensi merusak pohon. Gulat mengatakan, memanen atau tidak, petani tetap rugi.
"Sifat tanaman sawit jika tidak dipanen, buahnya akan merangsang munculnya enzim inhibitor, itu bisa merusak. Bisa terganggunya siklus pembungaan berikutnya, melemahnya imunitas tanaman, dan sebagainya. Jadi sebenarnya makin bahaya. Kalau dipanen rugi rupiah, tapi gak dipanen tanamannya rusak," ujar dia.
Selain itu, Gulat mengatakan jika pohon sawit rusak, untuk menumbuhkannya lagi sampai bisa berproduksi, butuh waktu bertahun-tahun.
"Nah ini saya minta kepada pemerintah, kita berpacu dengan waktu. Jangan sampai semua terlambat. Sawit tidak sama dengan padi, 3 bulan panen, tanam balik, selesai. Atau tebu. Sawit ini tanaman tahunan, berumur panjang, 20-30 tahun, sama dengan tanaman hutan. Jadi kalau rusak dia, harus replanting, tumbang ganti baru. Gak ada cerita," ucap Gulat.
2. Banyak pabrik kelapa sawit tutup

Selain harga yang merosot tajam, petani juga mogok panen TBS karena banyak PKS yang tutup. Hal itu menurutnya imbas dari ekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) yang sempat dilarang.
"Di Kalbar, Kaltim, Bangka Belitung, semua tidak panen karena pabrik-pabrik banyak tutup. Ini bisa kita jadikan sebagai indikator, ke mana mereka akan menjual?" kata Gulat.
3. Antrean jual TBS di pabrik sangat panjang

Gulat mengatakan, para petani juga mogok memanen karena antrean di PKS sangat panjang. Bahkan, petani perlu mengantre tiga hari sampai hasil panennya dibeli PKS.
"Ada 3 faktor petani tidak lagi panen. Pertama harganya sudah merugi. Kedua pabrik tidak buka lagi. Ketiga, petani melihat antre sampai 3 hari di pabrik, sudah malas. Karena kalau sudah 3 hari, TBS sudah busuk. Jadi saat giliran dia masuk ke pabrik, TBS-nya sudah brundul semua, jadi gak laku lagi," ucap Gulat.