Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ini Sederet Alasan FINI Tolak Kenaikan Royalti atas Nikel

Ilustrasi bijih nikel (pexels.com/Paul Seling)
Ilustrasi bijih nikel (pexels.com/Paul Seling)
Intinya sih...
  • Kondisi ekonomi global tak menentu saat ini, pertumbuhan ekonomi global tertekan akibat perang berkepanjangan, perang dagang, dan penurunan permintaan produk nikel dunia, yang menyebabkan harga nikel mencapai level terendah sejak 2020.
  • Permintaan pasar China melemah, hilirisasi nikel sangat bergantung pada industri baja dunia yang saat ini didominasi oleh China.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) menolak rencana pemerintah yang ingin menaikkan royalti atas sejumlah komoditas mineral dan batu bara.

"Penolakan tersebut tidak lepas dari Untuk menjaga menjaga iklim investasi dan daya saing produk hilirisasi nikel Indonesia, FINI dengan tegas menolak rencana kenaikan royalti pada saat ini," kata Ketua Umum FINI, Alexander Barus dalam pernyataan resmi kepada IDN Times, Minggu (16/3/2025).

1. Usulan kenaikan royalti yang disampaikan pemerintah

Bijih nikel di tambang nikel PT Aneka Tambang Tbk atau Antam. (dok. Antam)
Bijih nikel di tambang nikel PT Aneka Tambang Tbk atau Antam. (dok. Antam)

Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam paparan Konsultasi Publik Usulan Penyesuaian Jenis dan Tarif PNPB SDA salah satunya mengusulkan tarif progresif atas bijih nikel naik mulai 14 persen hingga 19 persen.

Usulan itu untuk menyesuaikan harga mineral acuan (HMA) yang sebelumnya hanya sebesar 10 persen. Adapun angka kenaikan tersebut sebesar 40 persen-90 persen dari single tariff bijih nikel yang berlaku sebelumnya.

Selain itu, tarif progresif nikel matte (bahan baku baterai) juga diusulkan naik 4,5 persen—6,5 persen menyesuaikan HMA, sedangkan windfall profit dihapus. Sebelumnya berlaku single tariff 2 persen dan windfall profit bertambah 1 persen. Angka kenaikan ini adalah sebesar 150 persen-200 persen dari single tariff bijih nikel yang berlaku sebelumnya.

2. Alasan FINI tolak kenaikan royalti yang diusung pemerintah

ilustrasi tambang nikel dan tembaga (pexels.com/Tom Fisk)
ilustrasi tambang nikel dan tembaga (pexels.com/Tom Fisk)

Ada beberapa hal yang menjadi alasan atau pertimbangan atas penolakan FINI tersebut. Berikut daftarnya:

  • Kondisi ekonomi global tak menentu
    Saat ini, pertumbuhan ekonomi global tertekan akibat perang berkepanjangan, perang dagang, dan penurunan permintaan produk nikel dunia (akibat produk substitusi Lithium Ferro-Phospahate), yang menyebabkan harga nikel mencapai level terendah sejak 2020.
  • Permintaan pasar China melemah
    Permintaan dari China lebih rendah dari yang diharapkan. Hilirisasi nikel sangat bergantung pada industri baja dunia, yang saat ini didominasi oleh China. Negeri Tirai Bambu kini sedang mengalami pelemahan ekonomi. Selain itu, dampak meningkatnya ketegangan geopolitik antara Amerika dan China (penerapan tarif tinggi) dapat menghambat pertumbuhan industri kendaraan listrik.
  • Kebijakan pemerintah menaikkan biaya
    Beberapa kebijakan pemerintah, seperti kenaikan UMR
    (Upah Minimum Regional), penggunaan Biodiesel 40 yang lebih mahal, kewajiban retensi DHE (Devisa Hasil Ekspor), dan semakin sulitnya mendapat pasokan bijih nikel telah meningkatkan biaya produksi atau operasional perusahaan tambang maupun perusahaan pengolahan atau pemurnian nikel yang ada di Indonesia.
  • Hilirisasi untuk menciptakan lapangan kerja
    Kebijakan pemerintah terkait hilirisasi nikel menciptakan lapangan kerja sebanyak 350.000 orang dan berhasil menurunkan kesenjangan
    pendapatan (terutama di Indonesia Timur).
  • Dampak Global Minimum Tax hapus Tax Holiday
    Hal ini membebani keuangan industri nikel sebagai industri pionir. Dampaknya, arus kas ketat, pembayaran pinjaman menurun, berisiko bagi perbankan, serta mengancam lapangan kerja (PHK) di sektor pertambangan dan pengolahan nikel.
  • Kontribusi PNP telah mencapai target
    Sub sektor mineral dan batubara telah memberikan
    dampak positif bagi pembangunan nasional, dengan pencapaian penerimaan PNBP yang selalu melampaui target. Pada 2020 sebesar 110,25 persen), 2021 (193,03 persen), 2022 (180,91 persen ), 2023 (118,41 persen),dan 2024 (125,84 persen).

"Oleh karena itu, kami berpendapat belum waktunya saat ini untuk menaikan
tarif royalti terutama nikel dan turunan hilirasasinya," ujar Alexander.

3. Perusahaan tambang alami masa-masa sulit

Pengangkutan tanah mengandung nikel di wilayah operasi PT Vale Indonesia. (youtube.com/NatureChannel97)
Pengangkutan tanah mengandung nikel di wilayah operasi PT Vale Indonesia. (youtube.com/NatureChannel97)

Alexander menambahkan, perusahaan tambang dan pengelolaan dan/atau pemurnian nikel di Indonesia tengah menghadapi masa sulit selama dua tahun terakhir akibat faktor- faktor yang telah dijelaskan di atas. Selain itu, PHK juga sudah di ambang mata.

"Meskipun demikian, FINI selaku mitra Pemerintah selalu terbuka untuk berdialog dan berdiskusi sehingga program hilirisasi dan industrialisasi sektor nikel dapat melewati masa sulit dan mempercepat hilirisasi yang berkelanjutan," kata dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ridwan Aji Pitoko
EditorRidwan Aji Pitoko
Follow Us