Hilirisasi Nikel Perlu Transformasi untuk Ciptakan Green Jobs

- Pemerintah Prabowo-Gibran mendorong program hilirisasi nikel untuk capai pertumbuhan ekonomi 8 persen.
- Perusahaan nikel Indonesia menghadapi tantangan sertifikasi ESG dan regulasi yang belum ada, serta risiko bisnis di pasar Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Jakarta, IDN Times - Pemerintahan Prabowo-Gibran terus mendorong program hilirisasi nikel untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen.
Di sisi lain, hilirisasi nikel tidak hanya untuk produksi nikel, tapi juga berpotensi memberikan spill over effect pada industri-industri pendukung, terutama industri smelter.
1. Ada tantangan yang dihadapi perusahaan nikel

Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan berbagai tantangan yang dihadapi perusahaan nikel Indonesia. Salah satunya sertifikasi ESG yang wajib dimiliki nikel apabila memasuki wilayah Eropa.
Padahal, Indonesia belum memiliki regulasi ESG untuk minerba. Tantangan ini senada dengan hasil studi Koaksi Indonesia yang menunjukkan hilirisasi nikel berimplikasi terhadap risiko bisnis.
"Standar keberlanjutan tertentu yang diterapkan di negara Amerika Serikat dan Uni Eropa misalnya akan menyebabkan nikel Indonesia sulit menembus dua pasar itu," kata Meidy melalui keterangan resmi di Jakarta, dikutip Jumat (24/1/2025).
2. APNI minta cari solusi bersama soal tantangan perusahaan nikel

Dengan situasi saat ini, APNI akan mencari solusi bersama dan pada April tahun ini, APNI menggandeng Responsible Mining Initiatives (RMI), Nickel Institute, dan pakar dunia lainnya untuk melihat tantangan dari perusahaan nikel.
"Jangan membuat daftar yang hanya sesuai untuk Eropa karena beda sekali prosesnya. Kami harus meng-handle 300 tambang yang ada di kepulauan. Tentu, efeknya ada pekerjaan baru, namun perlu ada training yang proper, tunjangannya sudah layak belum, apakah sudah comply dengan kehidupan mereka di sana?” tutur Meidy.
3. Saran perusahaan nikel ke pemerintah

Sementara untuk tantangan yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah, Meidy melihat adanya celah terkait Devisa Hasil Ekspor (DHE) pada Peraturan Pemerintan (PP) Nomor 36 Tahun 2023.
Meidy menyampaikan, dalam menetapkan RKAB bagi perusahaan tambang nikel, pemerintah seharusnya tidak hanya mempertimbangkan permintaan dari industri smelter.
"Namun perlu melihat perkembangan harga dan demand nikel global," ucapnya.
Meski demikian, kebijakan hilirisasi nikel diklaim meningkatkan pendapatan ekonomi nasional sebesar 21,2–21,6 persen serta menciptakan penyerapan tenaga kerja hingga 13,83 juta dalam 10 tahun terakhir.
4. Alasan hilirisasi belum bisa jadi green jobs

Dalam sejumlah fakta yang terangkum dalam studi Koaksi Indonesia menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan dalam penerapan hilirisasi. Tingkat kemiskinan di daerah penghasil nikel cenderung stagnan bahkan di dua daerah, yaitu Halmahera Selatan dan Konawe cenderung meningkat.
Kemudian adanya dampak kerusakan lingkungan, seperti deforestasi dan pencemaran lingkungan serta dampak negatif terhadap kesehatan dan keselamatan pekerja dan masyarakat menjadi tantangan yang membutuhkan perhatian besar dari pemerintah.
Manajer Riset dan Pengelolaan Pengetahuan Koaksi Indonesia Ridwan Arif menyoroti tiga faktor yang menjadi alasan mengapa hilirisasi belum bisa dikatakan sebagai green jobs.
“Ternyata, masih panjang konteks pekerjaan hijau dalam hilirisasi. Dalam hilirisasi ini, masih banyak hal yang belum terpenuhi untuk dapat dikatakan green jobs. Misalnya, lemahnya perlindungan pekerja, dampak sosial kepada masyarakat, dan praktiknya yang masih banyak menimbulkan kerusakan lingkungan," kata Ridwan.
Ia menegaskan, apabila pemerintah serius berkomitmen terhadap pelestarian lingkungan hidup, sebagai prioritas ke-11 dari 17 program prioritas Pemerintahan Prabowo-Gibran, kebijakan hilirisasi nikel sudah seharusnya lebih berorientasi pada keberlanjutan lingkungan.