Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Jadi Poin Krusial UU Ciptaker, Waktu Kerja Tetap Maksimal 8 Jam Sehari

Aksi unjuk rasa KSPI menolak pembahasan Omnibus Law RUU CIptaker di depan Gedung DPR, Senin (3/8/2020) (Dok. IDN Times/KSPI)
Aksi unjuk rasa KSPI menolak pembahasan Omnibus Law RUU CIptaker di depan Gedung DPR, Senin (3/8/2020) (Dok. IDN Times/KSPI)

Jakarta, IDN Times - Waktu kerja buruh dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) ditetapkan maksimal delapan jam sehari. Pada pembahasan tingkat akhir, sejumlah pasal menjadi perdebatan, di antaranya Pasal 77 dan 78 tentang jam kerja.

Sebelumnya pada pembahasan draf Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja), buruh mengeluhkan Pasal 77A berkaitan dengan tambahan jam kerja tergantung pada kebijakan perusahaan. Hanya ada ketentuan waktu kerja paling lama 8 jam per hari dan 40 jam per minggu. Tidak ada aturan tentang jumlah hari kerja. Namun, pasal ini akhirnya dikembalikan seperti aturan pada UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003.

1. Aturan waktu lembur yang dikeluhkan buruh tidak berubah sampai RUU Cipta Kerja disahkan

Tujuh tahap pembahasan UU Cipta Kerja (IDN Times/Arief Rahmat)
Tujuh tahap pembahasan UU Cipta Kerja (IDN Times/Arief Rahmat)

Pada Pasal 77 Ayat (2) disebutkan, waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

Namun, Pasal 78 tentang pengaturan waktu lembur yang dikeluhkan buruh tidak diubah hingga RUU disahkan. Pada Pasal 78 Ayat (1) bagian b disebutkan, jam lembur paling banyak 4 jam dalam 1 hari dan 18 jam dalam satu minggu. Sebelumnya dalam UU Ketengakerjaan maksimal jam lembur adalah 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam satu minggu.

2. RUU Cipta Kerja sah jadi undang-undang per Senin, 5 Oktober 2020

Aksi unjuk rasa KSPI menolak pembahasan Omnibus Law RUU CIptaker di depan Gedung DPR, Senin (3/8/2020) (Dok. IDN Times/KSPI)
Aksi unjuk rasa KSPI menolak pembahasan Omnibus Law RUU CIptaker di depan Gedung DPR, Senin (3/8/2020) (Dok. IDN Times/KSPI)

RUU Cipta Kerja akhirnya sah menjadi undang-undang, setelah disepakati dalam pengambilan keputusan tingkat II dalam rapat paripurna DPR RI, Senin (5/10/2020) petang.

Setelah melalui perdebatan panjang dan proses yang alot, RUU Ciptaker ini disepakati tujuh fraksi yaitu PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, PKB, PPP, NasDem, dan PAN. Sedangkan, dua fraksi yang menolak yaitu Demokrat dan PKS. Demokrat juga walk out dari rapat paripurna.

“Namun demikian kami menyerahkan kepada mekanisme di Rapat Paripurna untuk disahkan sebagai undang-undang,” kata Ketua Baleg DPR Supratman.

“Apakah Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dapat disetujui menjadi Undang-Undang?" tanya Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin yang memimpin rapat paripurna.

“Setuju,” jawab anggota dewan.

Rapat paripurna yang dimulai 15.25 WIB dihadiri 318 anggota dewan. Sayang, siaran langsung yang ditayangkan lewat YouTube DPR RI dan Facebook DPR RI mengalami gangguan, sehingga tayangan terputus-putus dan sempat hilang saat menyanyikan lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’.

Dari pihak pemerintah, rapat paripurna tersebut dihadiri Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

3. RUU Ciptaker disepakati tujuh fraksi pada pengambilan keputusan tingkat I

Ilustrasi Undang-Undang (IDN Times/Arief Rahmat)
Ilustrasi Undang-Undang (IDN Times/Arief Rahmat)

Sebelumnya, RUU Ciptaker telah disepakati tujuh fraksi DPR RI saat pengambilan keputusan tingkat I bersama pemerintah pada Sabtu, 3 Oktober 2020 malam. Tujuh fraksi yang menyetujui antara lain PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, PKB, PPP, NasDem, dan PAN. Sedangkan, dua fraksi yang menolak yaitu Demokrat dan PKS.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi mengatakan, terkait sikap dua fraksi yang menolak adalah hal yang biasa, dan merupakan hak setiap fraksi untuk menyampaikan sikap politiknya yang tidak bisa dicampuri pihak lain.

Namun demikian, Baidowi menegaskan, dua fraksi tersebut ikut dalam pembahasan RUU Cipta Kerja. PKS ikut sejak awal panitia kerja, sedangkan Demokrat ikut pada pertengahan pembahasan.

“Dalam rapat dua fraksi tersebut ikut menyetujui pembahasan DIM (daftar inventaris masalah). Hal itu bisa dilihat publik karena disiarkan secara langsung dan rapatnya terbuka. Dan dalam pembahasan tidak ada voting. Jika kemudian akhirnya dua fraksi tersebut menolak, ya itu hak politik mereka yang kami hargai. Itulah keragaman politik di Indonesia,” ujar dia kepada IDN Times, Senin, 5 Oktober 2020.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rochmanudin Wijaya
Bayu Aditya Suryanto
Rochmanudin Wijaya
EditorRochmanudin Wijaya
Follow Us