Jepang Desak China Stop Eksploitasi Gas di Perbatasan

- Jepang menegaskan garis median sebagai batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) kedua negara, karena China memasang 21 rig pengeboran di wilayah perbatasan yang berpotensi menyedot gas dari sisi Jepang.
- China menolak klaim Jepang dan serukan negosiasi, dengan alasan aktivitas pengeboran dilakukan sepenuhnya di wilayah yang tidak disengketakan dan berada dalam hak kedaulatan China.
- Ketegangan mengenai sumber daya energi di Laut China Timur bukan hal baru, karena kesepakatan tahun 2008 sudah mandek sejak 2010 dan situasi semakin memburuk setelah insiden kapal nelayan China menabrak dua kapal Penjaga Pantai Jepang pada tahun yang
Jakarta, IDN Times – Jepang resmi melayangkan protes keras terhadap pembangunan fasilitas pengeboran gas yang dilakukan China di Laut China Timur pada Senin (25/8/2025). Kementerian Luar Negeri Jepang melaporkan China sedang memasang rig pengeboran dan membangun struktur baru di sebelah barat garis median, yang dianggap Tokyo sebagai batas maritim tidak resmi sesuai hukum nasionalnya.
Protes ini disampaikan setelah Jepang menilai langkah sepihak itu melanggar kesepakatan bersama. Sementara Kementerian Luar Negeri Jepang menyebut langkah tersebut sangat merugikan.
“Sangat disayangkan bahwa China memajukan pengembangan sepihak di Laut Tiongkok Timur, sementara Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen di Laut China Timur belum ditentukan,” tulis pernyataan itu, dikutip dari Al Jazeera.
Protes formal disampaikan Kepala Biro Asia dan Oseania, Kanai Masaaki, kepada Wakil Kepala Misi Kedutaan Besar China di Tokyo, Shi Yong, dengan mendesak Beijing menghentikan aktivitas dan melanjutkan kembali pembahasan pakta bersama 2008.
1. Jepang tegaskan garis median sebagai batas Zona Ekonomi

Dilansir dari Japan Times, kekhawatiran Jepang meningkat karena Kementerian Luar Negeri menyebut ada 21 rig pengeboran yang diduga dipasang China di wilayah perbatasan. Tokyo menilai fasilitas itu berpotensi menyedot gas dari sisi Jepang dalam zona yang masih disengketakan. Jepang tetap berpegang pada garis median sebagai batas resmi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) kedua negara.
Namun, posisi China berbeda karena mereka menilai ZEE seharusnya mengikuti garis kontinen yang lebih dekat ke Jepang. Argumentasi Beijing ini memicu perdebatan hukum internasional mengenai siapa yang berhak menguasai cadangan gas bawah laut. Perbedaan tafsir batas maritim ini menjadi akar utama ketegangan kedua negara di Laut China Timur.
2. China tolak klaim Jepang dan serukan negosiasi

China menolak keras tuduhan Jepang melalui pernyataan juru bicara Kementerian Luar Negeri, Guo Jiakun. Ia mengatakan, keberatan Jepang tidak memiliki dasar hukum.
Menurutnya, aktivitas pengeboran dilakukan sepenuhnya di wilayah yang tidak disengketakan.Guo menegaskan, tindakan itu berada dalam hak kedaulatan China.
“Aktivitas ini dilakukan sepenuhnya di perairan yang tidak disengketakan di bawah yurisdiksi China dan sepenuhnya berada dalam hak kedaulatan dan yurisdiksi kedaulatanya,” ujarnya dikutip dari Anadolu Agency.
Ia juga meminta Tokyo bersikap lebih konstruktif dan segera melanjutkan pembicaraan antar pemerintah untuk mencari jalan keluar.
3. Insiden kapal 2010 dan protes Jepang berulang

Ketegangan mengenai sumber daya energi di Laut China Timur bukan hal baru. Kesepakatan tahun 2008 yang semestinya menjadi dasar kerja sama pengelolaan bersama sumber daya gas laut sudah mandek sejak 2010. Situasi ini memburuk setelah kapal nelayan China menabrak dua kapal Penjaga Pantai Jepang di dekat Kepulauan Senkaku, yang oleh Beijing disebut Kepulauan Diaoyu.
Kepulauan ini sampai sekarang masih menjadi titik rawan yang kerap memicu friksi militer. China sering mengirim kapal dan pesawat ke sekitar wilayah itu untuk menguji kesiapan Jepang. Protes terbaru Tokyo pada Agustus 2025 melanjutkan keberatan sebelumnya yang juga dilayangkan pada Mei dan Juni, ketika Beijing membangun struktur lain di perairan sengketa, sehingga hubungan kedua negara makin tertekan.