Menkeu Purbaya Tolak Rencana Tax Amnesty Jilid III, Ini Alasannya

- Rugikan wajib pajak yang sudah patuh
- Pengampunan pajak terlalu sering memberikan sinyal negatif kepada wajib pajak, merugikan yang sudah patuh.
- Program serupa terus diulang bisa merusak citra sistem perpajakan nasional.
- Purbaya ingin optimalkan peraturan pajak yang sudah ada
- Langkah lebih tepat adalah memperkuat semua peraturan pajak yang sudah ada dan meningkatkan kepatuhan sukarela masyarakat.
- Reformasi perpajakan melalui integrasi data, pertukaran informasi keuangan lintas negara, dan pemanfaatan teknologi untuk memantau kepatuhan wajib
Jakarta, IDN Times – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dengan tegas menolak rencana pengampunan pajak atau tax amnesty jilid III. Penolakan ini disampaikan menyusul masuknya program tax amnesty ke dalam daftar program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun ini.
Menurut Purbaya, kebijakan pengampunan pajak yang dilakukan terlalu sering justru dapat merusak makna dan tujuan utama dari kebijakan tersebut. Ia menilai, pengulangan kebijakan semacam ini akan mengikis kredibilitas pemerintah dalam penegakan hukum perpajakan dan melemahkan kepatuhan pajak secara sistemik.
Alih-alih meningkatkan penerimaan negara, kata Purbaya, tax amnesty yang dilakukan berulang justru dapat mendorong para wajib pajak untuk menunda kewajiban mereka, dengan asumsi akan kembali mendapatkan pengampunan di masa mendatang.
“Pandangan saya begini, kalau amnesty dilakukan berkali-kali, bagaimana kredibilitasnya? Itu memberikan sinyal ke para pembayar pajak bahwa boleh melanggar, karena nanti ke depan-depan akan ada amnesty lagi. Kira-kira begitu,” kata Purbaya dalam Media Briefing, Jumat (19/9/2025).
1. Rugikan wajib pajak yang sudah patuh

Ia menilai pengampunan pajak yang terlalu sering justru memberikan sinyal negatif kepada wajib pajak, seolah pelanggaran perpajakan dapat ditoleransi karena selalu ada pengampunan di kemudian hari. Kebijakan ini berpotensi merugikan wajib pajak yang sudah patuh di Indonesia.
“Kalau tax amnesty dilakukan setiap beberapa tahun, ya sudah, nanti semua orang malah sengaja menyelundupkan uang. Tiga tahun lagi ada amnesty lagi. Kira-kira begitu. Jadi pesan yang disampaikan menurut saya kurang bagus,” ujar Purbaya.
Pemerintah sebelumnya telah dua kali memberikan pengampunan pajak, yaitu pertama melalui tax amnesty tahun 2016–2017, dan kedua melalui Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pada 2022. Jika program serupa terus diulang, maka citra sistem perpajakan nasional bisa rusak.
“Ini sudah berapa kali? Satu, dua, nanti tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan. Ya sudah, semua orang berpikir ‘kibulin aja pajaknya, nanti tunggu tax amnesty untuk pemutihan.’ Itu yang tidak boleh, saya pikir,” ujarnya.
2. Purbaya ingin optimalkan peraturan pajak yang sudah ada

Menurut Purbaya, langkah yang lebih tepat adalah memperkuat semua peraturan pajak yang sudah ada dan serta meningkatkan kepatuhan sukarela masyarakat dan meminimalkan penggelapan pajak.
"Dengan langkah tadi harusnya sudah cukup kita majukan ekonomi supaya dengan tax ratio yang konstan misalnya tax saya tumbuh saya dapet lebih banyak kita fokuskan disitu dulu," tegasnya.
Purbaya menyebutkan reformasi perpajakan sudah berjalan melalui berbagai pendekatan, mulai dari integrasi data, pertukaran informasi keuangan lintas negara, hingga pemanfaatan teknologi untuk memantau kepatuhan wajib pajak secara real time.
3. Realisasi pelaksanaan program pengampunan pajak

Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau tax amnesty jilid II resmi berakhir pada 30 Juni 2022. Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), total harta bersih yang dilaporkan hingga akhir pelaksanaan tax amnesty jilid II mencapai Rp594,82 triliun, berasal dari 247.918 wajib pajak.
Nilai tersebut jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan tax amnesty jilid I pada tahun 2016, di mana harta bersih yang dilaporkan mencapai Rp4.854,63 triliun dari 956.793 wajib pajak. Untuk repatriasi pajak, tax amnesty jilid II tercatat sebesar Rp16,06 triliun, sedangkan repatriasi pada tax amnesty jilid I mencapai Rp147 triliun.