Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pekerja Digaji di Bawah Upah Minimum Melonjak Tajam

Ilustrasi upah. (Pixabay.com)
Ilustrasi upah. (Pixabay.com)
Intinya sih...
  • Peningkatan signifikan proporsi pekerja di Indonesia menerima upah di bawah UMR dari 63% pada 2021 menjadi 84% pada 2024 menurut Celios.
  • Industri transportasi, pertambangan, dan penyediaan akomodasi memiliki persentase tertinggi pekerja yang bekerja berlebihan dengan rata-rata 48 jam per minggu.
  • Celios merekomendasikan redefinisi pengukuran kemiskinan dengan pendekatan berbasis disposable income dan penerbitan Perpres untuk koordinasi lintas lembaga dalam menyusun indikator baru.

Jakarta, IDN Times - Lembaga riset Center of Economic and Law Studies (Celios) mencatat peningkatan signifikan proporsi pekerja di Indonesia yang menerima upah di bawah upah minimum regional (UMR).

Peneliti CELIOS, Bara memaparkan peningkatan tersebut dari 63 persen pada 2021 menjadi 84 persen pada 2024.

"Kami temukan data proporsi pekerja yang menerima upah di bawah UMR meningkat tajam dari 63 persen pada 2021 menjadi 84 persen pada 2024," katanya dalam keterangan tertulis dikutip Sabtu (31/5/2025).

1. Celios juga kritisi jam kerja dan data korban PHK

Ilustrasi PHK. Karyawan PT Sritex mulai kemasi barang menyusul PHK. (IDN Times/Larasati Rey)
Ilustrasi PHK. Karyawan PT Sritex mulai kemasi barang menyusul PHK. (IDN Times/Larasati Rey)

Bara menyebut data pengangguran pemerintah belum sepenuhnya mencakup pekerja sektor informal. Dia juga menyoroti kurangnya data yang disampaikan ke publik, meskipun relevan untuk perumusan kebijakan.

Bara mencatat industri transportasi, pertambangan, dan penyediaan akomodasi memiliki persentase tertinggi pekerja yang bekerja berlebihan, dengan rata-rata 48 jam per minggu.

Selain itu, pekerja ojek online ditemukan memiliki jam kerja lebih panjang, rata-rata 54,5 jam per minggu, dibanding pekerja lain yang rata-rata 41,5 jam per minggu.

"Kami mendorong adanya data tenaga kerja yang lebih akurat soal pekerja di gig economy, sejalan dengan maraknya perpindahan dari korban PHK ke pekerja informal,” tambah Bara.

2. Metodologi pengukuran kemiskinan dinilai usang

Ilustrasi kemiskinan. ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman
Ilustrasi kemiskinan. ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman

Celios menilai metodologi pengukuran kemiskinan nasional oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang telah digunakan hampir lima dekade tidak lagi relevan.

Perbedaan mencolok terlihat antara data BPS yang mencatat 8,5 persen penduduk sebagai miskin dan data World Bank yang menyebut 60,3 persen penduduk masuk kategori miskin menurut standar 6,85 dolar AS PPP per hari.

Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar, menyatakan pendekatan lama berbasis kecukupan kalori dan indikator pengeluaran tidak mampu menangkap kompleksitas kemiskinan masa kini, termasuk beban utang, ketimpangan akses layanan publik, dan tekanan finansial rumah tangga kelas menengah.

"Rumah tangga yang terlilit utang pinjaman online atau harus menjual tanah agar anaknya bisa sekolah seringkali tidak tercatat sebagai miskin. Justru sebaliknya, pengeluaran tinggi mereka dianggap sebagai tanda kesejahteraan,” tambahnya.

Media memaparkan penggunaan kelompok rentan sebagai referensi perhitungan garis kemiskinan membuat garis tersebut tidak naik signifikan, meskipun daya beli memburuk.

Akibatnya, kebijakan alokasi anggaran dan skema bantuan sosial menjadi tidak tepat sasaran, sementara persentase anggaran perlindungan sosial terhadap PDB Indonesia tetap rendah.

3. Celios usul perubahan garis kemiskinan dan strategi baru

ilustrasi kemiskinan (pexels.com/Riya Kumari)
ilustrasi kemiskinan (pexels.com/Riya Kumari)

Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira menyatakan revisi garis kemiskinan bukan hal tabu. Dia mencontohkan Malaysia yang pada 2019 memperbarui garis kemiskinan untuk memperbesar porsi bantuan sosial.

Menurut Bhima, berbeda dengan Malaysia, pemerintah Indonesia tampak khawatir kenaikan angka kemiskinan akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), apalagi di tengah rasio pajak rendah dan meningkatnya utang jatuh tempo.

"Tapi di sisi lain langkah BPS yang belum juga merevisi garis kemiskinan justru terkesan membatasi hak orang yang benar-benar miskin dari akses bantuan pemerintah,” kata Bhima.

Bhima juga menyoroti masalah akurasi data yang berdampak pada efektivitas stimulus pemerintah. Dia mencontohkan Bantuan Subsidi Upah (BSU) pada Juni-Juli 2025 mendatang yang menciptakan ketimpangan.

"Sepertinya saat ini mengulang kesalahan yang sama dimana banyak pekerja informal, pekerja kontrak, ojol, dan pekerja outsourcing tidak mendapat BSU karena persoalan pendataan,” ungkap Bhima.

Celios mengusulkan redefinisi pengukuran kemiskinan dengan pendekatan berbasis disposable income, yang mempertimbangkan pendapatan setelah kebutuhan pokok dan kewajiban dasar terpenuhi, serta faktor geografis dan kebutuhan nonmakanan.

Sebagai referensi, Uni Eropa telah menerapkan pendekatan hidup yang layak yang mencakup indikator literasi, kesehatan, pengangguran, hingga kebahagiaan.

Celios juga mendorong pemahaman data kemiskinan seharusnya berfungsi sebagai alat evaluasi kebijakan, bukan alat politik. Dengan membandingkan tingkat kemiskinan sebelum dan sesudah intervensi fiskal, pemerintah dapat menilai efektivitas program redistribusi seperti Makan Bergizi Gratis, PKH, atau subsidi pupuk.

Untuk mendorong perubahan, Celios merekomendasikan penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) yang akan menjadi dasar koordinasi lintas lembaga dalam menyusun indikator baru, memperkuat integrasi data, dan menyelaraskan program pengentasan kemiskinan secara nasional.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwifantya Aquina
EditorDwifantya Aquina
Follow Us